Lana, seorang gadis yang tumbuh dalam pengabaian orangtua dan terluka oleh cinta, harus berjuang bangkit dari kepedihan, belajar memaafkan dan menemukan kembali kepercayaan pada cinta sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lidya Riani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 22 Bertemu Bunda Part 2
"Ayo cepat kita temui dia," Dilla menarik-narik kemeja Lana, matanya berbinar penuh semangat, bergegas agar ia bisa menemui ibunya sebelum mereka pergi.
"Tapi aku takut, Dil," bisik Lana lirih, hatinya berdebar kencang.
"Takut apa sih? Dia kan ibu kandung kamu. Ayo, nanti terlanjur pergi," ucap Dilla, nada suaranya penuh keyakinan, mencoba menyemangati sahabatnya.
"Tapi kalau dia nggak mau ketemu aku gimana?" Lana memasang raut wajah khawatir, perasaan ragu menyelimuti hatinya.
"Ya ampun, Lana, dia ibu kandungmu! Kalian sudah nggak bertemu bertahun-tahun, pasti dia kangen sama kamu," ujar Dilla, matanya menatap Lana dengan penuh pengertian, mencoba menenangkan kegelisahan sahabatnya.
"Tapi, Dil, Bunda..." Lana masih ragu, kata-katanya tercekat di tenggorokan.
"Udah, jangan kebanyakan bingung, ayok!" Dilla menarik lengan Lana, tekadnya bulat, bergegas menghampiri Sofia, ibu kandung Lana.
...-----------...
"Pe...permisi, Om, Tante," ucap Lana dengan suara bergetar, saat ia dan Dilla berdiri di hadapan Sofia, Wisnu, dan Gina yang baru saja akan keluar dari toko buku, mengejutkan mereka.
"Ada perlu apa?" Wisnu bertanya dengan senyum ramah, mencoba mencairkan suasana yang tiba-tiba tegang.
Lana dengan gugup melihat ke arah Sofia, ibu kandungnya, matanya mencari jawaban. Merasa dirinya ditatap intens oleh seorang gadis yang tidak dikenalnya, kening Sofia mengernyit, perasaannya campur aduk.
Sofia merasa familiar dengan wajah gadis itu, namun ia ragu, ingatannya berusaha mengingat sesuatu yang lama terlupakan.
"B...Bunda..." suara lirih Lana akhirnya terdengar, membuat tubuh Sofia membeku, jantungnya berdegup kencang.
"Kamu... Lana?" pertanyaan Sofia, suaranya penuh keraguan.
Lana tak tahu bagaimana dirinya bisa tiba-tiba bahagia hanya dengan mengetahui kalau ibunya mengingat namanya, perasaan yang sudah lama hilang. Lana menganggukkan kepalanya perlahan, matanya berkaca-kaca.
Matanya terasa memanas, namun ia menahan diri agar jangan sampai ada air mata jatuh ke pipinya.
Sofia terlihat sedikit gugup, ia menoleh ke arah suaminya sejenak dan anak tirinya, kebingungan terlihat di wajahnya. Wanita itu berpikir cukup lama, menimbang apa yang harus ia lakukan, berusaha mencari jalan keluar.
"Siapa dia, Bunda?" Gina yang merupakan anak dari Wisnu, terlihat menggamit lengan Sofia dengan erat, ekspresi tidak suka terpancar di wajahnya, saat seseorang memanggil Sofia dengan panggilan yang sama dengannya.
"Ah, ini..." lidah Sofia mendadak kelu, ia kehilangan kata-kata.
Wisnu yang mengerti kegugupan istrinya langsung maju, mencoba menyelamatkan situasi.
"Oh, jadi kamu, Lana. Bagaimana kabar kamu?" Wisnu terlihat ramah dan berusaha mencairkan suasana pertemuan mereka, senyumnya menenangkan.
"Ba...baik, Om," jawab Lana gugup, matanya masih tertuju pada Sofia.
"Ayah, ayok, aku sudah lapar," Gina dengan manja merajuk kepada ayahnya, mencoba menarik perhatian.
"Gina, ini saudara kamu, namanya Lana, benar kan?" tanya Om Wisnu lagi, mencoba memperkenalkan mereka.
"Ini Gina, dia lebih tua 2 tahun dari kamu. Kami di sini sedang berlibur dan kebetulan sekali bisa bertemu kamu di sini," jelas Wisnu panjang lebar sambil memperkenalkan putrinya tersebut, berusaha membuat suasana lebih nyaman.
"Kalian berdua saja?" tanya Wisnu lagi, mencoba mencari tahu lebih lanjut.
"Iya, Om, saya Dilla, temannya Lana. Tadi Lana enggak sengaja lihat Tante Sofia, jadi kita langsung sapa Om dan Tante di sini," jelas Dilla, berusaha membantu Lana.
Om Wisnu mengangguk-anggukkan kepalanya, memahami situasi.
"Kamu sehat, Lana?" tiba-tiba suara Sofia terdengar di telinga Lana, suara yang sangat dirindukannya.
"Iya, Bunda, Lana sehat. Bunda sendiri apa kabar?" tanya Lana dengan suara bergetar.
"Baguslah kalau kamu baik-baik saja," jawab Sofia singkat, tidak ada kehangatan dalam suaranya.
"Ayah, Bunda, ayo cepat kita makan siang. Gina sudah lapar banget," tanpa melihat situasi dan orang tuanya yang sedang mengobrol, Gina memotong pembicaraan mereka, menunjukkan ketidak sabarannya.
"Gina, jangan nggak sopan seperti itu," tegur Wisnu pada anak perempuannya, nada suaranya tegas namun lembut.
"Ah, begini saja," lanjut Om Wisnu, mencari solusi. "Bagaimana kalau kita lanjutkan ngobrol sambil makan malam?" tawar Wisnu, membuat Lana dan Dilla saling menoleh, terkejut dengan tawaran itu.
"Ih, Ayah, ogah. Jangan ngajak orang asing sembarangan," tolak Gina dengan nada manja dan tidak suka.
"Gina! Nggak sopan kamu," Wisnu berdecak dan tak habis pikir dengan tingkah anak gadisnya yang sangat manja ini.
Gina yang merasa dibentak sang ayah langsung mencari perlindungan dan bergelayut manja pada Sofia.
Sejak awal, Lana terus memperhatikan interaksi antara Gina dan ibunya, hatinya terasa sakit. Sofia tampak sangat peduli pada anak tirinya itu. Gina yang terus menggamit lengan Sofia, lalu Sofia yang begitu terlihat menyayangi Gina terus memperhatikan anaknya.
Tak segan ia merapikan rambut dan pakaian yang dikenakan oleh Gina. Sofia juga terlihat bahagia dan tak merasa terganggu sedikit pun setiap kali Gina bermanja padanya, pemandangan yang sangat kontras dengan perlakuan Sofia padanya.
Semua itu adalah pemandangan yang sangat asing bagi Lana, perasaan iri dan sedih bercampur aduk. Ia tidak pernah mendapat perhatian seperti itu dari Sofia. Mungkin memori gadis itu telah sedikit memudar, tapi yang ia ingat adalah sejak kecil Sofia selalu bersikap tak acuh padanya. Ia seakan tak pernah mempedulikan kehadiran gadis itu. Bahkan setiap Lana mencoba mendekatinya, Sofia seringkali membentak karena merasa terganggu, kenangan pahit itu kembali menghantuinya.
"Sudahlah, Mas, lagipula ini sudah menjelang malam, Lana dan Dilla juga sepertinya sudah mau pulang, benar kan?" tanya Sofia pada Lana dan Dilla yang sontak membuat mereka saling bertatapan, mencoba mengakhiri pertemuan yang canggung itu.
Lana menarik napas panjang, dadanya tiba-tiba terasa sesak.
"Iya, Om, aku sama Dilla sudah mau pulang. Kami pamit ya, Om, Bunda, Kak Gina," ucap Lana dengan suara tertahan, mencoba menahan air matanya.
Dilla terlihat kebingungan setelah mendengar ucapan Lana, tidak mengerti dengan keputusan sahabatnya.
"Baiklah, kalian hati-hati di jalan," sahut Sofia merespons ucapan perpisahan dari anak kandungnya tersebut, tidak ada kehangatan dalam suaranya.
Lana langsung berbalik pergi, diikuti oleh Dilla yang mengejarnya walaupun dengan kebingungan di wajahnya, perasaan sakit hati dan kecewa menyelimuti Lana.
Ia terus mengikuti Lana yang hanya terdiam sampai akhirnya mereka tiba di halte bus, suasana hening dan tegang.
Lana masih terdiam, Dilla sedikit khawatir namun ia tak berani menegur gadis itu, karena ia tahu kalau Lana sedang tak baik-baik saja, perasaan khawatir dan simpati menyelimuti Dilla.
Tatapan mata Lana tampak kosong, pikirannya melayang jauh. Gadis itu terus bungkam sepanjang perjalanan mereka, tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya.
Sampai akhirnya, Lana menoleh pada Dilla dan menggenggam jemari sahabatnya itu, mencari kekuatan dan dukungan.
"Dil..." panggil Lana lirih, suaranya bergetar.
"Hah, iya? Gimana, are you okay?" Dilla tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya, matanya menatap Lana dengan penuh perhatian.
"Makan ice cream yuk, aku yang traktir deh!" ajak Lana tiba-tiba, mencoba mengalihkan kesedihannya.
"Lah, tiba-tiba ice cream," gumam Dilla bingung.
...----------------...
tak bapak tak ibu sama aja dua duanya jahat sama anak sendiri