Raska dikenal sebagai pangeran sekolah, tampan, kaya, dan sempurna di mata dunia. Tak ada yang tahu, pendekatannya pada Elvara, gadis seratus kilo yang kerap diremehkan, berawal dari sebuah taruhan keji demi harta keluarga.
Namun kedekatan itu berubah menjadi ketertarikan yang berbahaya, mengguncang batas antara permainan dan perasaan.
Satu malam yang tak seharusnya terjadi mengikat mereka dalam pernikahan rahasia. Saat Raska mulai merasakan kenyamanan yang tak seharusnya ia miliki, kebenaran justru menghantam Elvara tanpa ampun. Ia pergi, membawa luka, harga diri, dan hati yang hancur.
Tahun berlalu. Elvara kembali sebagai wanita berbeda, langsing, cantik, memesona, dengan identitas baru yang sengaja disembunyikan. Raska tak mengenalinya, tapi tubuhnya mengingat, jantungnya bereaksi, dan hasrat lama kembali membara.
Mampukah Raska merebut kembali wanita yang pernah ia lukai?
Atau Elvara akan terus berlari dari cinta yang datang terlambat… namun tak pernah benar-benar pergi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15. Pengikat Takdir
Jovi mengernyit, kebingungan.
Dokter mengangguk sekali. “Couvade Syndrome.”
Ia menjelaskan singkat, lugas, seperti laporan.
“Suami, atau pasangan, ikut merasakan gejala fisik saat pasangannya hamil atau melahirkan. Nyeri, mual, bahkan kolaps. Saya pernah menemui kasus serupa saat penugasan di daerah terpencil.”
Kata melahirkan menghantam Raska tanpa ampun.
Jantungnya berdentum keras.
Nyeri di perutnya melonjak, seperti ikut menuntut jawaban.
Tangannya, meski bergetar menahan sakit, refleks masuk ke saku celana. Jemarinya mencengkeram sesuatu yang dingin dan bulat.
Cincin.
Ingatan sembilan bulan lalu menyambar seperti kilat.
Kesalahan itu. Malam itu. Tatapan Elvara.
Pernikahan yang lahir dari luka, dan diam-diam ia sembunyikan dari dunia.
Napasnya tercekat. Wajahnya benar-benar kehilangan warna. Entak karena sakit atau memikirkan satu hal--
"Mungkinkah…"
Di ruang bersalin—
Tangisan bayi pecah.
Nyaring. Hidup. Nyata. Suara yang lahir bersamaan dengan jawaban yang tak pernah Raska dengar.
Tangis itu memenuhi ruangan putih dengan aksen asing di sekelilingnya. Monitor berbunyi lembut, instruksi medis dalam bahasa yang bukan bahasa Elvara dan ibunya.
“Baby’s healthy. Everything looks perfect,” suara dokter terdengar lega, bercampur aksen Eropa yang kental.
Elvara terkulai di ranjang. Napasnya tersengal, tubuhnya gemetar, air mata mengalir deras tanpa ia sadari.
Di antara lelah dan nyeri yang perlahan surut, satu nama melintas di benaknya.
Raska.
Entah kenapa. Seolah sesuatu yang menyesakkan dadanya sejak lama, baru saja dilepaskan.
Dua tempat.
Dua tubuh.
Satu ikatan yang bahkan jarak, waktu, dan kebohongan tak mampu memutusnya.
Di klinik barak—
Nyeri di perut Raska tiba-tiba—
Mereda.
Bukan hilang seketika. Tapi surut. Seperti gelombang yang akhirnya pecah di pantai, meninggalkan keheningan yang aneh.
Raska terengah pelan. Napasnya kembali teratur.
Jovi membelalak. “Dok?”
Dokter memeriksa cepat. Tekanan darah, denyut nadi, lalu menatap Raska lebih lama dari sebelumnya.
“Kalau kamu seorang suami,” katanya pelan, suaranya tetap kaku khas militer,
“dan pasanganmu sedang hamil… saya bisa menduga sesuatu baru saja terjadi.”
Ia berhenti sejenak.
“Pada seseorang yang sangat terikat denganmu.”
Raska menutup mata. Jantungnya berdegup keras, hampir menembus dada.
Tangannya masih menggenggam cincin itu erat-erat, dingin, namun nyata.
"Benarkah…"
Dan di klinik barak itu, Raska membuka mata. Dengan satu pertanyaan yang kini berdenyut lebih sakit dari nyeri apa pun:
"Elvara… apa yang baru saja kau lalui?"
Satu jam kemudian, Raska sudah duduk bersandar di ranjangnya.
Lampu malam menggantung redup. Udara dingin, sunyi, dan terlalu luas untuk dipikul sendirian.
Ibu jarinya terus mengusap cincin di genggaman. Gerakan kecil yang berulang, seolah ia sedang memastikan sesuatu masih ada… dan nyata.
Ucapan dokter kembali terngiang.
Couvade syndrome. Sindrom empati pada calon ayah.
Raska menutup mata.
“Benarkah…” batinnya tercekat, “kami punya anak?”
Jika itu benar, ada kebahagiaan yang nyaris membuatnya runtuh. Namun bersamaan dengan itu, rasa bersalah menghantam lebih keras.
Elvara.
Wanita yang seharusnya ada di sisinya saat malam-malam panjang. Yang seharusnya ia genggam tangannya saat sakit itu datang.
Bukan menanggung semuanya sendirian. Hamil, melahirkan, dan kini…
“Membesarkan anak kita sendiri,” bisiknya pahit.
“Vara…” gumamnya, tanpa sadar.
Dari ranjang seberang, Jovi menatapnya lebih lama dari biasanya. Ada sesuatu yang tidak bisa ia abaikan.
Raska yang ia kenal bukan tipe lelaki yang tersenyum sambil menatap ponsel.
Tak pernah chat sambil senyum-senyum. Tak pernah sibuk menunggu pesan Tak pernah nelpon atau video call sampai lupa waktu. Seolah… tak punya siapa pun.
Namun ucapan dokter di klinik tadi, tentang rasa sakit perut yang hanya dialami lelaki yang terikat secara emosional, membuat Jovi tak bisa menahan pikirannya sendiri.
Tatapan Jovi turun. Ke cincin di tangan Raska. Ia menghela napas kasar, setengah menertawakan dirinya sendiri.
“Gila…” gumamnya. “Jangan-jangan… dia beneran ayah seseorang?”
Pertanyaan itu terlalu berbahaya untuk diucapkan. Dan terlalu nyata untuk diabaikan.
Di bawah langit yang berbeda...
Elvara duduk bersandar di ranjang pasien.
Di lengannya, bayi mungil yang baru satu jam lalu lahir ke dunia. Tubuh kecil itu bergerak pelan, seolah sedang belajar bernapas di dunia yang sama sekali baru. Kulitnya masih kemerahan, napasnya teratur, hangat, seolah mengingatkannya bahwa rasa sakit panjang itu tidak sia-sia.
Air mata menetes tanpa bisa dicegah. Namun bibir Elvara tersenyum.
Ia mengecup dahi putranya perlahan, lama, penuh kasih, sentuhan yang mengandung janji, bukan sekadar cinta.
Elda duduk di tepi ranjang. Tangannya mengusap bahu Elvara, lama, seolah memberi waktu. Tatapannya bergeser dari wajah Elvara ke bayi itu, lalu kembali lagi. Ada sesuatu yang bergetar di dadanya, perasaan yang tak bisa dijelaskan dengan logika.
“Ra…” suaranya rendah, hati-hati, tapi dalam. “Kalau suatu hari nanti ayahnya berdiri di depanmu…”
Elvara menegang tipis.
“…kamu ingin dia mengenal anak ini sebagai apa?”
Elvara terdiam lama. Dadanya naik turun.
“Sebagai alasan kenapa aku bertahan,” jawabnya pelan. “Bukan sebagai luka.”
Elda mengangguk, matanya berkaca. “Kalau begitu,” katanya lembut tapi tajam, “beri dia nama yang tak bisa disangkal siapa pun.”
Elvara menunduk. Menatap wajah kecil di pelukannya.
“Rava.”
Elda tersenyum samar. Namun kali ini, ada sesuatu di balik senyum itu, sebuah keyakinan.
“Rava…” ulangnya. “Raska dan Elvara.”
Elvara mengangkat wajahnya sedikit. Tatapannya bergetar, tapi ia tak menyangkal.
Elda tersenyum kecil. Lalu, dengan nada yang lebih pelan, lebih jujur. “Nama yang akan selalu mengingatkan dua orang keras kepala… bahwa mereka pernah saling memilih.”
Elvara memeluk bayinya lebih erat.
Elda melanjutkan, pelan tapi menghujam. “Anak ini bukan hanya hasil cinta, Ra. Dia akan jadi pengikat takdir.”
Ia menatap cucunya.
“Entah ayahnya siap atau tidak… dunia akan membawa mereka kembali padanya.”
Elda menatap bayi itu lagi. Lama. Terlalu lama untuk sekadar nenek yang bahagia.
“Kamu tahu, Ra…” katanya lirih, menusuk tapi lembut, “kadang Tuhan memisahkan dua orang bukan untuk memutuskan. Tapi untuk menguji… seberapa kuat mereka ingin kembali.”
Elvara menelan napas.
“Anak ini,” lanjut Elda, suaranya bergetar tipis, “lahir bukan cuma dari rahimmu. Tapi dari janji yang belum selesai.”
Elvara memejamkan mata. Air mata jatuh lagi.
“Kau bisa lari sejauh apa pun,” kata Elda perlahan, “dan dia bisa tersesat sejauh apa pun… tapi takdir punya cara sendiri untuk mempertemukan yang memang seharusnya bertemu.”
Ia mengulurkan jari, menyentuh tangan mungil Rava.
“Bayi ini,” bisiknya, “akan menjadi pengikat. Entah sebagai alasan untuk kembali… atau luka yang menuntut kejujuran.”
Elvara membuka mata. Ia menatap wajah putranya. Di sana, ia tak hanya melihat masa depan, tapi juga masa lalu yang belum selesai.
“Kalau suatu hari dia menemukan ayahnya…” suara Elvara hampir pecah, “aku harap bukan sebagai orang asing.”
Elda tersenyum. Bukan senyum lega, melainkan senyum orang yang tahu sesuatu akan terjadi, cepat atau lambat.
“Takdir tidak pernah datang sebagai kebetulan, Ra,” ucapnya pelan. “Dan Rava… bukan anak yang lahir tanpa tujuan.”
Elvara memejamkan mata. Air mata jatuh di rambut bayinya. Namun untuk pertama kalinya sejak lama,
ia tidak merasa sendirian.
...🔸🔸🔸...
...“Ia lahir bukan untuk memisahkan, melainkan untuk memanggil pulang dua hati yang tersesat.”...
...“Kelahirannya membuat dunia yang terpisah dipaksa saling mengingat.”...
..."Nana 17 Oktober"...
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
.
Semangat Kak Nana, Up Babnya 🙏🙏🙏😁