Winda Hapsari, seorang wanita cantik dan sukses, menjalin hubungan kasih dengan Johan Aditama selama dua tahun.
Sore itu, niatnya untuk memberikan kejutan pada Johan berubah menjadi hancur lebur saat ia memergoki Johan dan Revi berselingkuh di rumah kontrakan teman Johan.
Kejadian tersebut membuka mata Winda akan kepalsuan hubungannya dengan Johan dan Revi yang ternyata selama ini memanfaatkan kebaikannya.
Hancur dan patah hati, Winda bersumpah untuk bangkit dan tidak akan membiarkan pengkhianatan itu menghancurkannya.
Ternyata, takdir berpihak padanya. Ia bertemu dengan seorang laki-laki yang menawarkan pernikahan. Seorang pria yang selama ini tak pernah ia kenal, yang ternyata adalah kakak tiri Johan menawarkan bantuan untuknya membalas dendam.
Pernikahan ini bukan hanya membawa cinta dan kebahagiaan baru dalam hidupnya, tetapi juga menjadi medan pertarungan Winda.
Mampukah Winda meninggalkan luka masa lalunya dan menemukan cinta sejati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06
Dengan kesal Winda berdiri mengabaikan perutnya yang keroncongan. Melangkah ke depan untuk melihat siapa yang datang.
“Kamu…???” Winda sedikit heran, Di depan pintu, berdiri Ardan dengan wajah datar seperti biasanya. Di tangannya ada sebuah tas kerja berukuran sedang.
Winda mengerutkan kening. “Ada apa?” tanya Winda ketus.
“Aku sudah bilang akan datang untuk mengambil dokumenmu kalau kamu lupa,” jawab Ardan. Tanpa basa-basi. Ia langsung masuk ke dalam apartemen tanpa menunggu izin.
Winda menepuk keningnya. Bagaimana ia bisa lupa kalau Ardan akan datang untuk mengambil dokumen. Ia lalu mengikuti langkah Ardan yang sudah duduk di sofa ruang tamu tanpa dipersilahkan. Mendengus kesal dengan sikap Ardan yang seolah menganggap apartemennya seperti rumah sendiri.
“Tunggu sebentar, aku ambilkan.” Winda kemudian melangkah menuju kamarnya untuk mengambil apa yang dimaksud oleh Ardan.
“Hemm…”
Seperti biasa, hanya sebuah deheman yang keluar dari mulut Ardan sebagai jawaban. Mata pria itu sibuk sekeliling ruang gimana ia duduk. “Cukup rapi. Sepertinya gadis ini boleh juga.”
Ardan berdiri dari tempat duduknya, hidungnya mengendus-endus seperti mencium aroma sesuatu, dan ia melangkahkan kakinya mengikuti sumber aroma, hingga langkahnya tiba di meja makan.
“Apa dia tadi mau makan?” gumamnya. “Makanan apa ini?” Merasa penasaran, Ardan lalu duduk di depan mangkok yang masih mengepulkan asap. Mengarahkan hidungnya semakin dekat dengan mangkok. “Sepertinya baunya sedap.” Mengambil sendok lalu mencicipi sedikit kuahnya.
Ardan terdiam sejenak mencoba merasai sesuatu yang baru saja masuk ke dalam mulutnya. “Lumayan.” Mengambil sesendok lalu menyuapkan ke dalam mulut. Kunyah kunyah kunyah kunyah. Suap lagi, kunyah lagi.
Tercenung sebentar. Kunyahannya berhenti. Setitik air lolos dari sudut matanya. “Bukankah ini mie instan? Kenapa Rasanya seperti ini?” Suap lagi kunyah lagi. Air mata yang mengalir semakin deras.
“Gadis bodoh. Apa tidak tahu kalau mie instan tidak baik untuk kesehatan!!” Suap lagi kunyah lagi. Sambil menggerutu dan sesekali menghapus air mata dengan lengannya. Hingga tanpa sadar isi mangkok itu telah berpindah seluruhnya ke dalam perutnya.
Winda kembali ke ruang tamu dengan membawa beberapa lembar kertas di tangannya. “Di mana dia? Apa dia sudah pergi?” Celingukan ke sana kemari karena tidak melihat penampakan Ardan. Mendengus kesal, hampir saja ia berbalik untuk mengembalikan berkas itu ke dalam kamar. Namun, netranya melihat tas kerja Ardan masih tergeletak di atas meja.
Winda mengarahkan langkahnya menuju meja makan, mungkin Ardan berada di sana untuk mengambil air minum. Ia sedikit menyesal, tidak menyuguhkan apapun sebelum meninggalkan Ardan sendirian di ruang tamu.
Akan tetapi, alangkah terkejutnya ia, ketika sampai di sana dan melihat Ardan duduk menghadap mangkoknya yang telah kosong.
“Apa yang sudah kamu lakukan dengan makananku?!” Winda berteriak kesal.
Ardan tersentak. Kenapa Winda semarah itu? Segera ia menguasai diri. “Makanan ya dimakan memangnya ada, makanan dibuat mandi?”
Winda menggeram kesal. Pria songong di hadapannya ini benar-benar menyebalkan. “Terus sekarang aku makan apa?!”
“Makan yang lain. Mie instan tidak baik untuk kesehatan!” Sikap datarnya kembali muncul. Dengan santai kembali ke ruang tamu setelah meneguk segelas air putih yang sebelumnya sudah disiapkan Winda di dekat mangkok.
Winda meninju udara di belakang Ardan. Boleh tidak kalau dia pukul kepala pria itu? Tidak baik untuk kesehatan, tapi bahkan kuahnya pun tak bersisa.
Ruang tamu apartemen yang tak seberapa luas itu terasa mencekam, dipenuhi ketegangan yang begitu kentara. Winda, duduk bersandar di sofa, bersedekap dan memalingkan muka. Sama sekali tak berusaha menyembunyikan ekspresi kesalnya. Ia benar-benar lapar, tetapi Ardan malah menghabiskan mie yang dia buat dengan susah payah.
Di seberangnya, Ardan mengamati Winda dengan tatapan datar, tanpa emosi. Keheningan hanya diselingi oleh detikan jam dinding yang terasa nyaring. Ardan menyadari kesalahannya. Menghela napas lalu meraih ponselnya dan memesan makanan secara online.
"Aku sudah memesan makanan untukmu," katanya, suaranya datar, tanpa sedikitpun nada hangat. "Sebentar lagi datang."
Mendengar itu, ekspresi kesal Winda sedikit melunak. Ia melirik Ardan sekilas, lalu kembali mengalihkan pandangannya. “Sepertinya dia tak seburuk itu,” gumamnya dalam hati.
"Kenapa matamu merah? Kamu habis nangis?" Winda mengernyit saat tak sengaja mereka bertatapan.
"Aku? Menangis? Mana ada. Ini karena mie yang terlalu pedas." Ardan sedikit gelagapan.
Lagi-lagi kening Winda berkerut. "Pedas apanya? Aku kan gak nambahin cabe?" gumannya. "Oh, mungkin cabe yang buat lalap." Ia menganggukkan. "Dasar cemen. Gitu aja kepedasan." Tentu saja ia hanya berani mengejek dalam hati. Mana berani terang-terangan.
"Orang tuamu menyukai apa? Atau apa yang tidak mereka sukai? Aku perlu tahu agar tidak terjadi kesalahan," Sambil menunggu makanan tiba, Ardan memulai pembicaraan tentang pernikahan mereka.
"Terserah Kamu saja.” Winda tidak peduli. Toh ini bukan pernikahan yang ia inginkan. Pernah dulu ia bercita-cita menciptakan pernikahan ala putri dari negeri dongeng bersama Johan. Namun, ternyata berakhir kandas.
“Baiklah, aku akan mengaturnya.”
"Berapa lama?" tanya Winda, suaranya terdengar datar. Mungkin bersama dengan Ardan membuatnya terkena virus datar.
Kening Ardan berkerut, bingung dengan pertanyaan itu. "Apanya?"
"Kita menikah hanya atas dasar kesepakatan. Kamu hanya ingin membalas dendam pada saudara tirimu, dan aku juga," ucap Winda, menekankan setiap kata. "Berapa lama pernikahan ini akan berlangsung?"
Raut wajah Ardan berubah. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan amarah yang mulai membara di dadanya. Meskipun pernikahan mereka hanya berdasarkan kesepakatan, tapi ia tak pernah menganggapnya sebagai pernikahan kontrak. Ia tetap menghargai dan akan mengabulkan apapun keinginan Winda.
"Kau boleh meminta cerai jika kau menemukan pria yang kau cintai," jawab Ardan, suaranya dingin, keras.
Winda menatap Ardan datar. "Apa harus ada perjanjian, kesepakatan, atau aturan tertulis juga?"
Rahang Ardan semakin mengeras. Sorot matanya berubah gelap, menunjukkan sisi lain dari dirinya yang selama ini disembunyikan. Gadis ini benar-benar menguji kesabarannya.
"Tidak perlu aturan tertulis," jawab Ardan kemudian. Suaranya rendah dan berat, penuh otoritas. "Akulah aturan itu. Jadi selama pernikahan ini, Kamu harus patuh pada aturanku. Aku yang akan menentukan sampai kapan pernikahan ini berjalan."
Keheningan kembali menyelimuti ruang tamu, lebih berat dan mencekam dari sebelumnya. Ardan mencoba menguasai diri agar tak meledak. "Kenapa? Kenapa kau begitu ingin lepas dariku. Asal tahu saja, itu tak kan pernah terjadi. Aku akan mengikat mu seumur hidup." sumpah Ardan dalam hati.
Winda tak lagi bertanya. Hanya telapak tangannya yang terlipat terkepal diam-diam. "Dasar diktator!"
Ting tong ting tong…
Bunyi bel di pintu apartemen meredakan ketegangan. “Sana ambil piring, biar aku yang terima.” Ardan sudah lebih dulu berdiri.
Tanpa suara, Winda menurut. Dia memang sudah lapar. Dia ke pantry untuk mengambil dua buah piring dan sendok. Barangkali saja Ardan memesan dua porsi untuk mereka.
Sementara itu, Ardan melangkah ke depan dan membuka pintu. Sosok yang berdiri di depan pintu membuatnya terdiam.
Orang yang datang lebih terkejut melihat keberadaan Ardan di sana. “Kamu? Apa yang kamu lakukan di apartemen Winda?!” tanya orang itu gusar.
Ardan hanya menatapnya datar. Tak berniat untuk menjawab.
Merasa Ardan terlalu lama, Winda berinisiatif menyusul. “Lama amat sih? Kamu tidak ada uang kecil untuk membayar pesanan ?” tanya Winda.
Tetapi ketika sampai di dekat Ardan, mata wanita itu terbelalak.
“Kamu? Untuk apa Kamu ke sini?”
duh.. kan jadi gatel jariku/CoolGuy/
Ardan yang nyidam
Winda yang mengalami morning sick
lucu banget.....
lanjut ka....