Elang Alghifari, CEO termuda yang sukses, dijebak oleh sahabat dan calon istrinya sendiri. Dalam semalam, ia kehilangan segalanya—perusahaan, reputasi, kebebasan. Tiga tahun di penjara mengubahnya dari pemimpin visioner menjadi pria yang hidup untuk satu tujuan: pembalasan.
Namun di balik jeruji besi, ia bertemu Farrel—mentor yang mengajarkan bahwa dendam adalah seni, bukan emosi. Setelah bebas, Elang kabur ke Pangalengan dan bertemu Anya Gabrielle, gadis sederhana yang mengajarkan arti cinta tulus dan iman yang telah lama ia lupakan.
Dengan identitas baru, Elang kembali ke Jakarta untuk merebut kembali segalanya. Tapi semakin dalam ia tenggelam dalam dendam, semakin jauh ia dari kemanusiaannya. Di antara rencana pembalasan yang sempurna dan cinta yang menyelamatkan, Elang harus memilih: menjadi monster yang mengalahkan musuh, atau manusia yang memenangkan hidupnya kembali.
Jatuh untuk Bangkit adalah kisah epik tentang pengkhianatan, dendam, cinta,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 33
Ini perusahaan yang dia kenal di luar kepala. Setiap departemen, setiap angka, setiap strategi—semua ini *miliknya*. Dia yang konsep revenue stream dari tiga sumber berbeda biar gak terlalu dependent ke satu industri. Dia yang rancang struktur tim dengan balance antara senior dan junior biar ada mentorship tapi juga fresh idea. Dia yang pilih software accounting ini karena user-friendly tapi robust.
Semuanya—*semuanya*—adalah hasil dari otak, keringat, dan mimpi Elang Alghifari.
Dan sekarang ada nama "Brian Mahendra - CEO & Founder" di bagian atas organizational chart.
Founder.
*Founder.*
Brian Mahendra yang diklaim sebagai founder perusahaan yang Elang dirikan sendirian dengan modal pinjaman dari bank dan keyakinan yang bodoh-bodohnya bahwa kerja keras dan integritas bakal cukup buat sukses di dunia ini.
Tangan Elang mencengkeram mouse dengan grip yang bikin buku-buku jari memutih. Layar di depannya mulai kabur—gak karena masalah teknis, tapi karena air mata yang akhirnya, *akhirnya*, gak bisa ditahan lagi.
Menetes. Satu. Dua. Tiga.
Jatuh ke keyboard dengan bunyi lembut yang gak kedengeran di tengah suara office—printer, keyboard orang lain, obrolan staff di pantry deket sini.
"Fuck," dia bisik—suara yang keluar gemetar, patah, kayak suara orang yang lagi sekarat. "Fuck, fuck, *fuck*."
Kepala turun, jidat nempel ke meja dengan thud yang pelan. Bahu gemetar—awalnya kecil, terus makin keras, makin obvious. Dia nangis. Di cubicle sempit di perusahaan yang dulu miliknya, di hari pertama kerja sebagai orang yang gak pernah exist di mata semua orang, dia nangis dengan cara yang desperate dan gak bisa dicontrol.
Bukan cuma air mata. Tapi isakan yang dia coba redam dengan tangan di mulut, dengan gigi yang gigit bibir bawah sampe berasa darah. Tangisan yang keluar dari tempat paling dalam—dari tiga tahun dipenjarakan buat kejahatan yang gak dia lakukan, dari kehilangan segalanya dalam satu malam, dari harus hidup sebagai ghost di kehidupan yang dulu jadi miliknya.
*Ini gak adil. Ini gak adil. Ya Allah, kenapa ini terjadi sama aku? Aku cuma pengen bangun sesuatu yang jujur. Aku cuma pengen sukses dengan cara yang benar. Kenapa aku yang harus bayar buat kejahatan orang lain?*
"Pak Galang?"
Suara asing—wanita, muda, khawatir—bikin Elang tersentak. Dia angkat kepala cepat, lap air mata dengan punggung tangan dengan gesture yang frantic. Gadis muda berdiri di entrance cubicle-nya dengan dua cup kopi di tangan, mata lebar karena shock dan concern.
"Maaf, saya gak bermaksud ganggu, cuma..." Dia lihat mata merah Elang, wajah yang basah, dan ekspresinya berubah jadi sangat khawatir. "Bapak... Bapak okay?"
"Iya," Elang jawab cepat—terlalu cepat, suara masih serak dan gemetar. Clear throat, coba lagi. "Iya, aku okay. Cuma... alergi. Udara AC terlalu dingin."
Alasan paling lame di dunia tapi dia gak bisa mikir yang lebih baik sekarang.
Gadis itu gak keliatan percaya tapi dia gak push. "Oh... oke. Um, saya Dinda, dari divisi Marketing. Bapak konsultan baru kan? Pak Brian bilang Bapak mulai hari ini jadi saya... saya bawain kopi. Welcome gesture gitu."
Dia taro satu cup di meja Elang dengan gerakan hati-hati, kayak takut Elang bakal breakdown lagi.
"Terima kasih," Elang bisik, lihat cup kopi yang ngepul—americano, dari aroma. "Aku appreciate it."
Dinda tersenyum kecil—senyum yang awkward tapi genuine. "Sama-sama. Kalau Bapak butuh bantuan atau... atau cuma pengen ngobrol, cubicle saya di sebelah pantry. Anytime."
Dia pergi dengan langkah cepat, kayak gak tau harus bilang apa lagi.
Elang ditinggal sendirian lagi dengan kopi, komputer, sama data perusahaan yang nge-mock dia di layar. Tarik napas yang gemetar, teguk kopi—panas, pahit, exactly yang dia butuhin sekarang buat ground diri sendiri ke realitas.
*Get your shit together, Elang. Lo gak bisa breakdown setiap hari. Lo ada misi. Lo ada tujuan. Dendam bukan dijalankan dengan air mata tapi dengan strategi.*
Dia lap wajah dengan tissue dari laci, splash air dari botol mineral ke wajah biar seger, terus—dengan determinasi yang dipaksakan—mulai buka file demi file.
Financial report. Revenue stream. Expenditure. Debt. Asset.
Setiap angka adalah memory. Setiap keputusan yang tercatat adalah keputusan yang *dia* buat.
Dan sekarang dia harus analisis semua itu kayak orang luar, kasih rekomendasi ke Brian tentang gimana improve perusahaan yang *dia* bangun.
Ironi yang bikin hati sakit dengan cara yang fisik. Kayak ada pisau di dada yang perlahan-lahan diputar.
---
Sore hari, jam lima. Elang masih di cubicle—semua orang udah pada pulang tapi dia gak bisa. Gak mau. Karena pulang berarti acknowledge bahwa hari ini terjadi, bahwa ini nyata, bahwa dia bener-bener kerja di perusahaan sendiri sebagai nobody.
Hape bergetar—video call dari Anya. Dia lirik layar, ragu sebentar. Dia gak tau apakah dia kuat buat ngomong sama Anya sekarang, gak tau apakah dia bisa acting okay.
Tapi dia angkat juga. Karena Anya adalah satu-satunya hal yang masih jadi anchor ke kemanusiaan yang dia punya.
Wajah Anya muncul di layar—kerudok hijau muda, senyum lebar, mata yang berbinar genuine happiness ngeliat dia.
"Mas! Akhirnya angkat. Anya dari tadi coba video call terus, takut mas kenapa-kenapa."
Elang paksa senyum—senyum yang terasa kayak retak di wajah. "Aku okay, Nya. Cuma sibuk kerja."
Tapi Anya gak bodoh. Senyumnya pudar, mata menyipit dengan concern. "Mas... mas habis nangis?"
"Gak," Elang jawab refleks.
"Mas," Anya ulang dengan nada yang lebih firm, "mata mas merah. Suara mas serak. Jangan bohong ke aku."
Pertahanan Elang runtuh instant. Gak bisa bohong ke Anya. Gak mau. Dia tarik napas yang gemetar, terus—dengan suara yang hampir gak keluar—admit.
"Iya. Aku... aku nangis tadi."
Wajah Anya berubah jadi sangat sedih. Mata mulai berkaca. "Kenapa mas? Ada yang sakitin mas?"
"Bukan disakitin," Elang jawab pelan, mata menatap layar tapi somehow menembus itu, melihat ke memory hari ini. "Cuma... Nya, hari ini aku kerja di perusahaan yang dulu aku bangun. Aku duduk di ruangan yang jadi milik orang yang ngehancurin aku. Aku liat nama aku dihapus dari sejarah perusahaan aku sendiri. Dan aku harus... aku harus pura-pura gak kenapa-kenapa. Harus senyum ke Brian. Harus bilang terima kasih karena dia 'kasih kesempatan' aku kerja di perusahaan yang *aku* yang dirikan."
Suaranya patah di akhir. Air mata mulai turun lagi—kali ini dia gak peduli, gak coba sembunyi.
"Rasanya kayak... kayak liat anakmu diambil orang terus orang itu claim itu anaknya, dan kamu cuma bisa berdiri di pinggir jalan ngeliat tanpa bisa ngapa-ngapain. Rasanya kayak mati tapi masih hidup, Nya. Rasanya—"
Dia gak bisa lanjut karena tangisan pecah keluar—gak bisa ditahan, gak bisa dikontrol. Isakan yang keras, yang bikin bahu gemetar violent, yang keluar dari tempat paling dalam di hatinya yang udah ditekan tiga tahun.
Di layar, Anya nangis juga. Air mata mengalir deras, tangan di mulut dengan shock dan empathy yang overwhelming. "Mas... mas, Anya gak tau harus bilang apa. Anya gak bisa bayangin seberat apa yang mas rasain sekarang. Tapi mas... mas, please jangan sampe patah. Jangan sampe dendam bikin mas kehilangan diri mas yang sebenarnya."
"Aku udah gak tau siapa aku yang sebenarnya," Elang bisik dengan suara yang serak abis nangis. "Elang udah mati. Galang adalah kebohongan. Yang tersisa cuma... cuma orang yang penuh benci dan mau balas dendam. That's all I am now, Nya. Cuma itu."
"Bukan," Anya potong dengan tegas meskipun air mata masih mengalir. "Mas bukan cuma itu. Mas adalah orang yang sholat subuh berjamaah sama aku di masjid kecil Pangalengan. Mas adalah orang yang bantu emak angkat galon meskipun mas lagi capek. Mas adalah orang yang senyum tulus waktu Anya kasih teh hangat. Itu mas yang sebenarnya. Bukan yang sekarang terperangkap di kebencian."
"Tapi kebencian ini yang bikin aku hidup, Nya," Elang jawab dengan desperation di suara. "Tanpa ini... tanpa dendam ini... aku gak punya tujuan. Aku gak punya alasan buat bangun pagi. Aku gak punya—"
"Mas punya aku," Anya potong dengan suara yang gemetar tapi firm. "Mas punya emak. Mas punya Stella. Mas punya orang-orang yang sayang sama mas bukan karena mas CEO atau konsultan atau apapun, tapi karena mas adalah *mas*. Itu alasan buat hidup, mas. Bukan dendam."
Elang menatap wajah Anya di layar yang kecil—wajah yang basah karena air mata, mata yang merah, tapi tatapan yang penuh dengan cinta yang unconditional. Cinta yang dia gak ngerti kenapa dia dapet, kenapa gadis ini peduli sama broken man kayak dia.
"Anya," suaranya keluar kayak bisikan yang terluka, "aku takut. Aku takut kalau aku teruskan ini, aku bakal kehilangan diri aku totally. Aku bakal jadi monster. Aku bakal—"
"Maka aku di sini," Anya jawab dengan determinasi yang bikin Elang terdiam. "Aku di sini buat ngingetin mas siapa mas sebenarnya. Buat tarik mas balik kalau mas terlalu jauh ke kegelapan. Aku janji, mas. Aku gak akan biarkan mas hilang totally."
Mereka diam lama kayak gitu—dua orang di dua tempat berbeda, connected lewat screen kecil dan connection yang somehow lebih kuat dari distance.
"Terima kasih, Nya," akhirnya Elang bisik. "Terima kasih udah... udah jadi cahaya di tengah semua kegelapan ini."
"Sama-sama, mas," Anya jawab dengan senyum kecil meskipun air mata masih basah di pipi. "Sekarang mas istirahat ya. Besok hari baru. Mungkin lebih baik. Atau mungkin gak. Tapi apapun itu, Anya di sini. Selalu."
Sambungan terputus. Elang ditinggal dengan layar gelap dan silence yang berat.
Dia lihat keluar jendela cubicle—gak banyak view, cuma tembok gedung sebelah. Tapi di atas, langit mulai gelap, bintang mulai muncul satu-satu.
Tarik napas dalam. Keluarin pelan.
*Oke. Oke, Elang. Satu hari udah lewat. Lo survive. Besok bakal lebih mudah. Atau gak. Tapi lo gak sendiri. Lo punya Anya. Lo punya tujuan.*
Dia tutup komputer, ambil tas, jalan keluar dari cubicle dengan langkah yang berat tapi still moving forward.
Karena itu satu-satunya pilihan. Maju. Meskipun setiap langkah terasa kayak jalan di atas pecahan kaca.
Perang belum selesai. Hari pertama cuma... hari pertama.
Dan entah berapa hari lagi kayak gini yang harus dia tanggung sebelum bisa akhirnya—*akhirnya*—dapetin keadilan yang dia cari.
Atau dendam yang dia kejar.
Atau apapun yang bakal tersisa dari dirinya di ujung jalan gelap ini.
---
**[Bersambung