NovelToon NovelToon
Embun Di Balik Kain Sutra

Embun Di Balik Kain Sutra

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Cinta Terlarang / Romansa pedesaan
Popularitas:563
Nilai: 5
Nama Author: S. N. Aida

Di Desa Awan Jingga—desa terpencil yang menyimpan legenda tentang “Pengikat Takdir”—tinggal seorang gadis penenun bernama Mei Lan. Ia dikenal lembut, tapi menyimpan luka masa lalu dan tekanan adat untuk segera menikah.

Suatu hari, desa kedatangan pria asing bernama Rho Jian, mantan pengawal istana yang melarikan diri dari kehidupan lamanya. Jian tinggal di rumah bekas gudang padi di dekat hutan bambu—tempat orang-orang jarang berani mendekat.

Sejak pertemuan pertama yang tidak disengaja di sungai berembun, Mei Lan dan Jian terhubung oleh rasa sunyi yang sama.
Namun kedekatan mereka dianggap tabu—terlebih karena Jian menyimpan rahasia gelap: ia membawa tanda “Pengkhianat Istana”.

Hubungan mereka berkembang dari saling menjaga… hingga saling mendambakan.
Tetapi ketika desa diguncang serangkaian kejadian misterius, masa lalu Jian kembali menghantui, dan Mei Lan harus memilih: mengikuti adat atau mengikuti hatinya yang berdegup untuk pria terlarang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9 — Melarikan Diri Menembus Kabut

​Kabut pagi itu bukan lagi berkah yang menenangkan, melainkan selimut tebal yang mematikan. Kabut merayap, menghilangkan jarak dan suara, mengubah lingkungan yang akrab menjadi labirin ancaman. Rho Jian dan Mei Lan bergerak cepat, tetapi tanpa suara, mengikuti batas hutan bambu.

​Mei Lan hanya membawa tas kain sederhana yang berisi makanan kering, botol air, dan gulungan Kain Sutra Cahaya Bintang yang ia tenun. Barang-barang itu terasa berat, tetapi ia memegangnya erat-erat, simbol dari kehidupan yang ia bawa dan masa depan yang ia kejar. Ia harus bergantung sepenuhnya pada Jian, sebuah kondisi yang, secara mengejutkan, terasa lebih membebaskan daripada ketidakpastian dalam desa.

​“Tetap di belakangku. Jangan bersuara, jangan pernah,” bisik Jian, suaranya nyaris hilang dalam kabut. “Jejak kaki mereka ada di mana-mana. Mereka menyebar. Kita harus mencapai Jalur Batu Ular sebelum matahari memecah kabut.”

​Jian bergerak dengan keanggunan yang brutal. Setiap langkahnya diperhitungkan, kakinya yang kokoh tidak pernah mematahkan ranting kering atau menggesek batu yang berlumut. Ia adalah bayangan, bukan manusia.

​Mei Lan, sang penenun yang terbiasa duduk diam di bangku, harus berjuang untuk menyamai ritmenya. Ia berkeringat dingin, paru-parunya sakit karena udara dingin. Namun, ia mengingat kata-kata Jian—jangan pernah bersuara—dan ia menguatkan dirinya. Ia menggunakan disiplin yang sama yang ia gunakan saat menenun kain sutra yang paling rumit: fokus total, presisi, dan pantang menyerah.

​Saat mereka melintasi batas hutan menuju lereng yang lebih curam, Jian tiba-tiba berhenti, mengangkat tangan.

​Mereka berdua bersembunyi di balik akar pohon tua yang besar. Jian berjongkok, matanya yang tajam menyapu kabut. Di kejauhan, samar-samar, terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa.

​“Warga desa,” bisik Jian. “Mereka baru menyadari aku menghilang. Mereka akan mencari di sepanjang rute ini.”

​“Shan Bo,” bisik Mei Lan, mengenali suara kemarahan yang datang dari kejauhan.

​“Bukan hanya dia,” jawab Jian, ekspresinya tegang. “Ada orang lain. Dengarkan. Ada langkah kaki yang terlatih, lebih teratur. Itu bukan petani. Itu adalah pelacak Istana.”

​Mei Lan mendengarkan, dan ia menyadari kebenaran yang menakutkan itu. Di balik suara gerutuan para petani, ada bunyi derap kaki yang ringan, konsisten, dan mematikan.

​Jian meraih tasnya, mengeluarkan sekantong kecil bubuk. Ia menaburkan bubuk itu di sekitar akar pohon dan di atas jejak kaki mereka.

​“Bubuk kayu suren,” jelas Jian, cepat. “Baunya tajam. Akan menutupi bau tanah kita. Semoga ini memperlambat pelacak mereka.”

​Mereka melanjutkan perjalanan mereka, bergerak ke atas, meninggalkan rute yang biasa digunakan penduduk desa. Setelah hampir satu jam mendaki, mereka mencapai ambang Jalur Batu Ular.

​Jalur Batu Ular adalah celah sempit di tebing batu yang curam, dinamai demikian karena bentuknya yang meliuk dan berbahaya. Di satu sisi adalah dinding batu setinggi langit, di sisi lain adalah jurang yang diselimuti kabut tebal. Batu-batu di jalur itu licin karena embun, dan celah-celah yang mereka lalui hanya selebar bahu.

​“Kau yakin bisa melewatinya, Jian?” tanya Mei Lan, napasnya tersengal.

​“Jalur ini hanya diketahui oleh beberapa pemburu. Dan tidak mungkin dilalui oleh kuda. Mereka akan membuang waktu mencari di lembah,” jawab Jian. Ia tidak bertanya apakah Mei Lan bisa. Ia tahu gadis itu harus bisa.

​“Ikuti jejak kakiku. Letakkan telapak kakimu di tempat yang sama persis dengan tempat kakiku mendarat,” perintah Jian.

​Jian bergerak lebih lambat sekarang, memprioritaskan keamanan daripada kecepatan. Ia menyentuh setiap batu sebelum melangkah, menguji stabilitasnya. Jika satu batu saja bergerak, mereka bisa jatuh ke jurang di bawah.

​Mei Lan merasa ketakutan menguasai dirinya. Ia hanya bisa melihat punggung Jian yang kokoh, jubah gelapnya menjadi satu-satunya titik fokus di tengah kabut dan batu-batu yang mengancam. Ia memaksa dirinya untuk fokus pada kaki Jian.

​Fokus, presisi. Seperti menenun benang pakan di antara benang lungsin.

​Ia jatuh ke dalam ritme yang aneh, mengikuti gerakan Jian. Kaki kirinya di sini, kanan di sana. Lompat kecil, geser, tahan napas.

​Tiba-tiba, sebuah batu di bawah kaki Mei Lan bergeser.

​Mei Lan kehilangan keseimbangan, ia tergelincir, dan sentakan ngeri itu membuat napasnya tertahan. Tas kainnya terlepas dari genggaman, dan ia merasakan tarikan gravitasi menariknya ke jurang.

​Dalam sepersekian detik, Jian bereaksi. Tanpa berbalik, ia meraih pergelangan tangan Mei Lan dengan tangan kirinya. Pegangannya kuat, seperti cengkeraman baja, tetapi tidak menyakitkan. Jian menstabilkan dirinya, kakinya mengeras, dan ia menarik Mei Lan ke atas, kembali ke jalur.

​Mei Lan ambruk ke batu, terengah-engah, memejamkan mata. Ketakutan itu hampir melumpuhkannya.

​“Tasmu,” kata Jian, suaranya tenang, meskipun tangannya sedikit gemetar. Ia tidak memarahi, hanya mengingatkan.

​Tas kain Mei Lan tersangkut di tonjolan batu tepat di tepi jurang. Jian harus meregangkan tubuhnya berbahaya untuk menggapainya.

​Mei Lan melihat wajah Jian. Ia melihat ketakutan yang cepat berlalu di mata pria itu, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan ketakutan kehilangan Mei Lan.

​“Kau harus lebih hati-hati,” kata Jian, meletakkan tas itu kembali ke pelukan Mei Lan. Ia tidak melepaskan tangan Mei Lan. Ia beralih ke tangan kanannya dan menggenggam tangan Mei Lan erat-erat. “Mulai sekarang, jangan lepaskan tanganku. Jika Kau jatuh, aku akan menarikmu bersamaku.”

​Ancaman itu, yang diucapkan dengan kasih sayang yang terpendam, membuat Mei Lan merasa lebih aman daripada jubah terhangat sekalipun.

​“Saya mengerti,” bisik Mei Lan. “Saya akan ikut ke mana pun Kau pergi.”

​Mereka melanjutkan perjalanan mereka. Genggaman tangan Jian terasa seperti jangkar, dingin, kasar, tetapi benar-benar stabil. Jian tidak hanya membimbingnya melalui jalur itu; ia membagi beban emosional dan fisik dari perjalanan itu.

​Mei Lan menyadari kelemahan yang ia tunjukkan harus segera diakhiri. Saat mereka melewati celah yang sempit, Jian berdesis kesakitan.

​“Ada apa?” tanya Mei Lan.

​“Luka lama,” jawab Jian, menggertakkan gigi. “Di sisi rusuk. Mendaki membuatnya terbuka sedikit.”

​Mei Lan menghentikan langkah. “Tunjukkan.”

​Jian ragu, tetapi tidak membantah. Ia melepaskan genggaman tangan, dan Mei Lan mendorong jubahnya sedikit ke samping. Luka lama itu, yang Jian pikir hanya perlu ditekan, ternyata sudah merembeskan darah, mewarnai kain di dalamnya menjadi merah gelap.

​“Kau tidak bisa mengatasinya dengan paksa, Jian,” kata Mei Lan. Ia membuka tasnya, mencari-cari. Ia mengeluarkan beberapa daun kering dari tasnya—daun yang ia kumpulkan di hutan bambu, yang biasanya digunakan untuk pewarna alami. “Tahan sebentar.”

​Mei Lan merobek sedikit kain katun dari jubah dalamnya, mengunyah daun kering itu menjadi pasta herbal, lalu dengan lembut mengoleskannya ke luka Jian, dan membebatnya. Tangan penenun itu, yang terbiasa dengan kelembutan sutra, kini bekerja dengan cepat dan efisien.

​Jian menatapnya, terkejut. “Kau tahu cara menggunakan obat herbal?”

​“Tidak ada penenun yang bisa hidup tanpa pengetahuan tentang tanaman,” jawab Mei Lan, fokus pada pekerjaannya. “Daun ini memperlambat pendarahan dan menenangkan otot. Kau terlalu kasar pada dirimu sendiri, Jian. Perisai juga perlu diperbaiki.”

​Jian hanya bisa menatapnya. Gadis yang ia yakini rentan, ternyata memiliki kekuatan dan pengetahuan praktis yang ia butuhkan untuk bertahan.

​“Terima kasih,” kata Jian, suaranya dipenuhi rasa hormat yang mendalam.

​Saat mereka menyelesaikan Jalur Batu Ular dan mencapai puncak tebing, kabut akhirnya mulai menipis, digantikan oleh sinar matahari pagi. Mereka bisa melihat ke bawah, ke Desa Awan Jingga, yang kini tampak kecil, tenang, dan jauh.

​Jian menarik Mei Lan ke dalam celah batu yang tersembunyi. Mereka berdua ambruk, kelelahan.

​Jian menatap ke belakang, ke jalur yang mereka lewati. Ia melihat bayangan bergerak di bawah, di jalur setapak lama. Mereka datang terlambat.

​“Kita berhasil,” kata Jian, lega. Ia menatap Mei Lan, yang terengah-engah, tetapi matanya bersinar dengan keberanian baru.

​“Kita berhasil, Jian,” balas Mei Lan.

​Jian meraih tasnya, mengeluarkan botol airnya yang hanya tersisa setengah. Ia menyerahkannya pada Mei Lan.

​“Minum,” katanya. “Kita harus bersembunyi di sini sampai malam. Dan kemudian kita akan bergerak menuju Kota Bayangan. Tidak ada jalan kembali sekarang.”

​Mei Lan meminum air itu, lalu mengembalikan botolnya. Ia bersandar di bahu Jian, lelah, tetapi puas. Ia menyentuh tasnya, merasakan Kain Sutra Cahaya Bintang di dalamnya.

​“Mengapa Kau tidak mau menenun benangku?” tanya Mei Lan, mengacu pada surat perpisahan Jian.

​Jian memejamkan mata. Ia membelai rambut Mei Lan. “Karena benangku berlumuran darah. Jika Kau menenunnya ke dalam hidupmu, Kau akan ternoda.”

​Mei Lan mengangkat kepalanya, menatap Jian. “Itu tidak benar. Benang sutra tidak pernah ternoda oleh benang lain. Ia justru menahan benang yang putus itu agar tidak terbang ke mana-mana. Jian, aku tidak hanya mengikutimu. Aku memilihmmu. Dan aku akan menenun benang kita menjadi kain yang lebih kuat dari istana mana pun.”

​Jian tidak menjawab. Ia hanya memeluknya erat-erat, membiarkan kehangatan Mei Lan menyebar ke luka dinginnya. Mereka adalah buronan, mereka lelah, dan bahaya ada di depan mata. Tetapi di puncak tebing itu, di dalam pelukan yang dingin, mereka menemukan rumah yang tidak pernah mereka miliki. Mereka telah melarikan diri dari masa lalu mereka, dan sekarang mereka harus menghadapi masa depan mereka bersama.

1
Rustina Mulyawati
Bagus ceritanya... 👍 Saling suport yuk!
marmota_FEBB
Ga tahan nih, thor. Endingnya bikin kecut ati 😭.
Kyoya Hibari
Endingnya puas. 🎉
Curtis
Makin ngerti hidup. 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!