Namanya Kevin. Di usianya yang baru menginjak angka 20 tahun, dia harus mendapati kenyataan buruk dari keluarganya sendiri. Kevin dibuang, hanya karena kesalahan yang sebenarnya tidak dia lakukan.
Di tengah kepergiannya, melepas rasa sakit hati dan kecewa, takdir mempertemukan Kevin dengan seorang pria yang merubahnya menjadi lelaki hebat dan berkuasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rcancer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sedikit Lebih Baik
"Chen! Chen! Gawat! Di bawah ada Pedro," ucap pria berkulit hitam yang akrab dipanggil Berry.
"Apa? Pedro?" Chen yang sedang asyik menikmati udang asam manis sontak mengentikan gerakan tangannya.
"Dia bersama Noel dan seorang gadis, lagi makan bareng di bawah," balas Berry sedikit panik.
"Wahh, gawat," Chen menenggak sejenak es jeruk untuk menetralkan rasa pedas serta terkejutnya. "Kalau Pedro dan Noel ada di sini, berarti Mario juga ada di sini. Apa kedatangan mereka mau melihat keadaan Lavia?"
"Bisa jadi," jawab Berry. "Kalau kedatangan mereka untuk menjenguk Lavia, itu berarti Lavia selamat dari penusukan itu. Wah, bahaya, Chen."
"Sialan! Sepertinya kita salah perhitungan," selera makan Chen seketika hilang. "Bisa-bisa, kita ketangkap duluan kalau Lavia dan Hernandez menyadari bukti rencana Organisasi kita ada pada mereka."
"Tapi kita cari Lavia dimana? Dia tidak ada di rumah sakit mana pun," Berry pun merasa kesal juga.
"Jangan-jangan Lavia dirawat di rumahnya," ujar Chen. "Wahh, bakalan makin sulit kita mendekati Lavia."
Berry terdiam. Tapi apa yang dikatakan Chen memang ada benarnya. Dia dan Chen pun berpikir keras untuk mencari jalan keluar.
"Begini aja, kita ikuti Pedro," Chen lantas memiliki ide. "Setelah ini, mereka akan kemana. Kalau ke rumah, nanti kita cari celah agar bisa menyusup."
"Ide bagus tuh," Berry menyambut ide Chen dengan antusias. "Kita harus segera menemukan barang itu, sebelum Mario tahu."
"Ya sudah, mending kita sekarang turun dan menunggu Pedro di tempat parkir."
"Oke!" Kedua pria bergegas bangkit meninggalkan meja makan yang masih ada, cukup banyak sisa makanan yang mereka pesan.
Sepertinya kedua pria itu sedang menjalankan misi khusus, tapi terkendala sesuatu hingga mereka menargetkan Hernandez dan istrinya.
Di sisi lain, Kevin saat ini terlihat sedikit lebih baik dari beberapa menit yang lalu. Kevin merasa ucapan pria berkulit hitam saat di toilet, membuatnya dia agak tersadar akan keadaannya saat ini.
Setelah ini, entah apa yang akan Kevin lakukan. Dia belum ada rencana apapun karena benak dan pikirannya masih bergelut atas kenyataan yang baru saja dia ketahui.
Sikap Kevin sudah tentu saja menjadi perhatian tiga orang yang bersamanya. Nadira dan dua pria dewasa yang sedari tadi heran dengaan sikap Kevin, sesekali berusaha memancing Kevin dengan beragam pertanyaan atau candaan.
"Di dunia ini, tdak ada yang namanya anak haram, Kevin," ucap Noel, pria dewasa yang bersamanya, yang menjadi supir pribadi Pedro dan Mario. Dia dan Pedro mengetahui penyebab dari perubahan sikap Kevin dari mulut Nadira saat Kevin pergi ke toilet.
"Sorry, Vin, aku terpaksa cerita," ucap Nadira. "Abis aku geram dengan omongan Argo. apa maksudnya coba dia ngomong kaya gitu sama kamu."
Kevin pun tersenyum tipis.
"Jadi, kamu diejek sebagai anak haram?" tanya Pedro. "Jangan diambil hati, karena kamu tidak sendirian," ucapan Pedro sukses membuat Kevin menatap lekat kepadanya.
"Saya sama Tuan Pedro juga tidak pernah tahu, siapa orang tua kita," sambung sang supir dan apa yang dikatakannya sukses mengejutkan anak muda yang sedang dirundung pilu.
"Serius, Om?" Nadira pun tak kalah terkejut. "Terus selama ini, Om Pedro dan Om Noel tinggal dimana waktu masih kecil."
"Kita dari bayi, sudah ada dipanti asuhan," Pedro yang menjawab. "Kita bahkan tidak tahu, bagaimana wajah wanita yang telah melahirkan kita. Tapi kita masih bisa hidup sampai detik ini."
"Benar," sahut Noel. "Apa lagi sejak kita mengenal Tuan Mario dan diajak gabung kerja bersamanya, kami merasa memiliki keluarga, hingga kami sukses seperti yang kalian lihat sekarang."
"Wahh, keren," puji Nadira nampak ikut ceria.
"Tidak selamanya anak yang tidak diinginkan itu anak yang buruk, Kevin," ujar Pedro. "Bahkan, kita bisa menjadi manusia yang lebih baik, daripada anak yang memiliki orang tua lengkap."
"Nah, iya tuh, kaya Argo," celetuk Nadira. "Tu anak amit amit banget pokoknya. Seneng banget mengandalkan kekuasaan orang tuanya. Ih, nggak banget."
Sikap menggemaskan Nadira, sukses membuat Pedro dan Noel tersenyum.
"Jadi, apapun masalah yang sedang menimpa kamu, hadapilah dengan tenang dan kepala dingin," ucap Pedro. "Kalau kamu terlalu larut memikirnya, yang ada, nanti hanya akan mengundang pikiran buruk saja. Dan itu bisa berpengaruh buruk juga pada kepribadian kamu."
Kevin tercenung, mencerna ucapan pria yang katanya nasibnya lebih parah dari dirinya. Jika dipikirkan dengan baik, Kevin masih cukup beruntung. Setidaknya, Kevin tidak ditaruh di panti asuhan. Dia masih punya Nenek dan Kakek yang merawatnya sampai remaja.
Saat Nenek dan Kakek meninggal, Dirgantara juga masih mau menerimanya, masih mau memberi dia kehidupan yang cukup layak, meski perlakuan Dirgantara selalu sangat menyakitkan hati.
"Sudah, jangan terlalu dipikirkan," ucap Nadira. "Masih banyak kok, orang yang peduli sama kamu. Ada Mami, Papi, teman-teman kuliah. Kamu tidak sendirian, Vin."
Kali ini Kevin sanggup mengembangkan senyumnya meski hanya sebuah senyum tipis. Namun, senyum yang terkembang pada bibir Kevin, mampu membuat Nadira dan dua pria dewasa lega melihatnya.
Puas berbincang sembari menikmati hidangan, mereka pun segera meninggalkan area rumah makan tersebut begitu selesai makan.
Mereka memilih langsung pulang karena Pedro harus melanjutkan pekerjaannya yang tertunda, di hotel tempat dia menginap.
"Loh, mereka empat orang?" ucap seseorang, yang saat ini berada di dalam mobil, kala mata orang itu menangkap sosok yang dia kenali keluar dari restoran. "Siapa anak laki-laki itu? Kenapa mereka kelihatan akrab dengan Pedro dan Noel?"
"Udah, nggak usah terlalu dipikirkan," ujar pria berkulit putih. "Kita ikuti aja mereka, nanti juga kita bakalan tahu, ada hubungan apa dua anak itu dengan Pedro."
Pria berkulit hitam, yang tak lain adalah Berry seketika mengangguk samar. "Tapi tadi aku sempat menyapa anak laki laki itu waktu di toilet. Sepertinya anak itu lagi ada masalah yang berat."
Kening Chen agak berkerut, menatap rekan kerjanyaa yang bertugas memegang kendali mobil. "Apa jangan-jangan, mereka anak-anaknya Hernandez?"
"Disa jadi," balas Berry.
Chen sontak menyeringai. "Kalau memang benar, berarti kita harus bisa menangkap kedua anak itu."
"Ide bagus tuh, aku setuju!" balas Berry sambil menyalakan mesin mobil, lalu mobil itu melaju, mengikuti kendaraan yang menjadi target mereka.