Lintang Pertiwi hanya bisa diam, menyaksikan suaminya menikah kembali dengan cinta pertamanya. Ia gadis lugu, yang hanya berperan sebagai istri pajangan di mata masyarakat. Suaminya Dewa Hanggara adalah laki-laki penuh misteri, yang datang bila ia butuh sesuatu, dan pergi ketika telah berhasil mendapatkan keuntungan. Mereka menikah karena wasiat dari nyonya Rahayu Hanggara, ibunda Dewa juga merupakan ibu angkatnya. Karena bila Dewa menolak semua harta warisan,akan jatuh pada Lintang. Untuk memuluskan rencananya, Dewa terpaksa mau menerima perjodohan itu dan meninggalkan Haruna Wijaya kekasihnya yang sudah di pacari selama dua tahun.
Akankah Lintang bisa meluluhkan hati Dewa? Atau suaminya akan lebih memilih Haruna. Dan jangan lupa,ada seorang secret admire yang selalu ada bila Lintang bersedih.
Yuk! Pantengin terus kelanjutan dari cerita ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yaya_tiiara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
Pagi-pagi sekali Lintang sudah bersiap-siap, untuk berangkat ke sebuah tempat. Dimana ia akan memulai aktivitas sebagai pekerja. Seragam yang dikenakan terlihat sopan, kemeja putih lengan pendek dan blouse hitam sebatas lutut terlihat chic di tubuhnya yang tinggi semampai. Sepatu kets warna putih, menghiasi kakinya yang jenjang. Sementara rambut hitam sebahunya di ikat tinggi, menyerupai pony tail. Ya Lintang akan memulai hari, dengan bekerja sebagai SPG di sebuah swalayan terbesar milik Om Sasongko. Ia sudah memutuskan untuk bekerja sebagai karyawan biasa, bukan sekretaris direktur. Itu di lakukan setelah mendengar perkataan Mirna, tentang putra bungsu Om Sasongko yang terkenal mata keranjang. Hati Lintang sedikit ciut, takut berurusan dengan hal yang akan menguras emosinya. Ia semalam sudah menghubungi Om Sasongko, dan beliau mengijinkannya untuk bekerja sesuai keinginannya.
Sekali lagi Lintang bercermin, membetulkan make up-nya yang memang sudah rapi. Saat tengah mematut-matut diri, ia mendengar ketukan pintu. "Tok,tok,tok!"
"Masuk! Gak di kunci" teriaknya cukup kencang. Lintang tau itu pasti Mirna, yang memang sudah berjanji untuk bersama-sama berangkat. Berhubung tempat mereka mengais rejeki memang satu arah, dan berada tidak berjauhan.
Pintu terbuka dari luar, lalu tampaklah Mirna dengan seragam hotelnya. Tersenyum manis sambil memandang kagum penampilan Lintang. "Cantik banget kamu, pasti hari pertama kerja bakal banyak hati yang tercuri " selorohnya asal.
"Bercandanya jangan kelewatan, kamu juga cantik. Kita dua perempuan cantik abad ini, yang akan berjuang menaklukkan dunia" ucap Lintang, menimpali candaan Mirna.
"Heh, bukan menaklukkan dunia tapi hati para manager kita" ralat Mirna, dengan logat Jawa-nya.
Lintang mengibaskan tangannya ke udara. "Kejauhan cita-citanya, cukup cowok biasa dengan hati seperti malaikat."
"Jaman sekarang, mana ada cowok seperti itu?" sangkal Mirna.
"Ya pastinya ada, barangkali masih bersembunyi di bawah jerami?" ucap Lintang meyakinkan. Ia segera mengambil tas dan gawainya yang berada di atas meja, lalu menyeret Mirna untuk segera keluar dari kamar kostnya.
"Ayok! Keburu siang, takutnya macet di jalan."
"Jangan takut, gak akan kesiangan. Percaya deh, sama Mirna..."
"Percaya sama kamu mah, itu namanya syirik" putus Lintang cepat.
"Ya, ya... terserah kamu!"
Mirna akhirnya menuruti keinginan Lintang, mereka berjalan berdua menuju garasi di mana motor Mirna terparkir.
Kost-kostan yang di huni Lintang, memang cukup besar dan luas. Maklum kost-an khusus putri ini berharga cukup fantastis, untuk gaji karyawan yang pas-pasan. Bagi Lintang, harga harus sebanding dengan fasilitas yang ada. Untuk bulan pertama ia yang akan membayar, lalu selanjutnya Om Ahmad yang akan membiayai. Walau Lintang bersikeras menolak, tetapi Om Ahmad memaksa menerimanya.
"Lho malah melamun, sih" Mirna menyenggol lengan Lintang, untuk segera naik ke atas motor meticnya.
"Siapa yang melamun? aku kepikiran kalo kita gak satu shift kerja, bakalan bingung harus jalan kemana?"
"Hadeuh, tinggal buka aplikasi aja. Gitu aja, kok sulit!" gerutu Mirna, sambil memakai helm kemudian menstater motornya.
"Ish, jangan marah dong. Udah dandan cantik, malah bedaknya nanti luntur."
"Hihihi! Enggaklah, entar aku tambahin lagi bedaknya. Secara aku tuh, berada di garis depan harus terlihat bersinar di banding karyawan lainnya."
"Iya, iya yang jadi primadonanya hotel. Yuk... berangkat!"
Mereka berangkat sambil tertawa-tawa riang, di depan pintu gerbang sudah ada Pak Slamet security bertubuh tambun dengan perut buncitnya bersiap membuka pintu.
"Selamat jalan, mbak-mbak cantik!" serunya ramah. "Hati-hati di jalan!"
"Makasih Pak, jangan lupa diet!"
"Hust! Kamu ini, kerjanya ngerjain orang tua." Lintang memukul pelan bahu Mirna, sedangkan yang bersangkutan hanya tertawa senang.
"Penghuni di sini , udah biasa seperti itu sama Pak Slamet. Ia orangnya baik, gak pernah marah."
"Oo gitu, pantesan badannya tambun. Berarti orangnya, memang gak gampang sakit hati."
"Pak Slamet emang makannya banyak kali, sampai perutnya buncit."
Dasar Mirna, selalu saja bisa menyangkal semua ucapan Lintang. Ia gadis periang, dengan segala tingkahnya yang menghibur. Pada perkenalan pertama, Lintang sudah merasa cocok dengan sikapnya yang santun dan mau menolong.
"Udah sampai Lintang, cepetan turun" suara Mirna terdengar nyaring, ternyata sepanjang jalan ia melamun.
"Iya, makasih Mir" segera Lintang turun dari boncengan, membuka helm lalu menyerahkan pada Mirna.
"Pulangnya barengan, kalo aku gak ngelembur."
"Oke, hati-hati!"
Lintang melambaikan tangannya, saat motor Mirna melaju. Ia memasuki gedung megah pusat perbelanjaan, dimana letak kantor Om Sasongko berada. Semalam Mirna sudah memberitahu, harus kemana Lintang menghadap. Maklum Mirna memang pernah bekerja, di swalayan milik Om Sasongko di awal-awal setelah lulus sekolah. Itulah mengapa ia tau, seluk-beluk bekerja di tempat ini.
Lintang menaiki lift menuju lantai atas kantor, setelah sebelumnya ia bertanya pada sang resepsionis letak kantor HRD. Pintu lift hampir tertutup, manakala ada sebuah tangan memaksa membukanya. Cowok dengan jaket kulit hitam, dan anting-anting menghiasi telinga kirinya menerobos masuk.
"Kamu!" pekik Lintang terkejut.
"Kenapa kaget?" tanyanya dengan senyum smirk. Telunjuk cowok itu, menutup bibir Lintang yang maju beberapa senti. "Jangan teriak, aku gak akan makan kamu."
"Mana tau kamu kelaparan, melihat penampilan ku yang fresh" ucap Lintang ketus.
"Heh, mana aku tertarik sama kamu. Badan mu aja kayak triplek, dengan dada rata dan wajah seperti anak sekolahan" dengan cuek cowok itu berkat demikian. Netranya memindai penampilan Lintang, yang terlihat imut.
"What!" mata Lintang hampir copot, mendengar penuturan cowok tengil di sampingnya.
"Tapi bo-ong! Hahaha" tawanya membahana, memenuhi lift yang di huni hanya berdua
"Gak lucu, kalo mau ngelawak sana bareng Nunung Srimulat" ujar Lintang sambil bersedekap.
"Tapi aku maunya bareng kamu, duduk di pelaminan."
"In your dream."
"Mimpi itu bakal aku wujudkan, seperti pernah aku bilang Dion Arya pantang menyerah. Di pertemuan ketiga kita, kamulah jodoh ku sesungguhnya. Dan ini, pertemuan ke tiga kalinya jadi pikirkan ucapan ku."
"Jangan percaya takhayul, ini jaman kuda besi. Percaya hal begituan, sama dengan menduakan Tuhan."
"Bukan takhayul, tapi kenyataannya kita sudah tiga kali bertemu."
"Bodo amat! Yang pasti, aku ogah berjodoh dengan tunangan cewek lain."
"Hei Lintang, aku masih single belum sold out. Masih bisa kita berjodoh, tunggu beberapa purnama lagi."
"Nih, jodoh buat mu" sekuat tenaga Lintang menendang tulang kering Dion Arya, bertepatan dengan pintu lift terbuka. "Duk!"
"Aww...!" teriak Dion, memegangi sebelah kakinya yang mendapati tendangan maut Lintang. "Awas, gadis kecil. Aku buru kamu, sampai ke liang semut sekalipun" janji Dion diantara ringisannya.
Sementara Lintang tertawa puas, melihat sang pejantan murka. "Rasain lho, berani-beraninya melawan ku."
****
yg ad hidupx sendirian nnt x