NovelToon NovelToon
Cinta Terlarang Dengan Abang Tiri

Cinta Terlarang Dengan Abang Tiri

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Cinta Terlarang / Cintapertama
Popularitas:39.1k
Nilai: 5
Nama Author: mama reni

“Jika mencintaimu adalah dosa, biarkan aku berdosa selamanya.”

Sejak ayahnya menikah lagi, hidup Davina terikat aturan. Ia hanya boleh ke mana pun ditemani Kevin, abang tiri yang dingin, keras, dan nyaris tak tersentuh.

Delapan belas tahun bersama seharusnya membuat mereka terbiasa. Namun siapa sangka, diam-diam Davina justru jatuh pada cinta yang terlarang … cinta pada lelaki yang seharusnya ia panggil 'abang'.

Cinta itu ditolak keluarganya, dianggap aib, dan bahkan disangkal Kevin sendiri. Hingga satu demi satu rahasia terbongkar, memperlihatkan sisi Kevin yang selama ini tersembunyi.

Berani jatuh cinta meski semua orang menentang? Atau menyerah demi keluarga yang bisa menghancurkan mereka?
Sebuah kisah terlarang, penuh luka, godaan, dan cinta yang tak bisa dipadamkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab Dua Puluh Tiga

Jam lima sore, kantor sudah mulai lengang. Davina menatap layar laptopnya, tapi sebenarnya ia tidak benar-benar melihat apa pun. Tangannya sibuk menggeser mouse, membuka dokumen satu demi satu, padahal pikirannya sudah melayang jauh ke rumah.

Ke arah Papa. Ke arah Mama. Ke arah malam yang menunggu. Ke arah Kevin.

Ia melirik ke arah meja kerja Kevin di seberang, ia bisa melihat rahang Kevin mengeras. Pria itu menutup laptop, berdiri, lalu melihat Davina. Tatapan mereka saling bertemu, singkat, tapi cukup untuk menyampaikan satu pesan sama, kita nggak bisa kabur dari ini.

Perjalanan pulang berlangsung tanpa banyak bicara. Kevin menyetir dengan satu tangan, sementara tangan satunya mengepal di pangkuan. Davina tahu ia tegang, tapi Kevin tidak menunjukkan apa-apa selain fokus pada jalanan.

Begitu mobil masuk ke halaman rumah, Davina menahan napas panjang.

“Tiba juga,” gumam Davina lirih.

Kevin mematikan mesin mobil, lalu menatapnya. “Kalau kamu nggak siap, abang bisa ....”

“Nggak.” Davina cepat memotong. “Kalau aku lari sekarang, Papa makin curiga.”

Kevin mengangguk, menatap wajahnya lebih lama seakan ingin memastikan Davina benar-benar baik-baik saja. Tapi Davina justru balik mengangguk walau gugupnya sudah sampai tenggorokan.

Begitu masuk rumah, suasana aneh langsung terasa. Televisi di ruang tamu menyala, tapi volumenya kecil. Mama sedang menatap gawainya di sofa, begitu juga Papa.Terlihat normal, bahkan terlalu normal.

“Selamat Sore, Pa, Ma,” ucap Kevin pelan.

“Selamat sore, Pa, Ma,” Davina ikut menyapa sambil memaksakan senyum.

Mama tersenyum hangat. “Mandi dulu sana, ganti baju. Nanti makan bareng.”

Papa hanya mengangguk tanpa menatap mereka lama-lama. Tidak ada percakapan tambahan. Tidak ada pertanyaan spontan. Tidak ada pembicaraan penting.

Seolah ancaman “nanti malam Papa mau bicara” tidak pernah terjadi.

Begitu sampai lantai atas, Davina dan Kevin langsung masuk ke kamar masing–masing. Pintu tertutup, tapi hati mereka terbuka penuh dengan kecemasan.

Davina belum sempat meletakkan tas ketika ponselnya berbunyi. Notifikasi chat dari Kevin. "Davi, kamu nggak apa–apa?"

Davina menahan senyum kecil. Entah kenapa, perhatian kecil begitu saja membuat dadanya menghangat. Ia duduk di tepi tempat tidur lalu mengetik balasan, "Aku sedikit deg-degan, Bang," jawab Davina.

Tak lama kemudian balasan masuk lagi dari Kevin. "Bangun dari tidur tadi malem apa kamu sedeg-degan ini."

Davina refleks menutup wajah dengan bantal. Bang Kevin ini kalau bercanda selalu bikin jantung nggak stabil.

"Fokus dulu, Bang. Nanti kalau Papa ngomongnya beda dari dugaan?" Balas Davina.

Jawabannya masuk beberapa detik kemudian dari Kevin. "Apa pun itu, abang tetap di sisi kamu.'

Davina menelan ludah. Matanya tiba-tiba memanas, tapi ia paksa agar tidak menangis. Belum saatnya sensi.

Jam makan malam tiba. Semua berkumpul di meja makan seperti biasa. Aroma sup ayam hangat memenuhi ruang. Mama duduk di ujung kiri, Papa di ujung kanan. Kevin di samping Papa. Davina di samping Mama.

Suasana? Canggung setengah mati. Sumpit berdenting. Sendok menyentuh piring. Tapi tak satu pun dari mereka mengeluarkan topik berat yang dijanjikan Papa.

Bahkan Mama hanya bertanya hal-hal ringan seperti, “Kantor gimana hari ini? Tadi sempat hujan ya? Davina, kamu udah merasa lebih sehat kan?”

Davina menjawab sambil tersenyum, tapi di dalamnya ia menunggu. Menunggu Papa membuka pembicaraan. Hingga akhirnya makan malam selesai.

Mama beranjak untuk membereskan meja, tapi Papa berdiri pelan lalu menggeleng.

“Biar nanti saja, Ma,” ucap Papa datar. “Kita ke ruang keluarga dulu.”

Kevin menegang. Davina menegakkan punggungnya. Mereka bertiga berjalan menuju ruang keluarga.

Papa duduk di sofa panjang, Mama di sampingnya. Kevin duduk di ujung sofa lainnya, Davina di samping Kevin, otomatis merapat tanpa sadar, seperti mencari perlindungan.

Papa menghela napas panjang. Dalam. Diam sejenak.

Lalu—

“Ada yang ingin Papa bicarakan,” ucap Papa akhirnya.

Davina menarik napas. Kevin langsung menatap Papa tanpa berkedip.

Papa melanjutkan, nada suaranya tegas, berat, dan tidak memberi ruang untuk penolakan.

“Papa ingin Kevin mempercepat pernikahannya dengan Tia.”

Tepat saat itu Davina merasa jantungnya serasa mau copot. Kevin mematung. Mama terlihat gugup tapi ikut mengangguk kecil, seperti setuju walau canggung.

“Papa sudah bicara dengan ayah Tia. Mereka menanyakan perkembangan rencana pernikahan. Dan Papa pikir, daripada menunda-nunda, lebih baik disegerakan,” lanjut Papa tanpa melihat Kevin.

Davina memegang ujung bajunya. Rasanya tenggorokannya disesaki ribuan jarum.

Kevin menarik napas, menahannya, lalu berkata pelan namun tegas, “Pa …”

Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan "Aku mungkin nggak akan menikah dengan Tia.”

Papa langsung mengangkat wajahnya. Tatapannya berubah drastis dari tenang menjadi tajam, menusuk.

“Apa maksudmu?” suara Papa meninggi sedikit.

Kevin tidak menghindar. Tidak menunduk. Ia duduk tegap dan mengulang dengan lebih jelas, lebih tegas.

“Kevin ingin membatalkan pertunangan itu.”

“Hah?” Mama tampak terkejut.

“Berpikir ulang wajar. Tapi bicara membatalkan? Tidak masuk akal.”

“Papa,” Kevin mencoba tetap tenang. “Aku nggak bisa menikah dengan Tia. Aku nggak mencintai dia.”

Papa membanting koran ke meja. BUK, suara keras itu membuat Davina tersentak.

“CINTA?!” bentak Papa. Suasana langsung membeku.

“Kamu pikir pernikahan itu cuma soal cinta?!” Papa kembali meninggikan suara. “Selama ini keluarga kita sudah bekerja keras membangun hubungan baik dengan keluarga Tia! Kamu mau merusak semuanya begitu saja?!”

Kevin mengencangkan rahang. “Papa, dengarkan dulu penjelasanku.”

“Tidak ada yang perlu didengar!” Papa memotong cepat.

Kevin masih berusaha bicara. “Pa, aku sebenarnya mau bilang sesuatu juga. Aku ....”

“TIDAK ADA!” bentak Papa, menunjuk Kevin dengan telunjuknya. “Papa tidak mau dengar alasanmu. Selama bukan Tia, Papa TIDAK akan merestui pernikahanmu!”

Davina membeku. Napasnya terasa tercekat.

Kevin menatap Papa, matanya mulai dipenuhi campuran emosi antara marah, sakit hati, dan keteguhan.

“Pa … tolong dengar dulu,” ucap Kevin lagi lebih perlahan. “Aku bukan cuma menolak Tia. Aku juga ....”

“Papa bilang tidak ada yang perlu dikatakan lagi!” Papa kembali memotong, jauh lebih keras. “Papa sudah memutuskan.”

“Pa .…” Kevin mencoba lagi.

“Cukup!”

Papa berdiri, menatap Kevin dengan sorot yang belum pernah ia tunjukkan. “Jangan sebutkan apa pun. Jangan tambah masalah.”

Lalu tatapan itu beralih ke Davina dengan tajam, lama, seakan menilai sesuatu yang tidak terucap. Gadis itu menunduk spontan.

Papa akhirnya berkata dengan nada sedikit pelan, “Kita akhiri pembicaraan ini. Papa mau istirahat.”

Tanpa menunggu siapa pun menjawab, Papa berjalan menuju kamar, membuka pintu, dan menutupnya dengan keras. Mama hanya menatap mereka dengan wajah sedih dan bingung, lalu mengikuti Papa tanpa berkata apa pun.

Kevin dan Davina dibiarkan sendirian di ruang keluarga yang tiba-tiba saja terasa jauh lebih kecil dan penuh tekanan.

Beberapa detik berlalu tanpa ada suara. Hanya napas mereka berdua yang terdengar tidak stabil.

Davina akhirnya membuka mulut dengan suara pelan, hampir seperti bisikan.

“Bang .…”

Kevin menatap lantai. Bahunya tegang. Tangannya mengepal begitu kuat sampai buku-bukunya memutih.

“Kenapa selalu begini …,” gumam Kevin lirih. “Selalu ditutup. Selalu ditahan.”

Davina ingin memeluknya. Ingin bilang ia ada. Ingin bilang ia juga takut. Tapi kata-kata mereka jelas dibatasi dinding kamar Papa yang baru saja tertutup keras.

Davina akhirnya mendekat sedikit. “Bang .…”

Kevin menoleh pelan. Matanya terlihat lelah, marah, sekaligus terluka. Tapi dalam tatapan itu juga ada hal lain, yang Davina tahu hanya ditujukan kepadanya.Tekad dalam cinta.

Davina menarik napas panjang, lalu berkata, dengan suara yang menenangkan tapi juga mengandung keperihan.

“Mungkin .…” Ia menelan ludah. “Mungkin … belum saatnya kita ngomong yang sebenarnya.”

Kevin menatapnya lebih dalam. “Davi .…”

Davina mencoba tersenyum walau sebenarnya sangat cemas, “Papa belum siap, Bang. Kalau tadi kamu bilang … kalau kamu bilang kamu … sama aku .…”

Ia tidak sanggup menyelesaikan kalimat itu. Pipinya panas. Kevin tidak berkedip. Ia menatap Davina seakan ingin berkata ribuan hal. Tapi Davina menggeleng, pelan, lirih, dan penuh kepasrahan.

“Belum sekarang.”

Kevin akhirnya menundukkan kepala. Tangan kanannya terangkat, menyentuh kepala Davina pelan, usapan singkat yang tidak berani terlalu lama.

“Maaf …,” ucap Kevin hampir tidak terdengar.

Davina tersenyum tipis, menatap lantai. “Nggak usah minta maaf. Kita berduakan yang milih jalan ini.”

Kevin mengepalkan tangannya lagi, menahan sesuatu yang ingin sekali ia ucapkan tapi tidak bisa. Mungkin bukan malam ini.

**

Selamat Pagi. Mulai hari ini, novel ini hanya update satu bab. Novel ini retensinya rendah, jadi mama tak dapat apa-apa. Mohon pengertiannya.

Baru sekali ini mama gagal retensi bab 20. 🙏🙏🙏

1
Ida Nur Hidayati
tanda tanda kamu hamil Davina...
tega niat ibunya Kevin, Davina suruh nanggung sendiri akibatnya
Sri Gunarti
di gangung 🤦‍♀️
Sri Gunarti: gantung
total 1 replies
Teh Euis Tea
hebat kevin wlupun jauh dia databg untuk tangung jawab, masalah hrs di tanggung ber2, jgn takut kevin davina apapun resikonya kalian jgn menyerah
shenina
pinisirinn... lanjut mam..
Ervina Ardianto
Apa ini novel alurnya mau dipercepat ya?
🌷Vnyjkb🌷
👍👍gitu dong, mslah d hadapi brsma, jgn ada drama davi pergi, atau ortu yg campur tangan berlebihan, malah bikin kusut mslah
semangatttt kev dg penuh tggjawab, abaikan sementara mamamu itu, yg egois🤭 aslinya ibu tiri sdh Nampak
Nar Sih
seperti nya bnr kmu hamil vina,dan mungkin ini awal dri penderitaan mu juga jauh dri kevin ,moga aja dia tau klau kmu hamil dan mau tanggung jwb
Mutia
Davina apa bodoh, gak tau resiko bakal hamil...
anju hernawati
tetaplah tegar davina dengan apa yang sudah terjadi padamu ......
olyv
woww menyalah mama tiri 🔥🫢👊
sunshine wings
Testpack dulu Davina dan kasi tau keputusannya pada bang Kevin kemudian pikirkan solusinya sama² ya sayang.. ❤️❤️❤️❤️❤️
sunshine wings
Pasti bang Kevin akan tanggungjawab..
sunshine wings
Apa Davina hamil ya? ❤️❤️❤️❤️❤️
sunshine wings
jangan sampe menyesal papa..
sunshine wings
Kok gitu sih pa.. Dengan mengorbankan perasaan dan kebahagiaan anak².. Fahamilah biar sedikit daripada papa kehilangan dua²nya sekaligus..
sunshine wings
Nikahkan aja pa..
sunshine wings
bikin iri aja bang 😍😍😍😍😍
sunshine wings
❤️❤️❤️❤️❤️
sunshine wings
Pagi bang.. Melting salting Davinanya.. 🥰🥰🥰🥰🥰
sunshine wings
Udah tau itu salah Davina ya betulkan jalannya.. Jangan hanya ikutkan hawa nafsu semata.. Sabar ya bang Kevin dan Davina pasti dimudahkan urusannya kalo ikut jalan yg betul.. 💪💪💪💪💪❤️❤️❤️❤️❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!