Bagaimana jadinya jika seorang wanita yang dulunya selalu diabaikan suaminya bereinkarnasi kembali kemasalalu untuk mengubah nasibnya agar tidak berakhir tragis. jika ingin tau kelanjutannya ikuti cerita nya,,!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon clara_yang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Pagi di rumah Kenny terasa sangat sunyi
Keyla duduk di ruang makan dengan cangkir kopi yang tak ia sentuh. Ia hanya menatapnya, seolah aroma pahit itu mampu menenggelamkan ketakutannya. Namun pikirannya terus kembali ke bayangan di basement. Tatapan itu, nada suara itu, cara pria itu memanggilnya…
Dira.
Nama itu kembali menghujam jantungnya.
Ia tidak pernah berharap mendengar nama itu lagi. Tidak setelah semuanya berakhir… atau ia pikir sudah berakhir. Bertahun-tahun ia membangun identitas baru sebagai Keyla Anjalika Putri—gadis biasa, lembut, polos.
Tapi seseorang ingin menghancurkan tembok itu.
Langkah kaki terdengar dari arah lorong. Kenny muncul, mengenakan kemeja hitam dengan beberapa kancing terlepas. Wajahnya tampak kusut karena kurang tidur, tapi sorot matanya tajam—terlalu tajam.
“Keyla,” panggilnya lirih.
Keyla memaksa tersenyum. “Pagi.”
Kenny duduk di seberangnya, tangan panjangnya terlipat di atas meja. “Aku sudah pasang lima kamera tambahan di sekitar rumah.”
Keyla tersentak. “Kamera? Untuk apa—”
“Kemarin ada pria yang mengikutimu.” Nada suara Kenny rendah, terkontrol. “Aku tidak akan lengah lagi.”
Keyla menunduk, bibirnya bergetar. “Aku… tidak ingin membuatmu khawatir.”
“Kamu tidak membuatku khawatir,” jawab Kenny cepat. “Orang itu yang melakukannya.”
Kenny meraih tangan Keyla dan menggenggamnya erat.
“Selama kamu belum siap bicara, aku tidak akan memaksa. Tapi aku ingin kamu tahu… apa pun masa lalu kamu, apa pun yang mengejarmu… aku tetap di sini.”
Air mata mengalir tanpa ditahan.
Kenny mengusap pipinya dengan lembut. “Hari ini aku bekerja dari rumah. Bodyguard sudah menunggu di depan. Kamu tidak akan sendirian.”
Keyla mengangguk, meski ketakutannya masih menjerat.
Sekitar pukul sepuluh pagi, sebuah paket tiba di depan rumah. Tidak ada pihak pengirim. Tidak ada tanda alamat jelas. Hanya kotak cokelat kecil dengan pita hitam.
Bodyguard Kenny segera membawanya masuk ke ruang kerja.
“Tuan, paket ini ditemukan di depan gerbang. Tidak ada nama.”
Kenny menatap kotak itu dengan ekspresi gelap. “X-ray?”
“Tidak terdeteksi benda berbahaya, Tuan.”
“Letakkan.”
Bodyguard itu meletakkan kotak di meja lalu keluar.
Kenny menatap paket itu selama beberapa detik sebelum membuka pita hitamnya. Keyla berdiri di dekat pintu, menahan napas.
Kenny mengangkat tutup kotaknya.
Di dalamnya hanya ada satu benda.
Sebuah liontin perak.
Hati Keyla langsung berhenti berdetak.
Liontin berbentuk setengah bulan… dengan ukiran bunga mawar kecil di tengahnya.
Ia mengenali liontin itu.
Ia tahu liontin itu lebih baik daripada ia mengetahui jantungnya sendiri.
Itu milik Dira.
Dulu, sebelum ia meninggal.
Ketika ia berumur delapan belas… seseorang memberikannya kepada dia sebagai tanda kepemilikan.
Tanda bahwa ia tidak boleh pergi.
Tidak boleh hidup bebas.
Tidak boleh memilih hidupnya sendiri.
Keyla menutup mulutnya, tubuhnya goyah.
Kenny mendekat. “Keyla? Kamu mengenali ini?”
Keyla menggeleng cepat—terlalu cepat.
“Tidak… tidak, aku tidak tahu. Siapa yang mengirim ini? Kenapa mereka kirimkan ke rumah—”
Suaranya pecah.
Kenny menatap Keyla tajam. Ia tidak percaya kebohongan itu, tapi ia juga tidak mau menekan. “Aku akan cari tahu siapa yang mengirimnya.”
Kenny memegang liontin itu, menimbang-nimbang dengan tatapan gelap. “Paket ini bukan main-main. Ini pesan. Peringatan.”
Keyla memejamkan mata.
Atau ancaman…
Kenny memanggil salah satu orang kepercayaannya. “Lacak sidik jari. Periksa CCTV sekitar. Aku ingin tahu siapa yang meletakkan kotak ini.”
Orang itu mengangguk dan membawa liontin itu.
Begitu pintu tertutup, Kenny mendekati Keyla. “Kamu yakin tidak ingin cerita?”
Keyla menatap mata suaminya, melihat ketulusan, namun mulutnya tak mampu bergerak.
“Aku… tidak tahu apa-apa, Kenny. Benar.”
Kenny memeluknya. “Baik. Tapi aku akan cari tahu, apa pun caranya.”
Keyla menggigit bibir keras. Ia tidak ingin Kenny terlibat. Tidak ingin dia terluka karena masa lalunya yang kelam.
Tapi kenyataan sudah jelas—dia tidak bisa melarikan diri selamanya.
Sore hari, hujan mulai turun. Langit gelap membungkus rumah itu dengan nuansa mencekam.
Keyla duduk di kamar, memeluk lutut. Ia memandang keluar jendela, menatap tetesan hujan yang berlari di permukaan kaca.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi.
Bukan pesan.
Telepon.
Dan yang membuat tubuhnya membeku adalah nama yang muncul di layar.
Nomor Pribadi.
Tidak diketahui.
Tidak ada siapa pun yang berani menelepon dengan nomor ini. Kecuali…
Keyla menatap layar tanpa bergerak.
Ponsel terus berdering.
Dering yang terdengar seperti suara kematian yang mengetuk pintu.
Dengan tangan gemetar, ia mengangkat telepon.
“Ha… halo?”
Hening beberapa detik.
Kemudian, suara seorang pria terdengar pelan, nyaris seperti napas.
“Dira.”
Keyla menutup mulut dengan tangan.
“Apakah kamu menerima hadiahku?”
Suara itu lembut… tapi penuh ancaman.
“K-kenapa kamu melakukan ini?” suara Keyla pecah. “Apa yang kamu inginkan?!”
Pria itu tertawa kecil, rendah, menyeramkan. “Kamu meninggalkan aku.”
Keyla membeku.
“Dan kamu pikir kamu bisa hidup tenang? Bersama pria lain?”
“Aku—aku tidak tahu kamu siapa!” Keyla mencoba menyangkal, meski tubuhnya bergetar hebat.
“Oh, Dira… kamu sangat tahu siapa aku.”
Langkah kaki terdengar dari luar kamar—Kenny.
Keyla ketakutan, menutup telepon terburu-buru.
Tepat saat Kenny membuka pintu.
“Keyla?” tatapannya tajam. “Siapa yang kamu telepon?”
Keyla menggeleng cepat. “Bukan siapa-siapa. Hanya salah sambung.”
Kenny mendekat, mencengkeram bahunya. “Jangan bohong padaku.”
Keyla mengalihkan pandangan, air mata mengalir. “Aku tidak bohong…”
Kenny mendesah panjang. “Setiap kali aku tanya, kamu selalu menutup diri.” Suaranya mulai terdengar frustrasi. “Aku tidak mau memaksa. Tapi aku juga tidak bisa melindungimu kalau kamu menyembunyikan sesuatu.”
Keyla menunduk, menangis lembut.
“Seseorang mencoba menyakitimu,” Kenny melanjutkan. “Dan aku tidak akan duduk diam menonton.”
Ia mengambil jaketnya, terlihat sangat marah namun terkendali. “Aku pergi sebentar. Ada yang harus aku temui.”
“Kenny, jangan pergi—” Keyla setengah berteriak, panik.
Kenny berhenti di ambang pintu. “Aku kembali sebelum malam. Jangan buka pintu untuk siapa pun, Keyla. Jangan.”
Dan ia pergi.
Keyla memeluk dirinya sendiri.
Ia tahu Kenny pergi untuk menyelidiki… mencari orang yang mengincarnya.
Tapi yang paling menakutkan adalah kenyataan bahwa pria itu juga sedang mengamatinya.
Menginginkannya.
Mengejarnya.
Dan ketika Keyla menatap jendela lagi, ia melihat sesuatu yang menghancurkan seluruh ketenangannya.
Di seberang jalan—berdiri di bawah payung hitam—ada sosok pria.
Sama seperti di basement.
Tinggi.
Tidak bergerak.
Mengawasinya.
Keyla membeku.
Ia menutup mulutnya untuk menahan jeritan.
Di detik itulah ponselnya kembali berbunyi.
Sebuah pesan masuk.
Satu kalimat saja.
“Kamu tidak bisa bersembunyi dariku, Dira.”
Keyla menjatuhkan ponselnya.
Saat ia mengangkat wajahnya lagi…
Sosok di seberang jalan sudah menghilang.
Jika kamu ingin BAB 16, aku akan lanjutkan dengan:
Kenny bertemu seseorang yang mulai membuka tabir masa lalu Keyla/Dira
Reno akhirnya muncul dengan pengakuan mengejutkan
Pria misterius mulai mendekat lebih agresif
Rencana penyanderaan mulai disusun dalam bayangan