"Tidak ada pengajaran yang bisa didapatkan dari ceritamu ini, Selena. Perbaiki semua atau akhiri kontrak kerjamu dengan perusahaan ku."
Kalimat tersebut membuat Selena merasa tidak berguna menjadi manusia. Semua jerih payahnya terasa sia-sia dan membuatnya hampir menyerah.
Di tengah rasa hampir menyerahnya itu, Selena bertemu dengan Bhima. Seorang trader muda yang sedang rugi karena pasar saham mendadak anjlok.
Apakah yang akan terjadi di dengan mereka? Bibit cinta mulai tumbuh atau justru kebencian yang semakin menjalar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LyaAnila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 12: Apakah sudah dimaafkan?
Sudah pukul sembilan malam, setelah Selena merenungi nasibnya kedepan. Selena melangkahkan kakinya untuk membeli nasi goreng dan beberapa cemilan yang masih buka. Malam itu kebetulan juga turun hujan yang tak terlalu lebat.
Setelah selesai membeli apa yang ia mau, Selena segera kembali ke kost nya untuk menyantap makanan nya. Sesampainya di kamar, ia melepaskan cardigan, menjatuhkan tas selempang yang ia bawa dan lansung terduduk di sofa.
"Kenapa jadi kosong gini rasanya? Beda banget sama dulu," gerutunya sambil berjalan ke dapur mini untuk menghangatkan jajan yang sudah dibelinya tadi. Setelah selesai menghangatkan makanan, ia kembali duduk di sofa bulatnya dan memejamkan mata sejenak.
Bayangan wajah-wajah di kantor, bisikan-bisikan yang terdengar dan email anonim mulai mengusiknya ketika ia ingin mengistirahatkan matanya. Serta suara Bhima yang terdengar lantang mengatakan bahwa ada seseorang yang ingin menghancurkan reputasi nya.
Karena suara-suara itu sudah mengganggu pikirannya, Selena membuka mata dan menyantap makanan yang dibelinya. Namun, kalimat demi kalimat yang di ujarkan Bhima seolah merekat keras di pikirannya.
Dia menoleh ke arah meja tempat laptopnya biasanya diletakkan. Sudah beberapa Minggu ini laptopnya belum sempat diambil dari tempat service, karena ia sibuk menulis kalimat klarifikasi. Padahal disana ada nyawanya. Bukti bahwa dia tidak melakukan plagiarisme sama sekali.
"Gue harus mengambil laptop itu. Gue harus membuktikan bahwa semua itu hanya tuduhan palsu tanpa dasar. Meskipun harus merelakan tabungan, hiks," gumamnya sambil sedikit menangis.
*****
Disisi lain, Bhima masih terduduk di meja kerja sambil menatap monitor. Di layar komputernya, terpampang beberapa tangkapan layar chat muncul. Isi tangkapan layar tersebut berisi percakapan antara Arvin dan seseorang yang username nya asing. Percakapannya berisi beberapa konten sensitif, narasi trading yang menjeratnya dan tuduhan baru.
Bhima sedikit keheranan dan memijit pelipisnya perlahan.
"Ha..... Tuduhan baru. Apalagi yang akan terjadi ini? Tuduhan baru apa? Beneran Arvin sampai sejauh ini?" gumamnya sambil perlahan menyeruput kopi.
"Tega banget lu, Vin. Lu ngelakuin ini sendirian apa ada yang nyuruh lu buat jebak gue sampai segini parahnya?" gumamnya ketika ia membaca perlahan isi pesan itu.
Namun, ia teringat tentang ucapan Selena ketika ia menghampirinya di kost-an.
"Tolong Bhima. Gue capek. Pergi aja ya. Lain kali kita ngobrol lagi."
Terbersit rasa bersalah yang menghujam dadanya. Tujuan ia datang hanya menjelaskan malah kedatangannya menambah beban pikiran Selena.
Sangat gila memang mengira Selena akan baik-baik saja setelah datangnya hujatan.
Bhima pun mengambil gawainya yang tergeletak di samping komputernya. Ingin sekali ia mengetuk profil Selena di WhatsApp nya.
"Ah, jangan sekarang. Selena sangat butuh waktu. Owh ya. Laptopnya juga belum diambil sepertinya. Belum datang tagihan service nya ke aku."
*****
Sinar mentari perlahan menyusup ke celah jendela kost Selena. Pagi ini, ia sudah terlihat segar. Kali ini, ia menggunakan pakaian forma dengan dibalut blazer biru dan melihat bayangannya yang cantik di cermin.
"Wihh. Hari ini Selena Widyantara cantik kali ah. Ayo semangat," ujarnya sambil menguatkan hatinya.
'Anak ayah memang cantik dan hebat. Kamu pasti bisa, Nak. Ayah selalu mendoakan mu disini.'
Suara itu datang lagi. Entah kenapa, Selena tidak takut. Padahal ia dikenal penakut. Ia malah nyaman dengan suara itu. Ia mengibaratkan bahwa suara itu memang suara ayahnya yang meninggal setahun yang lalu. Yang selalu menyemangatinya.
Setelah selesai menguatkan dirinya, ia bergegas ke kantor. Baru kali ini, ia mengharapkan terjebak macet. Dikarenakan ia ingin sekali menguatkan mentalnya. Siapa tau akan dihajar lagi dengan laporan plagiarisme.
Benar saja, baru kali ini seolah Tuhan mengabulkan permintaannya. Perjalanan yang biasa ditempuh hanya dua puluh menit, tadi bisa sampai satu jam. Entah mungkin perbaikan jalan atau apa. Tapi Selena bersyukur. Setidaknya ia bisa menyiapkan mentalnya.
Seperti biasa. Suasana di kantor terpantau masih sepi. Selena menghidupkan komputernya dan menyeret kursi kerjanya kemudian duduk. Ia menenangkan dirinya.
Setelah komputer nya hidup sempurna, ia membuka jendela word dan mulai melanjutkan mengetikkan beberapa kalimat pembuka klarifikasinya. Namun, pintu kerjanya terbuka dan menampilkan sosok Raisa yang masuk dengan muka terkejut.
"Lho. Sejak kapan datangnya, Len. Pagi banget."
"Sejak tadi, Rai. Banyak yang harus diselesaikan," Selena mengulas senyum tipis pada Raisa. Supaya tidak dikira jutek.
"Naskah klarifikasi udah selesai?"
"Belum. Lagi proses nih."
"Oke."
*****
Menjelang pukul sepuluh pagi, Selena ke pantry untuk mengambil pop mie dan teh. Waktu istirahatnya ia gunakan untuk kembali mengisi tenaga.
Sambil menunggu air mendidih, ia mencoba membaca berita. Ternyata, nama dirinya juga populer di komunitas penulis karena tuduhan plagiarisme nya.
Komentar demi komentar buruk pun muncul terus ketika ia menggulirkan kursornya kebawah. Ada yang bilang, Selena punya dukungan tinggi. Padahal, sebenarnya dia masih pemula. Belum kenal orang-orang berpengaruh.
Ia pun segera menutup ponselnya dan segera menuangkan air mendidih tadi ke pop mie dan menuangkan tehnya, kemudian ia kembali ke ruang istirahat.
"Len, lu udah lihat grup forum penulis? Mereka lagi bahas lu lagi gue baca tadi." Tanya Rani yang entah kapan munculnya.
Selena yang sudah membaca berita itu hanya mengangguk dan menyeruput teh hangatnya. Kemudian, ia memakan pop mie nya dengan santai, seolah tak ada beban.
"Kalau gitu, lu jangan buka komentar dulu, ege. Entar lu nggak fokus ke klarifikasi."
Selena hanya mengangguk paham. Namun, baru saja ia ingin duduk. Ada seseorang dari luar yang berteriak memanggil namanya. Siapa lagi kalau bukan Bhima. Entah kenapa, Bhima bisa masuk ke ruang istirahat. Selena pun tak paham.
"Selena."
Selena mengepalkan tangannya sebelum mengulurkan kertas tagihan perbaikan laptopnya ke Bhima.
"Totalnya empat juta. Kembaliin uang gue dan gue bakal dengerin semua bukti itu. Dan kirim aja bukti yang lu punya. Lu kan punya nomor gue. Dan ya, pokoknya ganti uang gue. Gue butuh laptop itu. Karena, disana ada bukti data-data karya gue," ketus Selena.
"Oke, aku bakal bayar tagihan laptop mu. Nanti kalau udah, kita cocokan bukti yang aku punya," jelas Bhima.
"Kenapa lu bantu gue?" Perlahan, Selena mensejajarkan pandangannya ke Bhima.
"Karena, aku nggak mau kamu ngerasain semua ini sendirian. Karena ini juga murni kesalahan aku. Aku nggak tau kamu lagi di fitnah juga," jelas Bhima.
Mendengar hal itu, Selena tercekat. Ia tak menyangka bahwa orang yang dianggapnya tak punya hati itu bisa lembut seperti ini.
"Bhima."
"Ya. Kenapa?"
"Makasih lu mau tanggungjawab dan bantuin gue. Gue permisi dulu," ujar Selena.
"Iya sama-sama. Hati-hati. Kamu nggak sendirian, Sel. Ada aku," balasnya.
Keduanya pun saling meninggalkan setelah meluangkan waktu untuk mengatakan sejujurnya perasaan masing-masing.
Untuk pertama kalinya sejak rumor itu berkembang, Selena tak merasa sendirian lagi. Karena ada Bhima yang ternyata dia mau bertanggungjawab dan menemaninya.
*****
Lihatlah Selena, jiwa yang kini dirundung mendung, Langkah kakinya berat, tertatih di sela duri yang kian tajam. Masalah datang padanya bak hujan badai yang tak kunjung usai, Satu luka belum kering, seribu perih sudah menanti di ambang pintu.
Dunia mungkin melihatnya sebagai sosok yang malang, Namun bagimu, biarlah ia menjadi pusaka yang harus kau jaga. Jadilah teduh saat dunianya membara, Jadilah rumah saat ia merasa asing di tanahnya sendiri.
Jangan biarkan api kecil di matanya padam tertiup duka yang bertubi-tubi. Genggam tangannya, bukan untuk mengekang, Tapi untuk membisikkan bahwa ia tidak lagi berjalan sendirian.
Bhima, jagalah Selena dengan seluruh ketulusanmu, Sebab di balik kerapuhannya, tersimpan permata yang hanya bisa bersinar, Jika kau beri ia rasa aman untuk kembali percaya pada cahaya.