Inara harus menelan pil pahit ketika Hamdan, sang suami, dan keluarganya tak mampu menerima kelahiran anak mereka yang istimewa. Dicerai dan diusir bersama bayinya, Inara terpuruk, merasa sebatang kara dan kehilangan arah.
Titik balik datang saat ia bertemu dengan seorang ibu Lansia yang kesepian. Mereka berbagi hidup, memulai lembaran baru dari nol. Berkat ketabahan dan perjuangannya, takdir berbalik. Inara perlahan bangkit, membangun kembali kehidupannya yang sempat hancur demi putra tercintanya.
Di sisi lain, Rayyan Witjaksono, seorang duda kaya yang terluka oleh pengkhianatan istrinya akibat kondisi impoten yang dialaminya. Pasrah dengan nasibnya, sang ibu berinisiatif mencarikan pendamping hidup yang tulus, yang mau menerima segala kekurangannya. Takdir mempertemukan sang ibu dengan Inara,ia gigih berjuang agar Inara bersedia menikah dengan Rayyan.
Akankah Inara, mau menerima Rayyan Witjaksono dan memulai babak baru dalam hidupnya, lengkap dengan segala kerumitan masa lalu mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eli Priwanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari pernikahan
Hari ini akhirnya Baby Daffa sudah di perbolehkan pulang, Inara dan Bu Farida terlihat bahagia, hanya saja dengan catatan, Baby Daffa tetap harus kontrol secara rutin ke rumah sakit, sesuai atas saran dari Dokter Reza.
Dan kini Inara mulai kembali menjalankan aktivitasnya menjahit di ruko, banyak pelanggannya yang merasa kehilangan sosok Inara dua Minggu terakhir ini, dan beruntungnya mereka memaklumi keadaannya dan tetap mempercayakan Inara sebagai desainer sekaligus penjahit mereka karena keterpuasan atas hasil maha karya dari seorang Inara Adiba.
Inara sempat termenung saat dirinya sedang menjahit gaun pengantin, ia memikirkan soal hari pernikahannya yang akan di gelar satu minggu lagi, beruntungnya ia meminta kepada calon Ibu mertuanya agar tidak merayakan pernikahannya secara mewah, cukup sederhana dan di hadiri oleh saudara dan juga kerabat dekat.
Sementara itu, Rayyan yang saat ini duduk di kursi kebesarannya, mulai memikirkan soal pernikahannya dengan Inara, dalam pikirannya ia ingin sekali memberikan pelajaran untuk wanita itu jika nanti sudah sah menjadi istrinya.
Dan tentunya ia sudah menyusun rencana untuk melaksanakan aksi gilanya kali ini sebagai bentuk peringatan agar Inara tidak berbuat yang lebih jauh lagi, Rayyan terus beranggapan jika Inara lah biang keladi atas terjadinya pernikahan ini.
Satu Minggu berlalu begitu cepat akhirnya hari yang telah ditetapkan kini telah tiba. Hari pernikahan yang terpaksa antara Inara Adiba dan Rayyan Witjaksono.
Tepat pukul sepuluh pagi, di kediaman mewah keluarga Witjaksono, suasana tegang bercampur haru memenuhi ruang utama. Rayyan, dengan setelan jas putih yang rapi, duduk berhadapan dengan penghulu. Di sampingnya, Nyonya Martha, ibunya, tersenyum sumringah, air mata bahagia menggenang di pelupuk matanya.
Di sudut ruangan, Inara duduk anggun dalam balutan kebaya putih, menunduk, berusaha menyembunyikan getar kegelisahan di hatinya. Di sampingnya, Bu Farida, ibu angkatnya, tak henti-hentinya menggenggam tangan Inara, air mata haru jatuh membasahi pipi tuanya.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti jam, momen sakral itu tiba. Rayyan menarik napas panjang, menatap wali hakim yang mewakili Inara, lalu dengan satu tarikan napas mantap, ia mengucapkan.
"Saya terima nikah dan kawinnya Inara Adiba binti Almarhum Hasan Ishaaq dengan mas kawin tersebut, tunai!"
"SAH!" Ucap saksi pertama dan kedua
"Alhamdulillah..."jawab pak penghulu
Suasana seketika meledak dengan ucapan syukur dan doa. Nyonya Martha tersenyum lega, hatinya dipenuhi harapan. Ia tahu pernikahan ini didasari keterpaksaan, tapi ia yakin, Inara adalah satu-satunya wanita yang bisa menerima segala kekurangan Rayyan, terutama kondisi impoten nya yang selama ini Nyonya Martha sembunyikan dari Inara. Rasa bersalah karena tidak memberitahu Inara sejak awal ia tepis, diyakini bahwa kebaikan hati Inara akan mengatasi segalanya, seperti Inara menerima Baby Daffa, putranya yang mengidap down syndrome, dengan sepenuh hati.
Bu Farida memeluk Inara erat, isakannya kini lebih terdengar.
Bu Farida berbisik di telinga Inara, suaranya tercekat. "Nak, kamu sekarang sudah menjadi istri. Ibu selalu mendoakan, semoga Rayyan bisa membahagiakan kamu. Jadilah istri yang baik, Nak."
Kemudian Inara membalas pelukan Bu Farida, sambil menahan air matanya.
"Terima kasih, Bu. Inara tidak akan pernah lupa semua kebaikan Ibu."
Acara pernikahan dan resepsi sederhana yang dihadiri keluarga serta kerabat dekat itu berjalan lancar, terasa hangat dan penuh rasa kekeluargaan, menjadikan Mansion Witjaksono lebih hidup.
Setelah semua rangkaian acara usai dan hari mulai gelap, kini Inara dan Baby Daffa resmi tinggal di Mansion. Bu Farida, meskipun Nyonya Martha telah memintanya menginap, tetap menolak dengan halus dan memilih untuk kembali ke rumah lamanya.
Sebelum Bu Farida beranjak pulang, Inara memeluknya sekali lagi di depan pintu utama.
"Hati-hati, Bu. Inara titip salam untuk... untuk semuanya."
"Iya, Nak. Jaga dirimu baik-baik, ya. Jangan sungkan menghubungi Ibu kalau ada apa-apa."
Setelah kepergian Bu Farida, Rayyan dan Inara bergegas menuju kamar pengantin mereka. Baby Daffa sudah diurus oleh seorang baby sitter yang direkrut Nyonya Martha.
Di kamar yang luas dan mewah, Nyonya Martha sempat ingin menghampiri Inara untuk menjelaskan tentang kondisi impoten putranya, tetapi ia memutuskan untuk tidak ikut campur. Ia yakin, Rayyan pasti akan memberitahu istrinya malam ini.
Sementara itu, Inara langsung bergegas mengganti kebaya pengantinnya dengan pakaian tidur yang longgar. Sambil melipat pakaiannya, ia teringat jelas isi surat kontrak perjanjian pernikahan yang telah mereka sepakati yakni tidak ada kontak fisik dan tidak tidur satu ranjang.
Rayyan yang baru selesai mandi, berdiri di dekat lemari, memandangi Inara. Istrinya itu kini tidak mengenakan hijab. Rambut hitam Inara yang berkilau tampak tergerai indah hingga sepinggang. Sebuah pemandangan yang tak terduga oleh Rayyan.
Setelah selesai mengganti pakaian, Inara mengambil selimut tebal dan sebuah bantal.
"Kau mau kemana?" tanyanya datar.
Inara menoleh, menunjuk sofa panjang di sudut ruangan. "Saya akan tidur di sana, Tuan Rayyan, sesuai perjanjian kita. Saya tidak akan melanggarnya."
Inara berjalan menuju sofa, mulai menata bantal di atasnya. Rayyan terdiam sejenak, tatapannya lekat mengamati Inara. Ia tidak menyangka Inara akan seserius itu menaati kontrak, bahkan untuk hal sekecil ini.
Saat Rayyan masih memperhatikan Inara yang kini sudah merebahkan diri di sofa, pandangan Inara terangkat. Kedua mata mereka, yang baru saja terikat dalam janji suci yang penuh kepalsuan, akhirnya bertemu. Ada hening yang panjang, diisi oleh kerumitan tak terucapkan dari pernikahan terpaksa ini.
Rayyan membuang pandangannya ke arah lain, lalu ia segera merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya yang berukuran king size dan di atasnya masih bertaburan kelopak bunga mawar merah, lalu Rayyan tidur memunggungi Inara, perasaannya mulai cemas, ia seperti belum kembali terbiasa tidur satu kamar dengan wanita asing, di tambah wanita tersebut sangat di bencinya.
Sedangkan Inara, karena sudah merasa lelah seharian menjadi seorang pengantin, ia justru malah tertidur pulas, bahkan mulutnya sudah menganga.
Sedangkan Rayyan, ia samasekali tidak bisa memejamkan kedua bola matanya, ia benar-benar tidak nyaman berada dalam satu kamar dengan Inara, hingga akhirnya ia bangkit dari atas ranjang tempat tidur. Lalu ia membalikan badan dan menoleh ke arah Inara yang sudah tertidur pulas di atas kursi sofa.
"Cih, sialan... Bisa-bisanya wanita menyebalkan itu tidur pulas secepat ini, ini tidak bisa di biarkan, dia harus merasakan apa yang saat ini aku rasakan!" Rayyan tersenyum jahil dan ia berniat untuk mengerjai Inara, kedua matanya berkilat tajam.
Dengan langkah yang pelan, Rayyan bergegas menghampiri Inara, ia sempat tertawa kecil melihat Inara tertidur dengan mulut menganga.
'malam ini akan aku berikan sedikit pelajaran padamu, kau akan tahu siapa aku sebenarnya, Inara!' gumamnya pelan.
Bersambung...