Bertahun-tahun memendam cinta pada Bagaskara, Aliyah rela menolak puluhan lamaran pria yang meminangnya.
Tak disangka, tepat di hari ulang tahunnya, Aliyah mendapati lamaran dari Bagaskara lewat perantara adiknya, Rajendra.
Tanpa pikir panjang Aliyah iya-iya saja dan mengira bahwa lamaran itu memang benar datang dari Bagaskara.
Sedikitpun Aliyah tidak menduga, bahwa ternyata lamaran itu bukan kehendak Bagaskara, melainkan inisiatif adiknya semata.
Mengetahui hal itu, alih-alih sadar diri atau merasa dirinya akan menjadi bayang-bayang dari mantan calon istri Bagaskara sebelumnya, Aliyah justru bertekad untuk membuat Bagaskara benar-benar jatuh cinta padanya dengan segala cara, tidak peduli meski dipandang hina ataupun sedikit gila.
.
.
"Nggak perlu langsung cinta, Kak Bagas ... sayang aja dulu nggak apa-apa." - Aliyah Maheera.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24 - Istriku
Bebasnya papa tiri yang merupakan sumber petaka dalam kehidupan Bagaskara dan Rajendra tentu saja membuat mereka resah. Bahkan, dengan sangat terpaksa Bagaskara merelakan waktu yang seharusnya dia gunakan untuk bersenang-senang bersama Aliya tergantikan untuk memastikan apa yang terjadi sebenarnya.
Tujuan utama mereka sudah jelas, mendatangi Dion karena sejauh ini, Bagaskara terbiasa langsung bertanya tanpa saling mencurigai satu sama lain dengan alasan agar jelas saja.
“Tidak, Kak, aku bahkan baru tahu kalau Papa bebas setelah kalian datang,” aku Dion menatap Bagaskara dan juga Rajendra dengan kesungguhan.
Matanya tampak jujur, begitu pula dengan gelagatnya, Bagaskara tahu itu. Hanya saja, di mata Rajendra tetap berbeda karena menurutnya yang paling masuk akal untuk menjamin kebebasan tua bangka itu adalah Dion, putra kandungnya.
“Ehm maaf sekali, Dion tapi ... aku tidak bisa mempercayaimu kali ini dan–”
“Jendra ....” Bagaskara mengingatkan, khawatir bahwa Rajendra akan melampaui batas dan nantinya malah menjadi tuduhan. ”Sudah kukatakan jangan saling menuduh, dalam hal ini kita harus berpikir jernih ... enam tahun berlalu dan kita sudah hidup dengan baik, jangan dihancurkan karena saling tidak percaya.”
“Benar, Jendra,” timpal Dion cepat, dia setuju akan ucapan yang dilayangkan oleh kakaknya. “Mungkin benar, aku punya kesalahan di masa lalu ... tidak salah jika kau menuduhku, tapi sejak Kak Bagas memberikanku kesempatan kedua, aku cukup tahu diri dan sejak hari itu pula aku mengabadikan diriku untuk Kak Bagas tenang saja.”
Dengan tulus Dion bicara, berharap tidak akan ada kesalahpahaman di antara mereka nantinya. “Dan, tentang jaminan kebebasan itu sedikitpun aku tidak pernah terpikir, apalagi sampai kulakukan.”
Sekuat itu Dion berusaha menolak, tuduhan yang Rajendra layangkan sekalipun masuk akal tetap tidak bisa Dion terima, jujur saja.
Tak segera menjawab, Rajendra masih tetap melayangkan tatapan tak terbaca yang tentu saja belum percaya, atau tepatnya mungkin tidak bisa percaya pada Dion mengingat dulu, Dion tidak lebih dari sekadar sumber luka dalam hidupnya.
Dan, di tengah keheningan itu, primadona di rumah besar itu turun dengan wajah bingungnya. Shenina, calon tersangka utama yang sudah mendapatkan tatapan tajam dari Rajendra.
“Jendra kenapa? Sakit mata? Atau terpesona?” tanya Shenina setengah bercanda karena Rajendra sama sekali tidak melepaskan tatapan tajam itu darinya.
Sontak yang punya nama memalingkan muka. “Seleraku tidak serendah itu.”
“Ih, mentang-mentang ... ini ada apa ngomong-ngomong? Kok rame?” Shenina mendekat, mengambil posisi duduk tepat di sisi Dion dan ikut melihat lembaran foto di atas meja.
Detik demi detik berlalu, wajah Shenina tampak berubah. Serius, keningnya juga berkerut dan berkali-kali dia memastikan siapa yang ada di foto itu. "Ini? Ini maksudnya apa?”
Shenina bertanya dan pertanyaan itu justru sekaligus menjadi jawaban bahwa dia sendiri tidak tahu apa-apa tentang itu. Tatapan mata yang penuh tanya dan wajah bingungnya sejak tadi tak lepas dari tatapan Bagaskara.
“Kenapa bisa? Bukannya masih lama?”
“Entahlah, kamu sendiri apa tidak tahu masalah ini, Shen?” Dion yang kali ini melempar pertanyaan, bukan Rajendra yang bisa jadi akan kembali menuduh jika sudah melemparkan pertanyaan.
“Tidak, masalah apa memangnya?”
Sejenak, Dion menarik napas panjang sebelum kemudian lanjut bicara. “Jadi Rajendra tadi bilang, ada seseorang yang menjamin kebebasan papa ... apa mungkin kamu?”
“Menjamin kebebasan Papa?” Shenina bertanya sebelum kemudian tertawa kecil.
“Iya, jujur saja kalau iya ... jangan ditutup-tutupi karena Jendra menuduhku kalau tidak ditemukan juga siapa pelakunya,” aku Dion yang terang-terangan merasa tertekan karena Rajendra memang luar biasa mendominasi saat ini.
Shenina yang mendapat tuduhan dan seolah-olah harus mengaku itu seketika menyandarkan tubuhnya di sofa. “Bahkan untuk menjenguknya saja aku tidak sudi, apalagi buat bebasin, Dion? Mikir lah.”
Setelah Dion, Shenina juga menolak dan untuk kali ini Rajendra terdiam membisu. Sama seperti Bagas, dia ikut memerhatikan gerak-gerik kedua anak kandung pria yang dia sebut tua bangka itu.
Mereka sama-sama meyakinkan, dan masuk akal juga jika Shenina kecewa karena dahulu, dia bahkan tidak dianggap penting saat terbaring di rumah sakit oleh ayahnya.
“Menurutku dalam situasi begini kita jangan saling tuduh menuduh deh, Rajendra terutama.” Shenina menatap ke arah Rajendra yang memang sejak awal sudah menaruh kecurigaan pada mereka.
“Bukan menuduh, cuma memastikan karena yang paling mungkin itu kalian.”
“Belum tentu, Jen.”
“Loh belum tentu gimana? Kalian kan anak kandungnya, siapa lagi kalau bukan? Masuk akal kah kalau orang yang menjamin kebebasannya adalah tetangga sebelah?”
.
.
Ketegangan di sana terjadi, tapi Dion dan Shenina tetap berusaha terlihat tenang menghadapi Rajendra yang memang sudah mengklaim mereka sebagai tersangka utama.
Namun, di sisi lain Bagaskara masih bisa berpikir jernih karena memang dia tidak hidup lama dengan Rajendra, tapi Dion dan juga Shenina. Mereka sama, sama-sama dekat dan dahulu juga saling menyayangi layaknya kakak adik.
“Tidak, Jendra ... aku berani bersumpah, memang aku tidak menjamin kebebasan Papa.”
“Sama, Jen, aku juga tidak ... boleh tanya ke orang-orang di sana, aku bahkan tidak pernah jenguk loh.”
Keduanya tampak ketakutan, jelas saja khawatir karena Rajendra memang sudah jauh lebih berkuasa.
Dan nyaris bersamaan dengan mereka yang kini membela diri, ponsel Rajendra berdering dan memperlihatkan seseorang menghubunginya di sana.
“Siapa?” tanya Shenina penasaran, tapi tidak mendapat jawaban dari Rajendra yang tampaknya sedang fokus itu.
Dia menerima panggilan tersebut, mendengar dengan begitu fokus dan tepat di saat Rey memberikan informasi, tatapan Rajendra segera berpindah ke arah Dion dan juga Shenina.
“Kau yakin bukan mereka?” tanya Rajendra dan tentu saja yang dimaksud mereka adalah kedua saudara tirinya.
Selang beberapa saat, masih hening yang berkuasa di antara mereka hingga Rajendra mengakhiri panggilan tersebut.
“Ya sudah, bukan kata Rey ... pihak sana juga merahasiakan, dan ini agaknya lebih rumit dari yang kita bayangkan.”
Seketika itu, Dion dan Shenina menghela napas lega, tapi juga panik setelahnya. “Jadi menurutmu? Apa mungkin musuh Kak Bagas?”
“Bisa jadi, atau mungkin saja musuhku,” balas Rajendra menatap nanar tanpa arah.
Dia melirik ke arah kakaknya dengan perasaan khawatir yang tiba-tiba saja menjelma. “Aku pulang, Aruni menunggu.”
Segera Rajendra bangkit berdiri, firasatnya mendadak berubah dan Bagaskara juga ikut berdiri setelahnya.
Kepergiannya yang begitu tiba-tiba membuat Dion dan Shenina terkejut hingga berusaha menahan kepergian pria itu.
“Kakak mau ke mana? Jangan pulang dulu, kita lanjutkan masalah yang tadi.”
Dengan sedikit tergesa, Bagaskara bersiap untuk pergi bahkan sedikit berlari. “Tidak bisa, besok-besok saja ... istriku juga menunggu di rumah.”
.
.
- To Be Continued -
Hai, pemirsa ... maaf kemarin aku nggak jadi up 3 karena sakit kepala dan nggak bisa kupaksain berpikir 🫶🏻