Selina harus menelan pahit kenyataan di kala dirinya sudah bercerai dengan mantan suami hasil perjodohan. Ternyata tak lama setelah itu, dia menemukan dirinya tengah berbadan dua.
Selina akhirnya memutuskan untuk membesarkan bayinya sendiri, meskipun harus menjadi ibu tunggal tak membuatnya menyerah.
Berbeda dengan Zavier. Mantan suaminya yang hidup bahagia dan mewah dengan kekasihnya. Seseorang sudah hadir di hidup pria itu jauh sebelum kedatangan Selina.
Akankah kebenarannya terungkap seiring berjalannya waktu? Belum lagi Selina Kini harus terjebak dengan seorang bos yang sangat menyebalkan.
Ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33
Selina lekas menjemput Ian setelah mendapatkan kabar dari pihak sekolah kalau ada seorang wanita asing yang datang hendak menjemput putranya.
Jantungnya berdegup kencang sepanjang perjalanan, memacu motor matiknya membelah kemacetan kota yang menyesakkan. Bayangan buruk terus menghantui pikirannya; bayangan tentang Ian yang menangis ketakutan atau, lebih buruk lagi, Ian yang dibawa pergi paksa. Tidak salah lagi, instingnya mengatakan kalau orang itu adalah Maisa.
Begitu tiba di sekolah, Selina segera turun dari motornya. Matanya liar mencari dan menangkap sosok Ian yang tengah berdiri di samping Bu Fina di sudut taman sekolah. Bocah kecil itu tampak pucat, namun begitu melihat ibunya, binar di matanya kembali. Ia segera berlari menghampiri dengan langkah kaki kecil.
“Mama!” Ian langsung menghambur dan memeluk Selina.
Selina berlutut, membalas pelukan Ian sembari mengusap punggungnya. “Mama di sini, Sayang. Mama di sini,” bisiknya menenangkan.
Tatapannya kemudian terarah pada Bu Fina. “Apa yang sebenarnya terjadi, Bu?”
Bu Fina menghela napas panjang. “Ada seorang wanita yang mengaku sebagai bibinya Ian. Penampilannya sangat glamor, namun bicaranya agak memaksa. Katanya dia disuruh menjemput karena Anda sedang sangat sibuk di kafe. Tapi Ian pintar, dia langsung bilang kalau dia tidak punya bibi seperti itu dan menolak ikut.”
“Terima kasih banyak sudah menjaga anak saya, Bu. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi kalau Ibu tidak waspada,” suara Selina parau.
“Itu sudah kewajiban saya, Bu Selina. Tapi saya sarankan tolong lebih hati-hati. Wanita itu tadi sempat terlihat sangat marah sebelum akhirnya pergi saat saya mengancam akan memanggil keamanan sekolah.”
Selina mengangguk lemah. Setelah berpamitan, ia membawa Ian pulang. Sesampainya di rumah. Ia mendudukkan putranya di kursi kayu di ruang tengah, memberikan segelas air agar bocah itu tenang.
“Mama, tadi Tante itu… datang ke sekolah Ian. Dia narik-narik tangan Ian,” kata Ian dengan suara pelan.
Selina merasakan amarah membuncah di dadanya, namun ia berusaha tetap tenang di depan anaknya. Ia mengusap kepala Ian dengan lembut. “Dia nggak akan datang lagi, Sayang. Percaya sama Mama. Nanti Mama yang akan bicara dan memarahi dia. Kamu jangan takut, ya? Ada Mama, ada Bi Desi di sini.”
Selina kemudian memeluk putranya erat-erat, mencoba menyalurkan rasa aman. Setelah Ian agak tenang dan kini ditemani oleh Bi Desi di kamar untuk beristirahat, Selina tidak bisa tinggal diam. Ia harus segera bergegas ke perusahaan Aetherworks.
Jayden telah memintanya untuk membantu tim katering dan para koki karena siang ini ada acara makan siang bersama klien internasional yang sangat penting.
Sementara itu, di gedung pencakar langit pusat kota, Maisa baru saja tiba di pelataran perusahaan Aetherworks. Gadis itu turun dari mobil mewahnya dengan dagu terangkat, wajahnya penuh percaya diri, lalu melangkah masuk ke lobi dengan denting sepatu hak tinggi yang menggema.
Seorang satpam senior bernama Pak Bambang segera menghadangnya dengan sopan namun tegas. “Maaf, Nona Maisa. Mohon maaf sebelumnya, Anda tidak diperkenankan masuk ke area kantor hari ini.”
Alis Maisa terangkat tinggi, matanya melotot tidak percaya. “Tidak boleh masuk? Kamu tahu siapa aku?!”
“Saya tahu betul siapa Anda, Nona. Tapi ini adalah perintah langsung dari Pak Jayden. Beliau memberikan instruksi bahwa Anda dilarang masuk untuk sementara waktu.”
Maisa melipat tangan di dada, tertawa sinis. “Apa hakmu melarangku? Aku ini calon istrinya! Minggir!”
“Maaf sekali, Nona. Siapapun Anda, bagi kami perintah atasan adalah mutlak.”
Nada suara Maisa meninggi, menarik perhatian beberapa karyawan yang lewat. “Kamu berani melawanku?!”
Pak Bambang menarik napas panjang, tetap tenang meski dadanya bergemuruh. “Saya hanya menjalankan tugas untuk menjaga kenyamanan rapat Tuan Jayden. Kalau Nona keberatan, silakan langsung hubungi Tuan Jayden sendiri. Tapi sekarang, saya tidak bisa membiarkan Anda melewati pintu sensor ini.”
Mata Maisa menyipit tajam, urat-urat di lehernya menegang. Rahangnya mengeras menahan amarah yang meledak-ledak. Baginya, penolakan ini adalah penghinaan terbesar. Tanpa pikir panjang lagi, Maisa langsung mendorong satpam itu dengan sekuat tenaga hingga pria paruh baya itu kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke lantai marmer.
“Nona! Anda tidak boleh masuk!! Keamanan! Cegat di lift!” teriak Pak Bambang sembari berusaha bangkit dengan ringisan di wajahnya.
Namun Maisa tak peduli. Dengan langkah seribu, ia bergegas masuk ke dalam lift yang kebetulan sedang terbuka. Ia menekan tombol lantai teratas, tepat sebelum satpam lain berhasil menjangkau pintu lift tersebut. Di dalam lift yang bergerak naik, Maisa mengatur napasnya yang memburu, merapikan rambutnya di depan cermin lift dengan tatapan yang penuh obsesi.
•••••••
Di lantai eksekutif, Jayden tengah berada di ruang rapat utama Aetherworks yang kedap suara. Ruangan luas itu dilengkapi layar LED raksasa yang menampilkan grafis memukau mengenai proyek game terbaru mereka.
Beberapa klien dari luar negeri duduk berjejer di meja panjang, memperhatikan dengan takjub penjelasan dari tim pengembang Jayden.
“Konsep yang kalian tawarkan sangat revolusioner. Game open-world dengan integrasi VR dan AI yang adaptif ini punya potensi besar untuk mendominasi pasar Asia dan Eropa,” ujar salah satu investor utama dengan nada puas.
“Selain itu, Aetherworks berkomitmen untuk menjaga kualitas grafis tanpa mengorbankan performa perangkat menengah. Kami juga sedang menyiapkan fitur kompetisi e-sport terintegrasi agar produk ini bisa masuk lebih jauh ke ranah global dan menjadi standar baru di industri.”
“Bagus sekali, Pak Jayden. Kami sangat terkesan. Kami ingin melihat laporan progres detailnya dalam tiga bulan ke depan sebelum penandatanganan kontrak fase kedua."
Jayden mengangguk mantap. “Itu akan kami siapkan. Tim kami sudah membagi target mingguan yang sangat ketat agar progres bisa termonitor dengan jelas melalui sistem cloud kami.”
Maisa kini sudah tiba di depan ruangan meeting. Napasnya memburu hebat.
Entah kenapa semakin hari dia semakin terobsesi memiliki Jayden. Baginya, pria itu adalah aset, harga diri, dan miliknya seorang. Ia tidak akan membiarkan siapa pun menghalangi jalannya, termasuk aturan perusahaan.
“Pokoknya Jayden harus menikah denganku. Aku tidak akan membiarkan wanita manapun merebutnya… apalagi wanita miskin, rendahan, dan bodoh seperti Selina. Dia tidak level bersaing denganku,” gumamnya dengan kedua tangannya terkepal di sisi tubuhnya, kukunya sampai memutih.