novel fiksi yang menceritakan kehidupan air dan api yang tidak pernah bersatu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Syihab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Dalam Gelap yang Membangunkan Diri
Gelap.
Itu hal pertama yang Cai rasakan ketika Penjaga Retakan menyeretnya masuk ke dalam kegelapan yang lebih dalam lagi. Bukan gelap seperti malam, bukan gelap seperti kedalaman laut. Ini adalah gelap yang hidup, gelap yang bergerak, gelap yang mengawasi dari segala arah.
Tubuh Cai terhempas ke permukaan yang tidak jelas teksturnya. Bukan batu. Bukan air. Bukan tanah. Tapi sesuatu yang terasa seperti ingatan yang membeku—tidak nyata, tidak punya bentuk, tetapi bisa ia pijak.
Ia terhuyung, napasnya terengah.
“Di mana… ini?”
Suara Cai bergema, namun gema itu tidak memantul. Ia tersedot ke dalam gelap seperti ditelan kabut.
Sebuah suara bergumam di atasnya.
“Engkau terlalu jauh masuk… makhluk air.”
Cai menegakkan tubuhnya, memandang ke arah suara itu. Dua mata putih besar menyala di balik kabut, mengawasinya seperti dua bulan yang terpantul di gelap yang tidak berujung.
Penjaga Retakan.
Makhluk itu kini tampak jelas — tubuhnya seperti air hitam yang terus berubah bentuk. Kadang seperti naga air, kadang seperti manusia, kadang seperti kabut yang tidak punya struktur. Setiap kali ia bergerak, gelombang energi memutar dimensi di sekitarnya.
“Kau…” Cai mundur satu langkah. “Mengapa kau menyerangku?”
Mata putih itu mengerjap perlahan, seolah bingung.
“Aku tidak menyerang. Aku melindungi.”
“M—melindungi siapa?”
“Retakan.”
Cai terdiam.
Penjaga Retakan mengangkat lengannya, dan kabut hitam mengalir dari tubuhnya, membentuk gambaran kabur—pusaran energi biru dan merah yang bertabrakan tanpa arah.
“Retakan tidak stabil,” katanya. “Kau memegang kuncinya.”
Cai menunduk, melihat kristal retakan kecil di tangannya. Cahaya perak dari kristal itu berdenyut lemah.
Laci ingat.
Ketika ia bertarung melawan makhluk air liar di pintu pertama retakan, ia menemukan kristal ini. Ia menyadari benda itu bisa menyatukan pecahan energi, tetapi ia tidak pernah tahu apa sebenarnya fungsinya.
“Kunci… untuk apa?” tanya Cai.
Penjaga Retakan menatapnya lama, sebelum menjawab dengan suara yang menyerupai ribuan bisikan.
“Untuk menutup atau… menghancurkan. Dua kemungkinan, satu keputusan.”
Cai menegang. “Hancur… retakan ini?”
“Jika retakan hancur, kedua dimensi ikut hancur.”
Penjaga Retakan bergerak maju, tubuhnya berputar seperti ombak hitam.
“Jika ditutup… dunia kembali tenang.”
Cai memegang kristal itu lebih erat.
“… Lalu kenapa kau menarikku?”
Penjaga Retakan berhenti tepat di depan Cai.
“Karena kau ragu.”
Cai terdiam.
“Ragu adalah bahaya terbesar bagi retakan.”
Makhluk itu menunduk, suaranya berat namun tidak mengancam.
“Kau harus memilih. Dan sebelum memilih, kau harus mengerti siapa dirimu.”
Cai tertegun.
“Siapa… diriku?”
Penjaga Retakan menyentuh dada Cai dengan ujung jarinya. Sentuhan itu tidak panas atau dingin. Tapi seolah menyentuh inti ingatan Cai.
Gelap di sekeliling mereka bergetar.
Tiba-tiba, bentuk-bentuk cahaya mulai muncul—potongan ingatan yang tidak pernah Cai lihat sebelumnya.
Bocah kecil berambut biru muda yang berlari di antara atap kristal Air Biru.
Air berputar di sekelilingnya tanpa ia arahkan.
Seorang tetua dari Air Biru memperhatikannya dari jauh dengan ekspresi takut, bukan bangga.
“Dia berbeda…”
“Dia membawa jejak… itu.”
“Kita harus melindungi Air Biru darinya.”
Ingatan itu hilang.
Cai membuka mata dengan napas terhenti. “Apa itu…?”
“Ingatanmu,” jawab Penjaga Retakan. “Ingatan yang disegel oleh dimensi air untuk melindungi diri mereka dari kekuatanmu.”
Cai memegangi kepalanya. “Tidak mungkin. Aku… aku hanya makhluk air biasa.”
“Tidak,” jawab Penjaga Retakan dengan suara yang menggema seperti ribuan gelombang jatuh.
“Kau bukan Air Biru. Kau bukan Air Merah. Kau bukan bagian dari dimensi manapun.”
Tubuh Cai menegang.
“Kau… berasal dari retakan.”
---
Sementara itu, di luar retakan, Sena merasakan cahaya merah-perak di tubuhnya bergetar hebat.
“Cai?!”
Ia merasakan sesuatu.
Tidak seperti sebelumnya. Lebih kuat. Lebih jelas.
Seolah ada jembatan langsung ke dalam tubuh Cai yang terpaut oleh kristal retakan.
Irawa memandang Sena yang tiba-tiba terhuyung. “Apa yang terjadi?!”
Sena memegangi dada. Api di tubuhnya meledak sedikit, namun kemudian kembali terkendali.
“Aku bisa… merasakan dia ditarik ke kedalaman lain.”
“Jika begitu, kau harus mundur!” teriak Irawa. “Aku tidak bisa menjaga kestabilan retakan lebih dari ini!”
“Tidak,” jawab Sena pelan.
Rahangnya mengeras.
“Kau tidak mengerti. Aku harus tetap di sini. Jika aku mundur… jembatannya terputus.”
Irawa memandang Sena dengan tatapan rumit. Ia ingin melarangnya. Ia ingin menyeret Sena jauh dari retakan itu. Tapi ia juga tahu, tatapan di mata Sena bukan tatapan prajurit biasa.
Itu tatapan seseorang yang sudah memilih siapa yang ingin ia lindungi.
“Baik.” Irawa akhirnya berkata. “Aku akan menjaga.”
Sena mengangguk.
Ia berdiri tepat di depan pusaran retakan, tubuhnya menyala merah-perak. Ia menghubungkan energi jiwanya ke jejak Cai. Ia menutup mata.
“Cai… bertahanlah.”
---
Cai memegang dadanya.
“Retakan… asal mula… aku?” bisiknya.
“Ada alasan dimensi air takut padamu,” kata Penjaga Retakan. “Ada alasan kenapa kau tidak bisa sepenuhnya menyatu dengan energinya. Kau adalah pecahan jiwa retakan itu sendiri.”
Cai mundur. “Itu tidak mungkin. Retakan… berasal dari peperangan antara Air Biru dan Api Merah.”
“Mereka membuatnya lebih parah,” jawab Penjaga Retakan. “Tapi retakan sudah ada jauh sebelumnya. Dan dari retakan itu… lahirlah kau.”
Cai memejamkan mata.
Ada rasa dingin aneh yang mengalir di tubuhnya. Rasa yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Seperti memori yang baru saja ditemukan.
Penjaga Retakan mendekat.
“Dan sekarang… retakan memanggilmu pulang.”
Cai membuka mata.
Dalam gelap itu, ia bisa merasakan Sena—meski samar.
Sena yang penuh cahaya, penuh kegigihan, penuh keberanian. Sena yang mengejarnya ke dalam retakan meski tahu tubuhnya bisa hancur.
Cai menggigil.
“Aku… tidak ingin pulang ke sini.”
“Kau tidak bisa lari dari asalmu.”
“Tapi aku punya pilihan.”
Mata putih Penjaga Retakan berkedip.
“Katakan.”
Cai mengepalkan kristal retakan itu.
“Jika aku berasal dari retakan… maka aku bisa mengendalikannya.”
Cahaya perak mengalir dari kristal ke seluruh tubuhnya.
“Aku tidak akan biarkan dua dunia hancur. Dan aku tidak akan biarkan retakan ini menarik orang lain ke dalamnya.”
Cai menatap sang penjaga, matanya bersinar biru-perak.
“Aku bukan pecahan kehancuran.”
Suara Cai berubah stabil—lebih kuat dari sebelumnya.
“Aku akan menjadi jembatan.”
Sebelum Penjaga Retakan sempat merespons, suara dentuman besar echoing dari arah belakang mereka.
Gelap bergetar.
Cahaya merah menerobos kegelapan seperti tombak.
Sena.
Sena menerjang masuk ke dalam gelap—tidak sepenuhnya, hanya dalam bentuk energi jiwa. Tubuh fisiknya masih di luar retakan, tapi jiwanya, melalui teknik Bara Tua, berhasil merambat ke kedalaman retakan.
Cai membelalak.
“Sena?! Kenapa kau masuk?!”
Sena tidak menjawab. Ia menatap langsung makhluk penjaga dengan mata api dan perak yang menyala.
Penjaga Retakan mengeluarkan suara rendah. “Kau… bukan seharusnya di sini.”
Sena berdiri di samping Cai—bahkan dalam bentuk energi, kehadirannya terasa solid dan hangat. “Aku tidak peduli di mana aku seharusnya berada.”
Ia menatap Cai.
“Aku hanya peduli… di mana dia berada.”
Cai terdiam.
Suaranya gemetar.
“Sen—”
Sena meletakkan tangan energinya di bahu Cai. Meski hanya bentuk jiwa, sentuhan itu terasa nyata.
“Aku bilang… aku datang menjemputmu.”
Cai merasakan dadanya retak—bukan oleh retakan dimensi, tapi oleh sesuatu yang jauh lebih dalam.
Penjaga Retakan menyeringai, tubuhnya berubah menjadi pusaran hitam raksasa.
“Baiklah… kalau begitu…”
Suara makhluk itu bergema di seluruh ruang gelap.
“Buktikan bahwa kalian layak… menentukan nasib dua dunia.”
Cai menelan ludah.
Sena menegang, api jiwanya menyala merah-perak.
Gelap di sekeliling mereka pecah.
Dan perang antara penjaga dimensi dan dua makhluk yang tidak seharusnya bersatu—
baru saja dimulai.