15 tahun berlalu, tapi Steven masih ingat akan janjinya dulu kepada malaikat kecil yang sudah menolongnya waktu itu.
"Jika kau sudah besar nanti aku akan mencarimu, kita akan menikah."
"Janji?"
"Ya, aku janji."
Sampai akhirnya Steven bertemu kembali dengan gadis yang diyakini malaikat kecil dulu. Namun sang gadis tidak mengingatnya, dan malah membencinya karena awal pertemuan mereka yang tidak mengenakkan.
Semesta akhirnya membuat mereka bersatu karena kesalahpahaman.
Benarkah Gadis itu malaikat kecil Steven dulu? atau orang lain yang mirip dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiny Flavoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24 - Kata hati Rimba
Semalaman Rimba mengalami demam tinggi, Steven sebagai seorang suami juga sebagai seorang dokter menggunakan peran keduanya. Dengan telaten ia mengurus Rimba hingga ia merelakan waktu tidurnya untuk menjaga sang istri.
Entah apa penyebabnya yang membuat Rimba tiba-tiba sakit begini. Apakah ini cara Tuhan menguji ketulusan hati Steven ditengah dirinya tengah bimbang?
Menjelang pagi, lelaki itu barulah bisa menutup matanya sejenak saat demam Rimba sudah mulai turun.
Kedua mata Rimba perlahan membuka. Didapatinya Steven tertidur disamping sambil duduk, dan kepala telungkup disisi Rimba.
"Kak," panggilnya lirih.
Steven menggerakkan tubuhnya dan langsung terbangun, kepalanya mendongak menatap Rimba dengan mata teduhnya. "Sudah bangun? apa yang kamu rasakan?" tanyanya seraya menyentuh kening Rimba dengan punggung tangannya.
"Udah baikan. Badanku udah enakan kok," ujar Rimba lalu duduk di sisi tempat tidur, siap turun tanpa menggunakan alas kaki.
"Mau kemana? Pake sandalku!" ujar Steven yang langsung berdiri menopang tubuh Rimba dan melepas sandal yang dipakainya.
"Nggak usah, Kak" tolak Rimba. "Aku mau ke kamar mandi," jawab Rimba.
"Demam kamu baru turun, lantainya dingin!" Steven memaksa dan berjongkok. Dipakaikannya Rimba sandal yang sebelumnya ia gunakan untuk alas kaki.
Wajah Rimba bersemu, perlakuan Steven begitu manis dan romantis. Apalagi saat lelaki itu mendongak dan menatapnya. Pahatan mahakarya Tuhan di wajah suaminya itu akhir-akhir ini menjadi candu yang tak pernah gagal membuatnya sakau. 'wajah ini punya gue sekarang! Jatuh cinta nggak pernah ada dalam rencana gue setelah Marvin nyakitin gue. Tapi hari ini gue sadar, bahwa gue mulai mencintai orang ini,' batinnya lirih.
Rimba tersipu, dan Steven justru makin berani dan tidak canggung lagi mengusap pipi istrinya yang semerah tomat. Meski masih terlihat pucat, Rimba sudah lebih baik.
"Bener kamu udah baikan? kalau masih sakit jangan dipaksakan dulu," tanya Steven penuh perhatian. "Masih pusing? perutnya masih mual?" tanyanya lagi.
Rimba menggeleng, "Beneran kak, aku udah enakan kok" katanya.
"Imun kamu drop ditambah asam lambungnya juga naik. Nih, minum dulu!", ujar Steven meraih teh hangat manis yang tadi ia bikin lagi sebelum tertidur, "tapi udah rada dingin," cengirnya menggemaskan.
"Kak Steve bikin lagi?" tanya Rimba merasa tak enak direpotkan.
"Iya lah, masa teh yang semalem saya kasihin kamu lagi," sahut Steven.
Rimba tersenyum bangga, Suaminya itu rela tidak tidur semalaman dan membuatkan teh manis 2x untuknya. "Kak, maaf aku ngerepot---" Rimba tercekat. Pasalnya, Steven spontan memeluk tubuhnya, mengalirkan energi hangat yang menyamarkan hati Rimba. Sejenak suasana menjadi sangat istimewa, penuh rasa syukur.
"Terimakasih, kamu udah baik-baik saja sekarang. Jangan bikin aku khawatir lagi," bisik Steven lantas melepas pelukannya.
Rimba yang sedianya ingin mengatakan sesuatu, urung. Semua tersamarkan pesona Steven yang benar-benar memabukkan. Rimba sampai lupa apa yang mau ia tanyakan.
"Makasih juga udah jagain aku", tatapan mata Rimba berubah sendu.
"Itu udah kewajiban saya", kata Steven mengecup kening Rimba sekali lagi. "kamu kebangun gara-gara laper ya?", tebaknya kemudian.
"Kok tau?" Rimba tersenyum malu. "Ini jam berapa?"
"Hampir jam 8," tengok Steven pada jam tangan yang melilit di tangan kanannya.
"Masa sih? aku kesiangan dong ya?" Rimba bergegas hendak berdiri.
"Kesiangan emang mau kemana? semalaman kamu dalam kondisi demam tinggi lho, ngigau pula sampai meracau entah ngomong apa," ujar Steven membuat Rimba duduk kembali ditepi ranjang.
"Oya? Bisa gitu aku tuh! rasanya udah lama banget aku nggak sakit kaya gitu. Seenggaknya, kalau demam pun aku masih bisa aktifitas seperti biasa, nggak sampai segitunya," ujar Rimba tak menyangka, "Bentar!" ia tiba-tiba bangkit dan berlari ke depan cermin. Ditolehnya Steven yang menatap bingung.
"Kenapa sih?" tanya Steven.
"Jangan liat!" larang Rimba panik. "Aku berantakan gini, belum sikat gigi, belum mandi, tadi kamu cium-cium aku, Kak? Kan malu tau..." keluhnya menggemaskan. Baru kali ini Rimba memperhatikan penampilannya sendiri. Padahal sebelumnya dia nggak pernah peduli akan penampilannya yang apa adanya itu dan tak mau tahu.
Sontak Steven tertawa. Bukannya ia mengikuti larangan Rimba, lelaki itu justru mendatangi Rimba dan memeluknya. "Mana... mana... siapa yang malu?" godanya sambil menangkup kedua pipi sang Istri.
"Kak! Seriusan ini! Bau tau..." Rimba meronta minta dilepaskan.
"Saya malah suka harum kamu ini, Rim" jelas Steven.
"Ya?" mata Rimba membelalak, "Berarti hidung kamu yang bermasalah, Kak. kaya gini dibilang harum? yang benar saja," sangkalnya seraya mengendus pakaiannya sendiri.
Steven menggeleng dengan begitu polosnya. "Serius, aroma badan kamu tuh khas. Sampe kapan pun saya akan selalu mengingatnya," katanya.
"Iya lah, secara kita tinggal barengan, pasti akan inget terus," gumam Rimba kembali beranjak berdiri, berjalan menuju kamar mandi.
"Perlu diantar?" tanya Steven memperhatikan setiap gerak gerik Rimba.
"Saya nggak selemah itu, suamiku" sahut Rimba sambil berlalu masuk ke kamar mandi, segera menyembunyikan rona merah di pipinya.
"Ya? kamu bilang apa, Rim?" ujar Steven menaikkan suara baritonnya satu oktaf.
"Suamiku sayaaang!!" pekik Rimba dari dalam kamar mandi.
Steven tersenyum-senyum sendiri, merasa konyol dan gemas dengan tingkah gadis miliknya itu. Ingin rasanya mendobrak pintu kamar mandi untuk menangkapnya. Apalagi saat ia membayangkan bibir ranum Rimba yang selalu banyak protes itu, sungguh membuat Steven ingin melahapnya penuh sayang. Namun tiba-tiba ia kembali teringat janjinya pada sosok gadis kecil penyelamatnya dulu. Janji adalah janji, Steven termasuk lelaki yang selalu menepati janjinya. Tapi siapa gadis itu yang sebenarnya? Steven tidak bingung, hanya saja saat ini dia sedang kacau.
.
.
.
Sejatinya kita semua tidak bisa menentukan benar dan salah, semuanya hanya tentang sudut pandang. Karena hati hanya rela memberi, bukan menguasai. Jangan pernah ragu memilih dengan hati.