Arumi menikah dengan pria yang tidak pernah memberikan cinta dan kasih sayang padanya, pria yang selalu merasa tak pernah cukup memiliki dirinya. Kesepian dan kesunyian adalah hal biasa bagi Arumi selama satu tahun pernikahannya.
Raka— suami Arumi itu hanya menganggap pernikahan mereka hanya sekedar formalitas semata dan bersifat sementara. Hal ini semakin membuat Arumi menjadi seorang istri yang kesepian dan tidak pernah bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi_Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 : Kehadiran Dia Lagi
Raka beringsut tidur di dekat Arumi lalu memeluk kedua kaki Arumi yang terulur ke depan. Raka menaruh kepalanya di kedua pada sang istri dan membiarkan tangan Arumi terus mengusap punggungnya.
Susah payah Arumi menahan kantuk, ia meraih ponselnya di nakas, mungkin bermain ponsel akan mengusir rasa kantuk itu.
“Aku ini sedang sakit, Rum. Bisa tidak, berikan perhatian penuh padaku tanpa membaginya dengan ponselmu itu,” keluh Raka yang membuat Arumi menghela nafas panjang.
“Aku begini untuk menahan kantuk, bukan bermaksud berbagi perhatian.”
“Kamu ini banyak banget ya alasannya.”
“Baik Raka, tolong jangan bicara lagi, lebih baik kamu tidur agar tubuhmu lebih baikan.” Raka memejamkan matanya dengan patuh, Arumi menaruh kembali ponselnya dan mengusap kembali punggung Raka dengan sebelah tangan, tangan satu lagi mengusap kepala suaminya.
Raka terbuai dengan usapan itu hingga dirinya terlelap tanpa peduli kalau Arumi tengah menahan kantuk yang terasa amat berat.
Hingga subuh menjelang, Arumi tidak tidur dan masih mengusap Raka. Panas di tubuh itu tidak juga turun hingga dia memutuskan untuk memanggil dokter ke rumah karena Raka menolak untuk dibawa ke rumah sakit.
Raka tak melepaskan pelukannya di kaki Arumi sama sekali, dia seakan sangat nyaman di posisi itu. Sampai pagi datang, Arumi hendak turun ke bawah untuk menyiapkan sarapan tapi Raka malah melarangnya.
“Kan sudah ada pembantu, biarkan dia saja yang menyiapkan makanannya. Lagian masakan kamu tidak pernah enak, apalagi kalau aku sedang sakit begini. Lanjutkan saja tugasmu membuat aku nyaman dengan usapan ini,” larang Raka lalu memberikan perintah dan tentunya dipatuhi oleh Arumi walau dia merasa sakit dengan hinaan yang masih terselip dalam ucapan Raka.
Arumi tidak membalas perkataan itu, dia memilih untuk fokus walau punggung, kaki, dan tangannya sangat kebas serta pegal.
Mardiana mengetuk pintu kamar majikannya. “Aku bukakan pintu dulu,” katanya sehingga Raka melepaskan pelukan di kaki Arumi.
Kaki itu langsung tak bisa digerakkan lantaran terasa kaku dan kebas, Arumi memaksakan jalan ke arah pintu lalu meminta Mardiana menaruh makanan di meja dekat sofa.
Sementara Arumi memijat sendiri kakinya hingga rasa kebas dan kesemutan itu hilang. Setelah Mardiana pergi dari kamar itu, Arumi menyuapkan Raka sarapan tapi ekspresi Raka justru menunjukkan kalau dia tidak menyukai masakan itu.
“Kenapa?” tanya Arumi heran.
“Masakannya tidak enak, sana, kamu saja yang buatkan sarapan,” jawab Raka sambil mengusap mulutnya dengan tissue.
Arumi mengangguk patuh dan menghabiskan makanan itu terlebih dahulu agar Mardiana tidak tersinggung karena makanannya bersisa. Setelah selesai, Arumi ke dapur dan membuatkan sarapan sesuai dengan permintaan Raka.
Beberapa menit berlalu hingga masakan Arumi matang dan dia bawa ke kamar. Arumi kembali menyuapi Raka dan kali ini dimakan sampai habis oleh pria angkuh tersebut.
Tak ada pujian atau komentar yang keluar dari mulut Raka atas makanan buatan Arumi. Dia hanya memakan sampai habis dan itu sudah membuat Arumi tersenyum senang, baru kali ini Raka menghabiskan makanan buatannya tanpa ada kata ‘hambar, asin, tidak enak’ dan lain sebagainya.
Tak lama dokter yang dipanggil oleh Arumi datang dan memeriksa Raka, dia memberikan obat penurun panas sehingga tubuh itu perlahan membaik. Arumi mengantarkan dokter tersebut keluar rumah setelah tugasnya selesai.
Saat masuk kamar, ternyata Raka sudah tidur dengan nyenyak. Kesempatan itu digunakan oleh Arumi untuk membersihkan diri, membersihkan kamar, dan mencuci pakaian. Sedangkan urusan rumah bagian luar kamarnya sendiri sudah diurus dan dibereskan oleh Idani.
Arumi duduk di sofa sambil menonton televisi, beberapa cemilan ada di dekatnya. Ia tak mau meninggalkan Raka yang saat ini masih sakit, ponsel Raka sedari tadi bergetar tapi tak dia pedulikan. Palingan juga panggilan dari Nadira, ia menjaga agar hatinya tidak disakiti nanti ketika bicara dengan Nadira.
...***...
Siang harinya, Arumi menyiapkan makanan lagi lalu membantu Raka membersihkan diri. Pria itu mandi dengan air hangat agar tubuhnya lebih fresh lagi.
Arumi membantu Raka menggosok tubuh kekar itu lalu membalutnya dengan handuk ketika selesai. Sebenarnya Raka bisa melakukan sendiri, hanya saja karena masih lemas, dia ingin dibantu oleh istrinya.
Arumi mengusapkan minyak angin aroma terapi ke tubuh Raka lalu membiarkan Raka mengenakan pakaian terlebih dahulu, dia lanjut menyisir rambut Raka dan membiarkan Raka duduk di balkon kamar sambil menikmati cahaya matahari yang mulai terik.
Selama mereka menikah, jika Raka demam, memang begini cara Arumi meladeni suaminya itu. Ia tidak mengeluh atau mendebat Raka sama sekali, dia menjalani kewajibannya sebagai seorang istri dengan penuh perhatian walau perhatian itu tak pernah dianggap ada oleh Raka.
Makanan buatan Arumi diantarkan oleh Mardiana ke dalam kamar dan lagi-lagi, Raka meminta Arumi untuk menyuapinya. Dengan senang hati Arumi lakukan .
“Ambilkan ponselku, Rum.” Raka memberikan perintah, dengan langkah biasa Arumi mendekati nakas di samping tempat tidur lalu mengambil ponsel Raka yang sudah puluhan kali Nadira memanggil.
Arumi memberikan ponsel itu, Raka langsung menghubungi Nadira untuk memberikan kabar dan meminta maaf karena tidak menjawab panggilan itu.
Raka terus menerima suapan dari Arumi, dia tidak peduli dengan hati istrinya ketika bicara di telfon dengan Nadira. Begitu lembut tutur bahasa Raka saat bicara dengan gadisnya itu sedangkan dengannya tidak.
Selesai makan, Arumi hendak pergi untuk membiarkan suaminya bicara dengan Nadira tapi Raka malah menahan lengannya dan memberikan isyarat untuk memijat kakinya.
Raka mengulurkan kaki pada Arumi yang duduk di lantai, dengan sabar Arumi memijat pelan kaki itu. Sakit sekali rasanya mendengar kemesraan Raka di telfon bersama Nadira, terlebih panggilan itu di loudspeaker oleh Raka sehingga Arumi bisa mendengarnya dengan jelas.
...***...
Sore harinya, Nadira datang ke rumah itu membawakan beberapa makanan serta cemilan untuk Raka. Arumi kali ini tidak melarang atau pun menyambut kedatangan Nadira, dia biarkan gadis itu menemui suaminya di dalam kamar sedangkan ia memilih untuk bersantai di depan televisi di ruang keluarga.
Hingga malam hari menjelang, Nadira tidak juga keluar dari kamar Raka. Arumi yang merasa ini sangat aneh langsung menghampiri ke kamar tapi kamar tersebut dikunci.
Arumi mengetuknya hingga Nadira membuka pintu dengan kondisi sudah sedikit berantakan, rambutnya disanggul asal, kancing bajunya juga terlepas hingga memperlihatkan area dada dan Raka tiduran di atas kasur tanpa baju dan selimut yang menutupi hingga pinggangnya saja.
“Apa yang sedang kalian lakukan?” bentak Arumi pada Nadira, dengan senyumannya, Nadira menjawab tenang, “Aku hanya menjalankan peranku untuk membahagiakan Mas Raka, Mbak. Dia ingin diberi perhatian lebih dan juga kasih sayang.”
Arumi mengepalkan tangannya, ingin sekali dia menampar Nadira tapi mengingat Raka masih sakit, dia urungkan niat itu.
“Kalau kau datang ke sini hanya untuk berzina dengan suamiku, lebih baik kau pergi karena aku tidak ingin rumahku terkena sial dengan kehadiran wanita liar sepertimu,” sengit Arumi yang membuat Nadira menganga tak menyangka.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
sama-sama kagak gunaaa/Hammer//Joyful/
istri sah : Ngabisin duit suami
pelakor : ngabisin duit buat ngabisin nyawa istri sah/Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
pelakor sakit hati : cari pembunuh bayaran 🤣🤣 gak ada harga dirinya lu Dir