Dituduh pembunuh suaminya. Diusir dari rumah dalam keadaan hamil besar. Mengalami ketuban pecah di tengah jalan saat hujan deras. Seakan nasib buruk tidak ingin lepas dari kehidupan Shanum. Bayi yang di nanti selama ini meninggal dan mayatnya harus ditebus dari rumah sakit.
Sementara itu, Sagara kelimpungan karena kedua anak kembarnya alergi susu formula. Dia bertemu dengan Shanum yang memiliki limpahan ASI.
Terjadi kontrak kerja sama antara Shanum dan Sagara dengan tebusan biaya rumah sakit dan gaji bulanan sebesar 20 juta.
Namun, suatu malam terjadi sesuatu yang tidak mereka harapkan. Sagara mengira Shanum adalah Sonia, istrinya yang kabur setelah melahirkan. Sagara melampiaskan hasratnya yang ditahan selama setelah tahun.
"Aku akan menikahi mu walau secara siri," ucap Sagara.
Akankah Shanum bertahan dalam pernikahan yang disembunyikan itu? Apa yang akan terjadi ketika Sonia datang kembali dan membawa rahasia besar yang mengguncang semua orang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Pagi itu rumah keluarga Sagara dipenuhi aroma sabun bayi dan bedak lembut yang menyelimuti udara. Cahaya matahari menembus tirai krem, memantul di kulit Shanum yang sedang sibuk melipat pakaian kecil milik si kembar, Aby dan Arsy. Senyum tipis terlukis di bibirnya, kehangatan seorang ibu terpancar dari setiap gerak tangannya yang hati-hati.
Tiba-tiba sepasang lengan hangat melingkari pinggangnya dari belakang. Sagara menempelkan dagunya di bahu sang istri, membuat Shanum tersentak kecil. Napas pria itu terasa di lehernya, hangat, menimbulkan getaran aneh yang menjalar sampai ke ujung jemarinya.
“Mas, bukannya mau mandi?” tanya Shanum sambil menoleh, namun suaminya malah menjawab dengan kecupan ringan di bibirnya. Satu, dua kali. Lembut tapi menuntut.
Wajah Shanum memerah, antara malu dan takjub dengan caranya Sagara menunjukkan kasih. “Mas ....” bisiknya pelan, tetapi kata itu terputus karena Sagara kembali menciuminya, lebih lama kali ini, hingga tubuhnya melemas sejenak.
“Mau mandi bareng anak-anak,” ucap Sagara akhirnya, matanya berkilat nakal.
Shanum pura-pura cemberut. “Ini sudah siang, loh, Mas. Nanti terlambat ke kantor.” Ia mencoba mengalihkan pandangan, mengusap telinga suaminya yang terasa hangat.
“Papi enggak akan protes dan enggak akan berani pecat aku,” jawab Sagara dengan nada menggoda. Bibirnya tersungging, dan senyum itu begitu khas, campuran percaya diri dan manja yang membuat Shanum tak bisa menahan tawa kecil.
“Tidak boleh gitu, loh, Mas!” cerocos Shanum dengan gaya khasnya. “Seorang pria sejati itu harus bertanggung jawab. Mas harus bisa mempertanggungjawabkan pekerjaan Mas. Salah satunya dengan masuk tepat waktu.”
Alih-alih merasa disindir, Sagara malah terkekeh. Suaranya renyah, memenuhi kamar seperti lagu bahagia yang tak ingin berakhir. Di balik tawa itu, ia menatap Shanum penuh sayang. Wanita yang kini menjadi bagian hidupnya, yang perlahan mengisi ruang kosong di hatinya yang dulu hanya terisi oleh nama Sonia.
“Kok rasanya aku ingin bawa kamu ke tempat tidur,” bisiknya tiba-tiba di telinga Shanum.
Shanum menepuk dada suaminya, pipinya seketika merona. “Astaghfirullahaladzim, apa hanya itu yang ada di kepala Mas?” Ia menunduk, menahan senyum malu. “Padahal semalam kita sudah ....” Ia menggigit bibirnya sendiri, tak sanggup melanjutkan kalimat itu.
Sagara tertawa terbahak, tawa yang membuat dua anak mereka ikut menoleh, lalu ikut tertawa tanpa tahu sebabnya. Keheningan rumah pecah oleh suara tawa tiga laki-laki yang Shanum cintai dalam hidupnya.
“Aby, Arsy! Ayo, kita mandi bareng!” seru Sagara, mengangkat kedua bocah itu di pelukannya, membuat mereka menjerit senang.
Shanum hanya bisa menggeleng. Ia menatap punggung suaminya yang menggendong anak-anak menuju kamar mandi, senyum tersungging di bibirnya. Momen kecil seperti ini membuat hatinya hangat.
“Mas, bajumu mau aku siapkan sekalian?” tanyanya beberapa menit kemudian, saat suara tawa Sagara dan si kembar masih terdengar dari kamar mandi.
“Boleh, Yang,” jawab Sagara dari dalam.
Jantung Shanum berdetak lebih cepat. Sudah tiga bulan mereka menikah siri, tapi setiap kali mendengar panggilan “Sayang”, perasaan di dadanya bergetar, manis, dan sedikit gugup seperti remaja yang jatuh cinta untuk pertama kalinya. Ia menatap refleksi dirinya di cermin, bibirnya melengkung dalam senyum yang sulit disembunyikan.
Kamar utama yang selama ini tempati Sagara masih menyimpan aroma masa lalu. Dia melihatnya dengan jelas sebuah pigura besar bergambar Sagara dan seorang wanita. Sonia.
Mereka tampak bahagia, berbalut busana adat pernikahan, senyum mereka memancar seperti cahaya pagi. Sagara tampak muda dan gagah, sementara Sonia terlihat anggun dengan tatapan teduh yang menyerupai dirinya.
“Cantik sekali Bu Sonia. Mau pakai baju apa pun tetap pantas,” gumam Shanum lirih, jemarinya menyentuh bingkai kayu pigura itu dengan hati-hati. Ada perasaan asing yang menusuk di dadanya, campuran antara kagum dan getir.
Shanum melangkah ke walk-in closet, ruangan rapi dengan barisan pakaian yang ditata berdasarkan warna. Di sana tergantung jas, kemeja, dan beberapa pakaian wanita. Pakaian milik Sonia. Parfum lembut yang sudah lama tak disemprot masih menyisakan jejak samar di udara, seolah pemiliknya baru pergi kemarin.
Shanum menarik napas panjang. Ia mencoba menyingkirkan rasa canggung dan mengambil kemeja biru muda, jas serta celana navy yang biasa dipakai Sagara.
“Ah, sepatu dan jam tangan hampir aku lupa!” ujar Shanum sendiri sambil tersenyum kecil.
Namun, langkahnya terhenti saat matanya menangkap sesuatu di meja rias. Sebuah foto Sonia sedang tertawa lepas rambut bergelombang, lipstik warna peach, gaya make up natural. Sama persis dengan dirinya sekarang.
Foto itu membuat seluruh tubuh Shanum menegang. Barang-barang yang ia bawa terjatuh begitu saja, menimbulkan bunyi berdebam pelan. Ia menatap foto itu lama, seolah sedang melihat bayangan dirinya sendiri dari masa lalu yang tak pernah ia miliki.
“Bagaimana mungkin?” Suara Shanum bergetar. “Kenapa kita bisa mirip?”
Perlahan, potongan kenangan bermunculan di benaknya. Sagara yang memintanya mengganti gaya rambut lurus menjadi bergelombang. Sagara yang memilihkan warna lipstik, bahkan foundation, yang katanya lebih cocok di wajahnya. Ia yang awalnya berpikir itu bentuk perhatian, kini mulai merasa janggal.
Semua gaya dandanan itu ternyata bukan untuk dirinya. Itu untuk mengingatkan Sagara pada seseorang yang dulu begitu ia cintai.
Air mata menitik tanpa izin. Shanum menatap wajah Sonia di foto itu senyum lembut, mata teduh, wajah yang memancarkan ketenangan. Ia merasa kecil, seolah hanya pengganti, bayangan dari cinta masa lalu yang tak pernah padam.
“Apakah Mas Gara ingin aku menjadi Bu Sonia?” bisiknya lirih. “Sebegitu besarnya cinta kamu kepada Bu Sonia, Mas?”
Shanum menunduk, menggenggam kuat kemeja yang tadi ia ambil. Dadanya sesak, tapi ia menahan tangis. Ia tidak ingin Sagara melihatnya lemah. Di balik kelembutannya, ada tekad untuk tidak sekadar menjadi bayangan.
Namun, saat ia memandang lagi ke arah foto itu, hatinya seolah tersayat. Mungkin cinta bisa lahir dari luka, tapi ia takut. Takut jika cintanya hanyalah tambal sulam dari kehilangan seseorang yang tak tergantikan.
Di sudut kamar, foto besar itu tetap menggantung diam, menjadi saksi sunyi antara cinta masa lalu yang belum benar-benar mati dan cinta baru yang berusaha tumbuh di atas hati yang sama.
***
Aku mau memberi tahu, kalau Sonia itu masih hidup. Ternyata di bab 3 ada typo: Meninggal seharusnya Meninggalkan.
Kadang sudah ngetik bener, begitu di spasi katanya berubah sendiri. Contoh: Alya begitu di spasi berubah menjadi Alhamdulillah.
Hari ini insya Allah crazy up lagi, ya!
apakah abyasa anak shanum