SEGERA TERBIT CETAK
"Renjana Senja Kala" adalah spin off dari "Beautifully Painful".
***
Tama dan Kinan memiki karier cemerlang, rising star di bidang masing-masing. Namun karakter juga sikap kaku Tama, luka batin masa kecil Kinan, serta kehadiran Pramudya, dokter spesialis jantung kharismatik menghancurkan segalanya. Tama dan Kinan sepakat untuk berpisah. Meninggalkan Reka, putra semata wayang mereka yang tumbuh dalam kebencian terhadap sosok seorang ayah.
Tapi terkadang, perpisahan justru jalan keluar terbaik. Ibarat mundur selangkah untuk melesat jauh ke depan.
Kinan mulai menyembuhkan luka bersama Pramudya. Tama berhasil menemukan cinta yang selama ini dicari dalam diri Pocut, wanita sederhana nyaris tanpa ambisi. Dan Reka mulai memahami bahwa semenyakitkan apapun kehidupan yang harus dijalani, selalu ada kebaikan serta harapan di sana.
Hasrat cinta yang kuat di akhir masa penantian.
Renjana Senja Kala.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephinasera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Peu Haba Deungon Hate?
Peu Haba Deungon Hate?
(Apakabar dengan hati? -bahasa Aceh-)
***
Jakarta
Tama
Sorot mata milik anak laki-laki yang duduk di hadapannya terasa tak asing. Sama persis seperti yang sering Reka tampakkan. Yaitu sepasang mata tajam nan cerdas, namun juga dipenuhi oleh aura kemarahan, kekesalan, sekaligus ketakberdayaan.
Menggambarkan dengan begitu nyata, seberapa terjal dan berlikunya jalan yang harus ditempuh. Jelas bukan hal yang mudah. Meski bukan berarti tak mungkin. Namun sesungguhnya pertanyaan yang paling tepat adalah, apakah ia sanggup?
Menghadapi satu orang Reka saja sudah berhasil membuat dirinya pontang panting didera oleh rasa bersalah dan penyesalan yang tak berkesudahan. Bagaimana jika ada dua orang Reka sekaligus?
"Ayo ... main ke rumah Akung," ucap Papa, yang baru saja menyendok sup ikan untuk kali kedua ke dalam piring.
"Nanti main sama Aran," sambung Papa seraya menyantap sup ikan tanpa nasi dengan lahap.
Bola mata ceria milik Sasa langsung mengerjap. Sementara Umay cengengesan malu-malu kucing. Hanya Icad yang tetap memasang muka ditekuk.
"Biar Pak Cipto yang jemput ke sini," imbuh Papa tak sedang berbasa-basi. "Kasihan Aran sendirian di rumah. Nggak ada teman."
Kedua mata Sasa kian mengerjap. Sedangkan Umay mulai menarik-narik baju Sasa. Mendesak Sasa agar segera mengiyakan tawaran dari Papa. Hanya Icad yang tetap konsisten dengan wajah cemberut.
"Setiap hari main ke rumah Akung juga boleh," kini Papa kembali menyendok sup ikan yang ketiga. "Nggak harus nunggu hari libur."
"Biar Aran senang ada teman main. Soalnya ayah bundanya sibuk kuliah," Papa memandangi ketiga anak kecil di hadapan mereka secara bergantian sambil tersenyum.
Umay terlihat semakin bersemangat menarik-narik baju Sasa. Namun Sasa justru terlihat berpikir keras, "Tapi ... Sasa takut ke rumah Dekgam."
"Lho, kenapa?" Papa mengerutkan dahi.
Sasa mengangkat tangan kiri ke atas. Memperlihatkan pada mereka semua, kondisi jari manis yang tak lagi sama.
"Kan Sasa udah sembuh!" potong Umay cepat. "Udah nggak sakit lagi."
"Tapi masih takut ...." Sasa mengendikkan bahu seraya menggelayut manja di lengan Pocut.
"Mainannya sudah dibongkar semua sama tukang," jelas Papa. "Sekarang sudah jadi taman bunga punya Uti."
Mata Sasa kembali mengerjap. Namun sedetik kemudian menggeleng, "Enggak ah. Sasa nggak mau."
"Nanti Om yang jemput ... gimana?" ia iseng melemparkan tawaran berhadiah.
Dalam sekejap, kepala Sasa langsung mengangguk mantap. Membuat mereka tertawa. Kecuali Pocut dan Icad tentu saja. Yang sama-sama terlihat tak nyaman dengan reaksi polos yang diperlihatkan oleh Sasa.
***
Pocut
Mereka menyelesaikan makan, tepat ketika azan Ashar berkumandang.
Ia sedang menumpuk piring kotor dan membereskan meja, ketika Icad melesat ke dalam kamar. Lalu muncul kembali dengan sarung menyampir di pundak.
"Ke masjid dulu, Nek," pamit Icad ke arah Mamak.
Tapi Mamak menggeleng, "Tunggu Akung sama Om. Mereka juga hendak sholat."
"Ya," Pak Setyo mengangguk. "Kebetulan ... kami sekalian mau pamit pulang."
Icad menatapnya seolah meminta dukungan. Sepertinya ingin segera pergi ke langgar. Tanpa harus menunggu para tamu.
Tapi ia segera menggeleng. Dengan isyarat mata meminta Icad untuk mematuhi perintah Mamak.
Icad akhirnya kembali duduk di kursi, walau sambil memasang wajah lesu. Sementara ia bergegas membawa tumpukan piring kotor ke dapur.
"Ini disimpan di mana?"
Sebuah suara berhasil mengejutkannya. Hampir saja membuat tumpukan piring yang dipegang merosot sebelum mencapai bak cuci. Untung saja gerak refleks tangannya masih bisa mencegah.
Ia menoleh ke belakang. Di mana Tama terlihat sedang mengangkat mangkok dan piring saji yang hampir kosong. Hanya tinggal menyisakan sedikit lauk.
"Meja," jawabnya seraya menunjuk ke arah meja makan.
Kemudian kembali berbalik menghadap bak cuci. Memisahkan sisa makanan ke dalam satu piring. Lalu membuangnya ke wadah khusus untuk dijadikan kompos.
Selama itu pula ia bukannya tak tahu, jika Tama hilir mudik dari dapur ke ruang tamu. Hanya untuk membawa piring saji dan gelas kotor yang masih tersisa. Tapi ia memilih untuk berpura-pura tak mengetahuinya.
"Kenapa terus menghindar?"
Hanya satu pertanyaan. Tapi lagi-lagi berhasil membuatnya terlonjak.
"Maaf ...." ia menyimpan wadah kompos ke bawah bak cuci dengan tangan gemetaran. Lalu buru-buru mencuci tangan di bawah air mengalir. Berusaha menghilangkan rasa gugup.
"Apa saya membuat kamu merasa nggak nyaman?"
Ia menelan ludah sekaligus mengerutkan kening, sembari terus membasuh tangan di bawah air mengalir.
"Keberadaan saya mengganggu?"
Ia kembali menelan ludah.
Kini tangannya sudah bersih sempurna. Tak perlu dibasuh berulang kali dengan menggunakan air. Tapi ia terus saja melakukannya.
"Apa kita bisa ngobrol seperti waktu dulu?"
Ia menghentikan aliran air dengan memutar keran hingga menutup. Lalu meraih handuk tangan yang tergantung di atas bak cuci.
"Waktu kamu cerita tentang detail adat dan budaya Aceh di aqiqah Aran."
Ia baru saja selesai mengeringkan tangan. Sangat berharap semua kecanggungan ini segera berakhir.
Tapi rupanya Tama belum berniat untuk menyudahi. Sebab kini, Tama justru beralih dari balik punggungnya menuju ke samping bak cuci. Tama bahkan menyandarkan bahu ke dinding dengan gaya santai.
"Saya senang kamu kerja di Selera Persada."
Ia mengembuskan napas panjang.
"Kamu jadi bisa melihat dunia luar."
Ia memberanikan diri untuk mengangkat kepala yang sedari tadi tertunduk. Matanya langsung menjumpai Tama yang juga sedang memandanginya.
"Saya nggak cocok bekerja kantoran." Entah keberanian dari mana ia bisa memberi jawaban yang tepat.
Tama tersenyum, "Pastinya bukan jadi sekretaris direksi."
"Maksud saya ...." Ulang Tama dengan nada yang lebih tegas. "Saya senang kamu bekerja. Tapi bukan jadi sekretaris direksi. Apalagi sekretarisnya Om Raka."
"Saya jadi nggak tenang," sambung Tama dengan suara yang lebih mirip gumaman.
Tapi ia masih bisa mendengar dengan jelas. Dan entah mengapa membuatnya ingin tertawa, "Saya memang nggak bisa apa-apa."
"Bukan masalah nggak bisa apa-apanya," Tama menggeleng. "Skill bisa dipelajari."
Persis seperti yang sering didengungkan oleh Pak Raka.
"Masakan kamu enak," sahut Tama cepat. "Tadi itu ... pesmol paling enak yang pernah saya makan."
Ia mendesah tak percaya.
"Kamu bisa kerja di posisi yang sesuai dengan kemampuan kamu."
"Di kitchen (dapur) mungkin," sambung Tama seraya terus menatapnya.
"Di sana kamu bisa jadi kapten produk. Cukup mengawasi, nggak harus turun langsung masak di dapur."
"Kamu pasti sudah hapal di luar kepala SOP (standar operating procedure) di dapur."
Ia kembali menunduk. Demi mendengar Tama mengucapkan kata yang cukup asing baginya.
"Atau di bagian controlling (pengawasan). QA (quality assurance : jaminan mutu) atau QC (quality control : pengawasan mutu)."
"Saya yakin kamu berpengalaman di sana."
Ia mendongak. Menatap Tama tak percaya.
"Sudah berapa lama jual makanan siap saji? Kamu pasti sudah sangat memahami karakteristik dan selera konsumen."
Ia kembali harus menelan ludah, karena pembicaraan Tama terdengar semakin berat dan serius.
Selama ini, ia dan Mamak hanya tahu tentang bagaimana cara memasak kemudian menjualnya di keude. Sama sekali tak memikirkan apa itu karakteristik ataupun selera konsumen.
Yang penting masakan mereka terjual habis hari itu juga. Dan pesanan yang datang ke rumah bertambah banyak. Itu saja sudah lebih dari cukup. Dan membuatnya banyak bersyukur.
"Saya nggak ngerti ...." Ia menggeleng.
Tama mengernyit menatapnya. Sejurus kemudian berseru dengan riang, seolah baru saja berhasil menemukan kalimat yang paling tepat.
"Bagian tes rasa! Kalau yang ini ... ngerti kan?" Tama menatapnya lekat-lekat. Sayangnya ia terlambat untuk menundukkan pandangan.
"Mamaaaa!" seruan riang Sasa tiba-tiba menyeruak di dapur. Membuat mereka berdua yang sedang saling berpandangan, langsung beralih melihat ke arah Sasa.
"Eh ...." Tapi Sasa justru terkikik sambil menutup mulut dengan gaya khasnya yang centil.
"Malah ngobrol di sini sama Om!" sambung Sasa, seraya menunjuk mereka berdua dengan tatapan menuduh namun jenaka.
"Enggak, Sasa," ia menggeleng dengan gugup. "Mama lagi nyimpan piring kotor."
"Om juga lagi nyimpan piring bekas lauk. Tuh!" Tama menunjuk ke arah meja makan.
Namun Sasa tetap memandangi dirinya dan Tama bergantian seraya tersenyum lebar. Bersikap seolah-olah mereka berdua sudah tertangkap basah tapi sama-sama bersikukuh untuk menyangkal.
Dan ini membuatnya malu di depan Sasa. Sebab ia sering mewanti-wanti pada ketiga anaknya. Jika menyangkal adalah bukti dari kesalahan.
"Ish ... ish ... ish ...." Sasa menggelengkan kepala sembari menggerakkan telunjuk.
"Tak patut ... tak patut ...." sambung Sasa sambil menirukan kalimat, yang sering diucapkan oleh robot berwarna ungu dari film kartun favorit Umay.
"Sasa ...." Ia menegur Sasa dengan wajah memerah sebab menahan malu yang kian bertambah. Tapi Tama justru tergelak sambil mengusap puncak kepala Sasa.
"Ada apa?" Ia buru-buru mengalihkan perhatian Sasa. Sebab Tama terus saja tergelak, tak kunjung menyelesaikannya.
"Akung dekgam mau pulang," kini Sasa mulai menarik-narik roknya. "Eh, malah Omnya di sini berdua sama Ma ...."
Ia langsung meraih lengan Sasa dan membimbingnya ke ruang tamu. Namun baru dua langkah berjalan, Tama memanggil.
"Sa!"
"Iya, Om?" Sasa menoleh ke belakang. Padahal ia telah berusaha agar langkah mereka menuju ruang tamu tak terhenti.
"Kapan Sasa mau dijemput Om main ke rumah Akung?"
--------
Hari sudah beranjak malam. Ia baru selesai mengoleskan lotion anti nyamuk ke sepanjang tangan dan kaki Sasa.
"Ngantuk, Ma ...." rengek Sasa sambil memeluk boneka beruang sekaligus menjadikannya bantal.
Ia mengusap kening Sasa. Lalu membelai rambut panjang bungsunya itu.
"Baca doa dulu," bisiknya di telinga kanan Sasa. Seraya menuntun Sasa untuk melafalkan doa sebelum tidur.
Usai menyelimuti tubuh Sasa yang telah terlelap, ia meraih kursi lalu duduk di depan kaca sambil menyisir rambut.
Dipandanginya pantulan diri di dalam cermin yang telah buram. Terpampang nyata sesosok wajah lelah, kuyu, dan tak bercahaya.
Membuat tangannya spontan terulur untuk mengusap kulit wajah di daerah sekitar pipi. Terasa kenyal namun sedikit kasar. Mungkin karena saking banyaknya sel kulit mati atau komedo.
"Ah ...." Ia mendesah. Baru teringat jika lupa membeli sabun pencuci muka, yang telah habis hampir seminggu lalu.
Ia masih memandangi pantulan wajah di dalam cermin. Ketika celotehan Umay di ruang tamu, terdengar sampai ke dalam kamarnya.
"Keren ya, Bang?" itu suara Umay.
"Apanya yang keren?" Icad justru balik bertanya.
"Om yang tadi."
Sepi. Tak terdengar jawaban dari Icad.
"Lihat Om itu di TV sama yang asli, ternyata kerenan yang asli," Umay kembali bersuara.
"Aku pernah lihat di TV lho, Bang. Waktu Om itu nangkap penjahat. Wih! Keren banget kayak yang di film-film."
Ia mengembuskan napas panjang mendengar celotehan Umay.
"Kayaknya seru ya, Bang. Kalau ayah kita polisi."
"Seru gimana? Ayah kita kan udah meninggal!" suara Icad terdengar meninggi.
"Iya ...." Umay mengiyakan. "Ayah memang udah meninggal."
"Tapi ... kita masih bisa punya ayah lagi kan, Bang?"
"Punya ayah lagi gimana?" Icad semakin gusar.
"Itu ada ... temen aku Rashya. Ayahnya udah ganti tiga kali," jawab Umay dengan entengnya.
"Kata Rashya ... punya ayah banyak tuh enak banget. Bisa sering dikasih uang jajan dari semua ayahnya," kalimat polos Umay membuatnya kembali mengembuskan napas panjang.
"Rashya sotoy itu!" Icad terdengar menggerutu. "Jangan diikutin!"
"Enggak kok," elak Umay. "Aku nggak mau punya ayah tiga kayak Rashya."
"Aku cuma mau punya ayah satu ... yang kayak Om polisi tadi. Keren kan, Bang?"
"Nanti ... kalau pas acara belajar bersama ayah di sekolah. Aku bisa kasih lihat ke temen-temen, gimana cara ayah kerja nangkap penjahat."
"Dor! Dor! Dor!" Umay menirukan bunyi senapan. "Kalian ditangkap polisi!"
"Wihhh ... keren banget past ...."
"Umay!" ia buru-buru menghardik Umay dari dalam kamar. "Cepat tidur! Sudah malam! Besok bisa kesiangan!"
"Iya, Ma ...." jawab Umay dengan nada patuh.
Tapi tak lama berselang, telinganya kembali mendengar suara Umay yang berbisik-bisik.
"Tadi aku lihat, Omnya lihatin Mama terus. Apa jangan-jangan ... Om naksir Mama ya, Bang?"
"Umay!" ia kembali meneriakkan nama anak keduanya itu. Sembari terus menatap pantulan wajah lelah di dalam cermin.
"Iya, Ma!"
"Tidur!"
"Iya ...."
Namun telinganya lagi-lagi mendengar suara bisikan yang cukup keras.
"Bang ... kalau ayah kita polisi, nanti nggak ada lagi orang yang marah-marahin Mama."
"Nggak ada lagi anak-anak yang nakalin Sasa sampai nangis."
"Nggak ada lagi anak-anak yang ngatain ... kalau aku anak orang nggak punya ... karena sepatu sama tasku nggak ada merknya."
"Nggak ada lagi ...."
"Sssstttt!" sergah Icad. "Berisik! Abang mau tidur!"
"Tapi Abang mau kan ... kalau punya ayah polisi?"
"Umay!" suara Icad terdengar meradang dan begitu marah. "Abang nggak suka sama Om yang tadi!"
"Abang juga nggak suka sama semua Om yang datang ke rumah nyariin Mama!"
"Ayah Abang cuma ada satu!"
"Namanya ayah Teuku Iskandar Muda!"
"Nggak ada ayah yang lain!"
"Udah tidur!"
"Bawel banget sih!"
"Kayak anak cewek aja ngoceh terus!"
Ia membuka kain korden dengan gerakan cepat. Hingga menimbulkan suara yang cukup keras.
"Umay! Icad! Tidur! Sudah malam!"
Namun ia mendapati Icad dan Umay sedang bersembunyi di balik bantal masing-masing. Pura-pura telah tertidur lelap.
Tapi ketika ia melangkah melewati ruang tamu, hendak menuju ke kamar mandi. Sudut matanya menangkap gerakan Umay yang mengintip dari balik bantal.
"Umay!"
--------------
Hari sudah menjelang sore. Beberapa menit ke depan adalah jam pulang kantor. Tapi ia masih mengetik surat. Untuk diedarkan pada seluruh cabang dan outlet, tentang waktu pelaksanaan family gathering. Ketika Pak Raka memanggil melalui sambungan telepon ekstensi.
"Cut! Ke ruangan saya sekarang!"
Ia mengetuk pintu kaca ruang direksi terlebih dahulu. Sebelum membuka dan memasukinya.
"Duduk!" Pak Raka menunjuk kursi untuk didudukinya.
"Gimana? Masih keukeuh (bersikeras)? Belum berubah pikiran?" Pak Raka tersenyum.
Ia mengangguk.
"Sayang lho ... padahal kinerja kamu lumayan."
Ia hanya tersenyum singkat sebagai bentuk sopan santun.
"Atau mau pindah ke bagian lain?"
Ia menggeleng, "Terima kasih, Pak."
"Semalam Tama nelepon ...."
Ia langsung menelan ludah dan mengernyit dalam satu waktu.
"Menurut dia, kamu lebih cocok di bagian controlling."
Ia kembali menelan ludah.
"Gimana? Apa mau pindah ke bagian controlling?"
Ia menggeleng, "Tidak, Pak. Terima kasih."
"Saya bisa pindahkan kamu ke sana sekarang juga."
Ia kembali menggeleng.
Sejak beberapa hari lalu. Menjelang masa-masa terakhirnya bekerja di Selera Persada. Ia telah memantapkan hati dan membulatkan tekad untuk berhenti bekerja. Melanjutkan hidup di rumah saja. Memasak untuk keude. Dan memenuhi pesanan dari para pelanggan. Daripada harus bekerja kantoran. Yang sama sekali bukan menjadi keahlian maupun bakatnya.
"Atau mau bagian lain? Bagian mana aja. Yang penting ... kamu masih kerja di sini sama saya ...." Pak Raka tersenyum seraya melihat ke arahnya.
Namun ia bersikukuh, untuk tetap berhenti bekerja.
"Ya sudah ... kalau memang itu yang menjadi keputusan kamu," Pak Raka menatapnya tak percaya. "Saya nggak bisa melarang."
"Sering-sering main ke sini ya ...." Pak Raka mencoba tersenyum. "Tempat ini terbuka selebar-lebarnya untuk kamu."
Ia mengangguk.
"Tolong sebelum resign, delegasikan seluruh pekerjaan kamu ke sekpri yang baru."
"Jangan sampai ada yang missed. Terutama file tentang perjanjian kerja sama."
Ia mengangguk, "Baik, Pak."
Ketika keluar dari ruangan Pak Raka, ia berpapasan dengan beberapa orang staf administrasi keuangan yang beranjak pulang.
"Rajin amat Bu Cut ...." seloroh Rantika dengan nada menyindir.
"Iya, dong!" jawab Nadia setengah mengejek. "Bu Cut kan kesayangan direksi. Sebentar-sebentar ... Cuuuut, ke ruangan saya."
Lalu mereka semua tertawa. Kecuali dirinya tentu saja.
"Udah jam pulang juga masih dipanggil ya," gumam yang lain seraya mengerling ke arahnya.
"Kaciaaan deh lo ...." Nadia mengarahkan telunjuk membentuk gaya kasihan padanya. "Nggak bisa teng go."
Kemudian mereka semua saling berbisik sambil tertawa-tawa.
Ia hanya tersenyum sambil mengembuskan napas panjang. Lalu buru-buru berjalan menuju ruang administrasi keuangan.
Kepalanya dipenuhi oleh rencana menyelesaikan surat yang sempat tertunda. Meminta tanda tangan Pak Raka. Kemudian mengirimkannya ke bagian HRD agar bisa segera disebarluaskan.
Tapi baru juga sampai di depan pintu, Luky telah menyambutnya dengan wajah serius.
"Bu Cut! Handphonenya bunyi terus dari tadi!"
"Oh, iya," ia mengangguk.
"Coba di cek, Bu. Siapa tahu urgent (penting)."
Ia kembali mengangguk, "Iya, Ky. Makasih ya ...."
"Kasihan ih, Ibu ...." Luky memandangnya iba. "Pulangnya terakhir terus. Jadi juru kunci ya, Bu?"
Ia hanya tersenyum.
"Oke, Bu. Cewek aku udah nungguin nih. Aku duluan ya. Dah Ibu ...." Luky melambaikan tangan sambil tersenyum lebar.
Ia pun balas melambai sembari tertawa.
Begitu Luky menghilang di balik pintu, ia segera mengambil ponsel yang tersimpan di dalam laci. Dan langsung terkejut bukan kepalang. Begitu mendapati 5 panggilan tak terjawab berasal dari nomor yang sama.
***
Yah bit bukan favorit Sasa lagi 🤭