Setelah kematian ayahnya, Risa Adelia Putri (17) harus kembali ke rumah tua warisan mendiang ibunya yang kosong selama sepuluh tahun. Rumah itu menyimpan kenangan kelam: kematian misterius sang ibu yang tak pernah terungkap. Sejak tinggal di sana, Risa dihantui kejadian aneh dan bisikan gaib. Ia merasa arwah ibunya mencoba berkomunikasi, namun ingatannya tentang malam tragis itu sangat kabur. Dibantu Kevin Pratama, teman sekolahnya yang cerdas namun skeptis, Risa mulai menelusuri jejak masa lalu yang sengaja dikubur dalam-dalam. Setiap petunjuk yang mereka temukan justru menyeret Risa pada konflik batin yang hebat dan bahaya yang tak terduga. Siapa sebenarnya dalang di balik semua misteri ini? Apakah Bibi Lastri, wali Risa yang tampak baik hati, menyimpan rahasia gelap? Bersiaplah untuk plot twist mencengangkan yang akan menguak kebenaran pahit di balik dinding-dinding usang rumah terkutuk ini, dan saksikan bagaimana Risa harus berjuang menghadapi trauma, dan Pengkhianatan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15: Terjebak di Sarang Iblis
Udara di gudang tiba-tiba terasa begitu berat, menyesakkan paru-paru Risa hingga dadanya terasa terbakar. Dua bayangan di ambang pintu, satu manusia, satu entah apa, menyergap semua jalan keluar. Aroma apak dan debu yang tadi ia hirup kini bercampur dengan bau anyir yang samar, membuat perutnya bergejolak hebat. Kevin… dia terluka. Dia diikat di sini. Dan sekarang dia ‘sudah tidak ada’, begitu kata Bibi Lastri.
“Tidak!” Risa berteriak, suaranya serak dan pecah. Air mata mengalir deras, membasahi wajahnya yang pucat pasi. Liontin kunci di lehernya terasa dingin, seperti es. Ia mencengkeram erat gantungan kunci Kevin yang berlumuran darah di tangannya, rasa sakit dan marah bercampur aduk, membakar setiap sel di tubuhnya. Itu bukan hanya gantungan kunci. Itu bukti. Bukti kejahatan Bibi Lastri. Dan bukti kalau Kevin benar-benar dalam bahaya.
Bibi Lastri tertawa. Tawa yang kering, seperti ranting lapuk yang patah. Matanya yang biasanya ramah kini memancarkan kilatan gila, seringai di bibirnya membuat Risa mual. “Oh, Risa sayang… kamu ini keras kepala sekali, ya? Sama seperti ibumu. Selalu ingin tahu. Selalu ingin melawan. Padahal, kalau kalian nurut aja… semua nggak akan serumit ini, lho.”
Sosok di samping Bibi Lastri tidak bergerak. Hanya dua titik merah yang berpendar di kegelapan, seolah mengunci pandangan Risa. Sosok itu jauh lebih tinggi dari Bibi Lastri, siluetnya ramping namun memancarkan aura mengancam yang tak bisa dijelaskan oleh akal sehat. Apa dia? Hantu? Iblis? Atau sesuatu yang lain?
“Apa yang kalian lakukan pada Kevin?!” Risa melangkah mundur, kakinya menyentuh tumpukan kayu lapuk di belakangnya. Ia merasakan benjolan-benjolan tajam menekan telapak kakinya yang tidak beralas sepatu. Otaknya berputar cepat, mencari celah, mencari jalan keluar yang tidak ada.
“Kevin? Dia sudah tahu terlalu banyak, Risa. Sama sepertimu.” Bibi Lastri melangkah maju, perlahan, setiap langkahnya terasa seperti palu yang menghantam jantung Risa. “Dia harus ‘pergi’. Demi kebaikan kita semua, kan? Terutama demi kebaikanmu.”
“Demi kebaikan?!” Risa tak sanggup lagi menahan amarahnya. “Kalian monster! Kalian bunuh ibuku! Dan sekarang kalian menculik Kevin! Apa yang kalian mau, hah?!”
“Rumah ini. Tanah ini. Dan… kedamaian.” Suara Bibi Lastri terdengar aneh, seolah ada suara lain yang berbisik di baliknya. Matanya semakin liar. Bekas luka bakar samar di tangan kanannya terlihat jelas, karena kini ia tidak lagi berusaha menyembunyikannya. Bahkan di tengah kegelapan, bekas luka itu seperti memancarkan aura yang berbeda, aneh, dan… hidup.
Sosok hitam itu tiba-tiba bergerak. Bukan berjalan, tapi melayang. Gerakannya mulus, tanpa suara. Dengan kecepatan yang mengerikan, sosok itu melesat ke arah Risa. Risa nyaris tidak punya waktu untuk bereaksi. Ia hanya bisa menjerit, refleks tubuhnya mendorongnya untuk merunduk dan berguling ke samping, melewati tumpukan karung goni yang tadi ia singkirkan. Debu tebal beterbangan, membutakan matanya sejenak.
Napas Risa tercekat. Sosok itu terlalu cepat. Ia merasakan hembusan angin dingin dan aura mencekam yang melewatinya. Jika ia tidak menghindar, entah apa yang akan terjadi. Ia buru-buru bangkit, jantungnya berdebar kencang sampai rasanya mau copot. Matanya menyapu sekeliling gudang. Semuanya gelap, hanya ada sedikit cahaya bulan yang masuk dari celah-celah papan dinding. Gudang ini adalah jebakan maut.
“Kamu tidak akan bisa lari, Risa.” Suara Bibi Lastri terdengar di belakangnya, dekat sekali. Terlalu dekat. Risa menoleh. Bibi Lastri sudah ada di sana, di dekatnya, hanya beberapa langkah. Bagaimana bisa? Secepat ini?
Di tangan Bibi Lastri, terhunus pisau dapur yang mengkilap, memantulkan sedikit cahaya bulan. Ujungnya tajam, runcing, siap merobek apa saja. Pisau itu… pisau yang sering ia lihat di dapur. Pisau yang biasa dipakai Bibi Lastri untuk memotong sayuran. Sekarang, pisau itu seperti perpanjangan dari kegilaan di mata Bibi Lastri.
Risa mundur lagi, menabrak rak tua berkarat yang dipenuhi kaleng-kaleng cat kosong. Suara berisik itu menarik perhatian Sosok hitam yang tadi melesat. Sosok itu berputar, kembali menghadap Risa, dua titik merahnya kembali mengunci Risa. Terkepung. Benar-benar terkepung.
“Mama…” Bisikan itu muncul lagi di telinga Risa, samar, tapi jelas. Kali ini bukan bisikan menakutkan, melainkan sebuah peringatan. Risa menoleh ke arah sumber suara, seolah-olah ibunya benar-benar berdiri di sampingnya. Namun, tidak ada apa-apa. Hanya kegelapan dan debu.
“Apa lagi yang kamu harapkan, Risa? Ibumu sudah mati. Mati di tangan orang yang sangat mencintainya.” Bibi Lastri menyeringai, melangkah maju lagi, pisau di tangannya bergerak-gerak. “Dan dia tidak akan kembali. Kamu sendirian.”
Kata-kata itu menghantam Risa lebih keras dari pukulan fisik. Di tangan orang yang sangat mencintainya? Bibi Lastri? Apakah dia benar-benar sudah gila? Atau ada makna lain di balik ucapannya? Pikiran Risa kalut, antara ketakutan dan kebingungan. Trauma masa kecilnya kembali menghantam, bayangan ibunya yang jatuh, darah… semuanya seolah baru terjadi kemarin.
“Sana, tangkap dia!” Bibi Lastri memberi isyarat kepada Sosok hitam itu. Sosok itu langsung melesat lagi. Kali ini, Risa tidak hanya menghindar. Di tengah kepanikan, matanya menangkap sesuatu yang berkilau di atas rak. Sebuah linggis tua yang berkarat, terselip di antara tumpukan barang-barang tak terpakai.
Dengan tekad yang membara, Risa melompat. Tangannya meraih linggis itu, jemarinya mencengkeram erat baja dingin yang kasar. Berat. Tapi ini satu-satunya kesempatan. Ia berbalik, mengayunkan linggis itu dengan sekuat tenaga ke arah Sosok yang melesat. Bukan untuk menyerang, tapi untuk menciptakan jarak.
*BRAK!*
Linggis itu menghantam sesuatu yang keras, bukan tubuh, melainkan dinding di belakang Sosok itu, menciptakan suara menggelegar di dalam gudang. Sosok itu terhuyung mundur sedikit, seolah terkejut dengan perlawanan Risa. Dua titik merahnya berkedip-kedip, seolah marah.
“Melawan, ya? Gadis nakal.” Bibi Lastri mendecakkan lidah, bibirnya yang berlumuran lipstick merah menyunggingkan senyum sinis. “Bagus. Itu artinya kamu akan lebih ‘berharga’ saat kamu ‘tenang’ nanti.”
Risa tidak mengerti maksud ‘berharga’ dan ‘tenang’ itu, tapi ia tahu itu bukan hal baik. Ia mengangkat linggisnya, siap membela diri. Tapi ia tahu, ia tidak akan bisa menang melawan dua makhluk ini. Satu manusia dengan pisau dan satu lagi… entah apa, dengan kecepatan dan kekuatan di luar nalar. Ia harus lari. Sekarang.
Pandangannya menyapu sekeliling, mencari apa saja yang bisa digunakan. Matanya tertuju pada sebuah jendela kecil yang tinggi, tersembunyi di balik tumpukan papan. Jendela itu berdebu dan mungkin terkunci, tapi itu satu-satunya harapan. Masalahnya, bagaimana cara mencapainya?
“Mama… tolong aku…” Bisikan Risa terasa begitu putus asa. Ia ingin menyerah, ingin membiarkan kegelapan menelannya. Tapi bayangan Kevin, wajahnya yang tulus, tawanya yang menenangkan, terlintas di benaknya. Ia tidak bisa menyerah. Ia harus menyelamatkan Kevin. Ia harus tahu apa yang terjadi pada ibunya. Ia tidak boleh mati di sini, seperti ibunya.
Tiba-tiba, sebuah suara gedebuk keras terdengar dari lantai atas, tepat di atas gudang. Seperti ada sesuatu yang berat jatuh. Bibi Lastri dan Sosok itu terdiam sejenak, perhatian mereka sedikit teralihkan. Kesempatan!
Risa tidak menyia-nyiakan momen itu. Ia berlari, bukan ke arah pintu, tapi ke arah rak-rak tinggi yang berjejer di sudut. Dengan kelincahan yang mengejutkan dirinya sendiri, ia memanjat rak-rak itu, menggunakan tumpukan kotak dan barang bekas sebagai pijakan. Kakinya menginjak kaleng-kaleng berkarat yang berderit, tangannya mencengkeram rak yang goyang.
“Mau ke mana kamu? Turun!” Bibi Lastri berteriak, kembali sadar dan berlari ke arah Risa. Sosok hitam itu juga melesat, mencoba meraih kaki Risa. Tapi Risa sudah terlalu tinggi.
Ia berhasil mencapai dekat jendela. Jendela kecil itu tertutup rapat, kotor oleh debu dan sarang laba-laba. Kaca di baliknya sudah buram, tapi Risa bisa merasakan hembusan angin malam yang sejuk. Harapan itu muncul kembali, memompa adrenalin di nadinya.
Dengan sekuat tenaga, ia menghantamkan ujung linggis ke jendela. Kaca tua itu pecah dengan suara nyaring, serpihannya berhamburan ke luar dan ke dalam. Sebuah lubang menganga, cukup besar untuk dilewati. Ia menarik napas dalam, siap melompat.
“Jangan harap bisa keluar dari sini hidup-hidup, Risa!” Bibi Lastri sudah ada di bawah, pisau di tangannya mengacung ke atas. Sosok hitam itu berdiri di sampingnya, memancarkan aura mengancam yang semakin pekat. Mereka tidak akan membiarkannya pergi.
Risa melirik ke belakang. Ruangan gudang yang gelap, penuh barang rongsokan, kini terasa seperti kuburan. Di depan, langit malam yang gelap, bintang-bintang samar terlihat. Ia harus mengambil risiko. Entah apa yang menunggunya di luar, tapi setidaknya itu bukan Bibi Lastri dan Sosok menakutkan itu.
Dengan satu tarikan napas terakhir, Risa mendorong tubuhnya keluar dari jendela yang pecah, membiarkan dirinya jatuh ke kegelapan di bawah. Ia tidak tahu seberapa tinggi. Ia tidak tahu apa yang ada di sana. Yang ia tahu, ia harus selamat. Demi Kevin. Demi ibunya. Demi dirinya sendiri.
Tubuhnya menghantam tanah dengan keras, rasa sakit menjalar ke seluruh tulangnya. Ia mendarat di semak-semak lebat yang berduri, ranting-rantingnya menggores kulitnya. Namun, ia tidak peduli. Ia memaksa dirinya bangkit, kakinya terasa lumpuh. Ia harus lari. Ia harus mencari bantuan. Ia harus keluar dari rumah terkutuk ini.
Namun, saat ia mencoba melangkah, sebuah tangan dingin mencengkeram pergelangan kakinya. Kuat. Sangat kuat. Risa terjatuh lagi, nafasnya tercekat. Ia menoleh ke bawah, jantungnya berdebar kencang, dan yang ia lihat adalah… bekas luka bakar samar di tangan itu. Tangan Bibi Lastri.
“Tidak semudah itu, sayangku.” Suara Bibi Lastri berbisik dari balik semak-semak, begitu dekat hingga Risa bisa merasakan napasnya yang dingin. “Kamu tidak akan pernah bisa lari dari rumah ini. Sama seperti ibumu. Dan sekarang, kamu akan melihat rahasia terakhirnya… secara langsung.”
Sebuah kain kasar membekap mulut Risa, menghentikan jeritannya. Aroma tajam menyeruak, membuat pandangannya kabur. Risa berjuang, menendang, mencoba melepaskan diri. Tapi kekuatan Bibi Lastri, atau mungkin Sosok itu yang kini juga mendekat, terlalu besar. Kelopak matanya terasa berat, kepalanya pusing. Sosok hitam itu menjulang di atasnya, dua titik merahnya seolah menariknya ke dalam kegelapan.
Kesadarannya memudar, tapi sebelum semuanya gelap, Risa melihat sebuah cahaya redup dari balik semak-semak. Sebuah obor tua yang dipegang oleh seseorang. Dan di samping obor itu, sesosok bayangan yang familiar. Bukan Sosok hitam. Bukan Bibi Lastri. Sosok seorang wanita yang pucat, transparan, menatapnya dengan mata kosong penuh kesedihan.
Ibunya. Arwah ibunya. Ia ada di sana. Dan di belakang arwah ibunya, di kejauhan, Risa melihat sebuah sumur tua. Sumur yang kering. Sumur yang selama ini selalu ia hindari. Sumur yang menyimpan semua rahasia. Samar-samar, Risa mendengar bisikan terakhir ibunya, seolah memanggilnya, “Jangan… Jangan ke sana…”
Tapi sudah terlambat. Kesadaran Risa menghilang, tubuhnya lemas, terseret ke dalam kegelapan yang pekat.