Dia mendengar kalimat yang menghancurkan hatinya dari balik pintu:
"Dia cuma teman tidur, jangan dibawa serius."
Selama tiga tahun, Karmel Agata percaya cintanya pada Renzi Jayawardhana – bosnya yang jenius dan playboy – adalah kisah nyata. Sampai suatu hari, kebenaran pahit terungkap. Bukan sekadar dikhianati, dia ternyata hanya salah satu dari koleksi wanita Renzi.
Dengan kecerdasan dan dendam membara, Karmel merancang kepergian sempurna.
Tapi Renzi bukan pria yang rela kehilangan.
Ketika Karmel kembali sebagai wanita karir sukses di perusahaan rival, Renzi bersumpah merebutnya kembali. Dengan uang, kekuasaan, dan rahasia-rahasia kelam yang ia simpan, Renzi siap menghancurkan semua yang Karmel bangun.
Sebuah pertarungan mematikan dimulai.
Di papan catur bisnis dan hati, siapa yang akan menang? Mantan sekretaris yang cerdas dan penuh dendam, atau bos jenius yang tak kenal kata "tidak"?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13
Sinar matahari siang menerobos melalui dinding kaca kantor Renzi, menyoroti tumpukan dokumen yang berantakan di atas meja kerjanya yang megah. Renzi berdiri dengan punggung menghadap jendela, tubuhnya tegang bagai kawat yang akan putus. Di hadapannya, Pita berdiri dengan kepala tertunduk dalam, kedua tangannya menggenggam erat laporan yang baru saja dikembalikan dengan coretan merah berantakan.
"Kok bisa orang sebodoh lo lulus kuliah!" Renzi mengeluarkan cemohan pedas, suaranya seperti pisau yang mengiris udara yang sudah panas oleh ketegangan. Matanya yang tajam menyapu Pita dari ujung kepala sampai kaki dengan pandangan menghina.
"Bikin laporan begini aja salah terus!" bentaknya lagi, tangan kanannya menunjuk-nunjuk dokumen yang berserakan. "Data produksi kuartal ketiga kok bisa dicampur dengan kuartal kedua? Analisis pasar yang harusnya mendalam, ini cuma copy-paste dari tahun lalu!"
Pita menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan isakan yang sudah mengganjal di kerongkongannya. "Maaf pak, saya akan perbaiki," bisiknya lemah.
"Maaf... Maaf... Maaf terus bisa lo!" Renzi menggeleng, wajahnya menunjukkan ekspresi jijik. "Mending lo keluar deh dari sini! Gue nggak butuh sekretaris bodoh kayak lo!"
Mendengar kalimat itu, Pita tersentak seolah baru saja ditampar. Wajahnya yang cantik seketika pucat pasi. "Saya mohon pak, jangan pecat saya," pintanya dengan suara bergetar.
Fano yang selama ini diam di sudut ruangan, memberanikan diri maju selangkah. "Pak, tolong dipertimbangkan lagi," ujarnya dengan hati-hati. "Kesalahan Pita masih bisa diperbaiki kan. Ini baru pertama kalinya dia membuat kesalahan sebesar ini."
Renzi memutar badannya, menghadap Fano dengan tatapan yang lebih dingin dari es. "Oh sekarang lo yang mau ngatur gue, Fan?" tukasnya dengan suara rendah yang berbahaya.
"Bukan begitu pak," Fano cepat-cepat membela diri, tangannya terangkat sedikit sebagai gesture menenangkan. "Maksud saya..."
"APA!" bentak Renzi tiba-tiba, membuat kedua karyawan itu hampir melompat ketakutan.
Pita tak bisa lagi menahan tangisnya. Air mata mengalir deras di pipinya yang sudah pucat. Dia menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangan, bahunya bergerak naik turun oleh isakannya.
Fano menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. "Pita yatim piatu pak," jelasnya dengan suara yang berusaha tetap tenang. "Adiknya masih bersekolah. Kalau bapak pecat dia, dari mana dia bisa menghidupi keluarganya? Dia tulang punggung pak."
Tapi Renzi bukanlah pria yang mudah tersentuh oleh cerita sedih. Wajahnya tetap batu, tak ada sedikitpun empati yang terpancar. "Apa jaminan lo kalo dia nggak akan bikin masalah lagi?" tegasnya dingin.
"Bapak boleh pecat saya juga kalau dia berbuat masalah lagi," Fano menjawab dengan keyakinan penuh, meski hatinya berdebar-debar.
Seketika itu juga, senyum sinis muncul di bibir Renzi. "Jadi ceritanya lo mau jadi pahlawan buat dia?" sindirnya, matanya berpindah antara Fano dan Pita. "Mulai suka sama Pita?"
Fano hanya bisa diam, wajahnya memerah. Pita yang mendengar sindiran itu malah semakin menunduk, telinganya merah oleh rasa malu.
"Sekarang urusin semua masalah yang dibuat sama dia," Renzi akhirnya berkata dengan suara datar. "Gue mau laporan ini selesai siang ini sebelum meeting!"
"Baik pak," jawab Pita dengan suara lemah, hampir tak terdengar.
Renzi kemudian berbalik dan meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi, meninggalkan Fano dan Pita dalam keadaan limbung. Begitu pintu tertutup, Pita hampir terjatuh, tapi Fano dengan sigap menahannya.
"Pit, besok-besok sebelum laporan dikasih ke si boss, kamu kasih ke aku dulu aja," ujar Fano dengan suara lembut. "Biar aku cek dulu."
Pita mengangguk pelan, matanya masih basah oleh air mata. "Iya... Makasih, Fan," bisipnya, penuh rasa syukur bahwa masih ada yang peduli padanya di tengah kerasnya dunia korporat ini.
***
Restoran mewah "Rembulan" dipenuhi oleh gemerlap lampu kristal dan suara lembut musik instrumental. Renzi baru saja memarkir mobil sport mahalnya, wajahnya masih menyimpan sisa kesal setelah insiden dengan Pita di kantor.
"Sayang, aku udah di restoran Rembulan," suara manja seorang wanita terdengar dari teleponnya.
"Iya, aku lagi on my way kesana nih," balas Renzi dengan suara datar sebelum menutup telepon. Dalam hatinya, ia bahkan tak ingat nama wanita yang baru dikenalnya dua hari lalu itu.
Begitu masuk ke dalam restoran, matanya yang tajam langsung menyapu seluruh ruangan. Ia berharap bisa langsung menemui kencannya dan menghabiskan malam dengan biasa-biasa saja. Namun, takdir berkata lain.
Di sudut restoran dekat jendela besar, duduklah Karmel dengan blazer kerja yang seksi namun elegan. Yang membuat napas Renzi tersangkut adalah pria yang duduk di hadapannya - Bima, rekan kerja Karmel yang pernah ia dengar dalam panggilan video di Jeju.
Mereka terlihat begitu akrab. Karmel tersenyum lepas, sesuatu yang sudah lama tidak Renzi lihat. Tangannya sesekali menyentuh lengan Bima saat tertawa, dan yang paling membuat Renzi geram adalah cara Bima memandang Karmel - penuh kekaguman dan perhatian yang tulus.
"Sayang..." suara kencannya mengagetkannya. "Kok malah berdiri disini sih. Kita duduk disitu." Wanita cantik berambut panjang itu menunjuk ke meja yang tak jauh dari tempat Karmel duduk.
Renzi mengangguk kaku, wajahnya berusaha tetap netral. Saat melewati meja Karmel, sengaja atau tidak, pandangan mereka bertemu. Karmel terkesiap sebentar, senyumnya pudar, sebelum akhirnya mengalihkan pandangan dan berpura-pura tak mengenalinya.
Sepanjang makan siang itu, Renzi hampir tak menyentuh makanannya. Matanya terus mengawasi Karmel dan Bima. Ia melihat bagaimana Bima dengan sopan menyiapkan kursi untuk Karmel, bagaimana mereka berbagi makanan, dan yang paling menyakitkan - bagaimana Karmel terlihat begitu bahagia dan bebas.
"Kamu kenapa? Kok dari tadi diam aja," tanya kencannya, sedikit kesal.
Renzi tak menjawab. Di benaknya, hanya ada satu pikiran: Karmel adalah miliknya, dan tak seorang pun berhak membuatnya tersenyum seperti itu. Rasa posesif yang gelap mulai menggerogoti pikirannya, merencanakan cara untuk kembali menguasai wanita yang sudah ia anggap sebagai haknya.
***
Setelah beberapa saat duduk dengan perasaan tidak nyaman, Karmel akhirnya berdiri. "Aku ke toilet dulu ya, Mas," ujarnya pada Bima dengan suara lembut.
Bima mengangguk dengan senyum hangat. "Iya, Mel."
Karmel berjalan menyusuri koridor restoran yang mewah menuju area toilet. Begitu masuk ke dalam, ia berdiri sejenak di depan cermin besar, mengambil napas dalam-dalam. Pertemuan tak terduga dengan Renzi telah mengoyak ketenangannya. Dengan tangan sedikit gemetar, ia membenarkan riasan wajahnya yang hampir sempurna.
Begitu keluar dari toilet, dadanya hampir sesak ketika melihat Renzi sedang bersandar di dinding koridor, menunggunya dengan ekspresi yang membuatnya geram.
"Apa kabar, Mel?" ujar Renzi sambil mendekat, tangannya dengan lancang membelai pipi Karmel.
Karmel segera menepis tangan itu. "Minggir!" desisnya dengan suara tertekan, berusaha tidak menarik perhatian pengunjung restoran lain.
"Jangan begitu dong," Renzi menyeringai, tak bergerak dari posisinya. "Kita baru aja nikmati malam berdua belum lama ini di Jeju. Harusnya kamu bisa lebih santai kalau ketemu aku."
"Aku bisa laporin kamu atas tindakan pelecehan!" ancam Karmel, matanya membara.
"Terus?" Renzi tak sedikit pun gentar, malah terlihat semakin terhibur oleh ancaman itu.
"Kamu pikir segalanya bisa selesai pakai uang dan kekuasaan kamu?!" sergah Karmel, meski dalam hatinya ia tahu betul jawabannya.
"Kalau gitu lakuin apa yang kamu bilang tadi," tantang Renzi dengan senyum penuh kemenangan. "Kita buktiin siapa yang menang."
Karmel menatapnya dengan kebencian, menyadari betapa tidak berdayanya ia dalam menghadapi pria ini. Dengan langkah tegas, ia mencoba melewati Renzi. "Minggir!"
Tapi Renzi dengan sigap menangkap pergelangan tangan Karmel, menggenggamnya erat. "Inget!" bisiknya dengan suara rendah namun penuh ancaman. "Kapan aja aku bisa kirim foto itu ke ibu kamu. Kita berdua pasti tau apa yang bakal terjadi kalau ibu kamu tau seberapa 'panasnya' anak gadisnya ini."
Karmel menatap Renzi dengan pandangan yang bisa membunuh, campuran antara kemarahan dan keputusasaan. "Jangan coba-coba, Renz!"
Tapi Renzi hanya tertawa kecil sebelum melepaskannya, membiarkan Karmel kembali ke mejanya dengan perasaan hancur dan terjebak dalam permainan kotor yang tak kunjung usai.