Ratih yang tidak terima karena anaknya meningal atas kekerasan kembali menuntut balas pada mereka.
Ia menuntut keadilan pada hukum namun tidak di dengar alhasil ia Kembali menganut ilmu hitam, saat para warga kembali mengolok-olok dirinya. Ditambah kematian Rarasati anaknya.
"Hutang nyawa harus dibayar nyawa.." Teriak Ratih dalam kemarahan itu...
Kisah lanjutan Santet Pitung Dino...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom young, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Yang dicurigai
Braakkk....
"Ya,ampun cerobohnya aku!" Ratih memaki dirinya dalam senyap.
Ratih kaget, apalagi yang di dalam, mereka merasa tidak aman, kelima pria dewasa itu langsung memakai pakiannya, sementara Sinta langsung berlari kedalam kamar "Cepat keluar periksa siapa yang datang!" Perintah Sinta!
Ratih kalang kabut ia hampir ketauan kalau begini ceritanya yang ada ia bisa mati konyol. Karena satu lawan lima, di tambah ia sudah tidak ada lagi pegangan ilmu kebal bacok atau ilmu beladiri.
"Cepat... kalian cegat! jangan sampai kita kehilangan jejak." Teriak satu pria berbadan tegap itu.
Mereka langsung berpencar, Ratih masih terus mengumpat di bawah pohon randu yang sudah mati.
"Kemana perginya dia, aku merasa dia bukan manusia!" Pria itu merasa kalau dirinya bukan sedang mengejar manusia, karena langkahnya begitu cepat.
Pria itu merinding, dan langsung segera pergi dari pohon randu besar itu.
Ratih menarik nafas lega untuk sesaat, saat mengintip tapi Pria itu sudah pergi dari sana.
"Mereka sudah pergi." Ratih langsung beranjak dari tempat persembunyiannya.
Anehnya bukanya Ratih kembali kerumah, ia malah penasaran dan kembali lagi kerumah itu, seolah ia sengaja mendekati macan yang menggaung.
Ratih kembali, penuh waspada, tanganya meremas batre kencang di tangannya.
Setibanya disana Ratih langsung terkejut karena ia melihat Pak lurah dan juga Sinta sedang berbincang di luar rumah itu, Ratih segera mengumpat. "Pak Lurah kenapa ada disini tengah malam begini? apa yang sedang mereka bicarakan?" Rasa penasaran begitu menggerogoti pikirannya.
Ia kembali mengendap pelan, Ratih jongkok dibawah pohon mangga besar tepat di samping Pak lurah dan Sinta yang sedang berbicara serius.
"katakan pada paman yang sebenarnya Sinta! apakah kamu yang melakukan itu?" Pak lurah, menekan ucapanya.
Sinta masih bersikap santai. "Tenanglah paman jangan teriak!... Lagipula apapun yang aku lakukan itu bukan urusan paman!" Sinta menatap sang paman bengis dalam kegelapan malam.
"Aku memang jahat Sinta! akan tetapi aku tidak sekeji dirimu! katakan pada paman kenapa kau meminta mereka membunuh Sati! tidak perlu berkilah paman sudah tahu semuanya!"
Ratih tergagap, dadanya sesak mendengar kenyataan itu, ia ingin keluar dari persembunyiannya tapi jika ia menyerang Sinta secara mendadak yang ada ia bisa mati oleh kelima Gigolo Sinta.
"Ternyata dugaanku benar! maafkan ibu Sati, karena sudah abai dengan masalahmu." Raih menangis dalam persembunyiannya.
"Paman dengarkan aku! aku mau kau jangan mencampuri urusanku!" Sinta nampak berbuat sesuka hatinya.
"Tapi apa salah Sati! lagipula apa yang membuat kau dendam pada anak sekecil itu!" Pak lurah nampak emosi, ia tidak tahu apa yang membuat Sinta hilang akal sampai-sampai ia menghancurkan Gadis malang itu, ia memang penjahat wanita, tapi jika harus membunuh Pak lurah tidak sekejam itu.
"Sudahlah paman! Paman pulanglah jika masih ingin melihat matahri bersinar besok! dan paman jangan coba-coba mencampuri urusanku lagi!" Hardik Sinta, ia acuh tak acuh mengusir pamanya secara paksa.
Ratih pulang berjalan begitu lunglai, ia merasa di tikam berulang kali, ia fikir anaknya benar-benar mati karena bunuh diri, tapi tenyata dugaannya salah Sati tewas dibunuh dengan keji.
Ratih duduk di bangku, lutunya bergetar hebat, bibirnya bungkam air matanya jatuh begitu saja, ia sangat kecewa apalagi dengan pak lurah. "Kenapa Pak lurah, malah menutupi kejahatan ini." Ratih mengacak rambutnya frustasi.
Sesaat otaknya melayang jauh kedalam masalalu kelam, mengingat ilmu hitam yang ia pelajari selama beberapa bulan. Akankan Ratih akan kembali balas dendam menuntun balas kematian anaknya?
Tapi bagimana caranya, Ki'Jambu Arsa entah masih ada atau tidak!
"Hutang nyawa harus dibayar nyawa..." Teriak Ratih dalam ke marah itu.
.
.
Malam berikutnya saat itu beberapa pemuda desa baru saja pulang dari tahlilan kekampung sebelah.
Mereka membawa besek dan juga satu senter, Handoko dan Karno saat itu sedang asik bercengkrama sambil berjalan, sementara Jalani memegang batre di tanganya sambil mendengarkan percakapan keduanya.
"Sayang'yoh, padahal dulu aku pernah naksir Sati tapi malah ia meningal dalam keadaan yang mengenaskan." timpal Handoko ia merasa tidak percaya kalau Sati meningal begitu saja.
"Iya... kalau aku tahu dia mati tapi sebelumnya di perkosa, aku mau juga loh tanggung jawab sebagai bapaknya." Timpal Karno menertawakan ucapanya.
"Hissss... kalian ini pada ngomongin apa sih?" Tiba-Tiba saja senter ditangan Jalani mati.
Beberapa saat kemudian Jalani mendengar suara perempuan merintih di semak belukar, ia langsung mecolek kedua temannya.
"Koe'rungu ora?" kata Jalani lirih.
Handoko dan Karno seketika terdiam mereka langsung memasang telinga mendengarkan apa yang ada di semak belukar itu.
"Disana bukanya tempat sumur tua yang sudah ditutup ya, beberapa tahun yang lalu?" Mata Karno terbelalak, seketika bulu kudanya merinding.
"Hiksss... Hiksss..." suara isakan tangisan itu kembali terdengar
Namun mereka begitu penasaran, dan akhirnya mereka memutuskan berjalan kesana, mencari tahu sumber suara tangisan itu.
langkah mereka mulai mendekat di dekat sumur tua itu, mereka bertiga mengintip dibalik pohon Turi, yang tumbuh tidak terlalu tinggi.
"Apa itu Jal?..." Karno bergetar saat melihat penampakan di depanya.
Didepan sana, terlihat seorang wanita berambut panjang mengunakan kain putih lusuh menangis tersendu di dekat samping sumur itu.
Wujudnya seperti kuntilanak, ia memandikan bayi, untuk sesaat bayi itu menangis
"Apa itu, yang dinamakan kuntilanak Jal?" Handoko menarik sarung Jalani ketakutan.
Setelah itu. Kuntilanak itu melihat ketempat dimana mereka bertiga bersembunyi.
"Ya-Allah. Gusti, Si Sati dadi kuntianak...." Kaki mereka bertiga seolah tidak bisa bergerak.
Kuntilanak itu terbang begitu saja, dengan tawanya yang mengema, ketiga pemuda itu langsung tutup telinga, dan duduk ketakutan wajah mereka begitu pucat pasi.
Berita kematian Sati yang jadi kuntilanak terdengar sampai ketinggalan Ratih dan Bude Sukma.
Bahkan saking paniknya Bude Sukma langsung mendatangi rumah Ratih hanya untuk mengatakan hal demikian.
"Ratih... Ratih... " Bude Sukma berlari tergopoh-gopoh.
Ratih terdiam, ia sudah tahu maksud kedatangan Bude Sukma sepagi ini pasti akan mengatakan berita yang beredar
"Ratih... kamu sudah dengar? benarkah Sati jadi Kuntilanak dan jadi arwah penasaran?"
"Sudah Mba, jangan bicarakan itu, aku tidak mau mendengar apapun tentang Sati, dia sudah meningal mana mungkin orang yang sudah mati akan menjadi arwah penasaran." Ratih menarik nafas berat.
"Aku juga tidak percaya hal itu Tih, tapi sungguh, semua warga itu sedang membicarakan Sati yang gentayangan jadi kuntilanak." Bude Sukma juga merasa was-was.
"Sudah cukup Mba, jangan bicarakan itu lagi." Ratih beranjak, air matanya jatuh berlinang begitu saja.
"Maaf Ratih, bukan maksud aku buat membahas itu, dan kembali mengingatkanmu pada almarhum Sati."
pelan pelan aja berbasa-basi dulu, atau siksa dulu ank buah nya itu, klo mati cpt trlalu enk buat mereka, karena mereka sangat keji sm ankmu loh. 😥