Menyukai seseorang itu bukan hal baru untuk Bagas, boleh dibilang ia adalah seorang playernya hati wanita dengan background yang mumpuni untuk menaklukan setiap lawan jenis dan bermain hati. Namun kenyataan lantas menamparnya, ia justru jatuh hati pada seorang keturunan ningrat yang penuh dengan aturan yang mengikat hidupnya. Hubungan itu tak bisa lebih pelik lagi ketika ia tau mereka terikat oleh status adik dan kakak.
Bagaimana nasib kisah cinta Bagas? apakah harus kandas atau justru ia yang memiliki jiwa pejuang akan terus mengejar Sasmita?
Spin off Bukan Citra Rasmi
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon sinta amalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hipertenlove~ Bab 24
Sasi dibuat celingukan saat melihat pagar rumah Asmi terbuka dan menampakan beberapa kendaraan yang terparkir padat di carportnya.
"Berasa rame, kang?" ucapnya yang diangguki Alva, "a Candra kayanya udah datang." tunjuk Alva sekilas dengan dagunya, bersamaan dengan ia yang menekan klakson demi kedatangan mang Eka berlari menyerbu carport, mengatur posisi parkir kendaraan agar mobil Sasi bisa masuk, "sebentar den!" teriaknya yang dibalas klakson sekali dari Alva.
Sasi mengangguk setuju ketika memutuskan untuk turun, melihat jenis dan plat nomor mobil itu, jelas itu adalah milik Candra yang itu artinya keluarga kecil kakak keduanya itu ada di sana kini.
Namun saat ia bergeser pandangan ke sampingnya, motor seseorang yang ia kenal ikut terparkir bersisian disana. Seketika, degupan jantungnya seakan bertambah kencang sekarang.
Tak bisa lebih kencang lagi saat seseorang itu muncul dari gawang pintu persis jelangkung dengan mulut yang penuh mengunyah makanan sambil menenteng kunci motor, maka satu hal yang ia sadari...Bagas pun ada disana saat ini.
Wajah yang tak Sasi pungkiri selalu ia rindukan kehadirannya, namun sepertinya untuk saat ini sampai ke depan....ia justru harus menghindari Bagas.
"Weheyyy, nak amih kesini...kata teh Asmi mau nginep disini, ya?" tanya Bagas memposisikan motornya lebih mepet lagi ke mobil a Candra agar Alva bisa memasukan mobilnya.
"Agak belakang, Gas...mepet sama motor gue aja." Intruksi Alva pada Bagas dengan melongokan kepalanya dari kaca, sementara Sasi sudah turun sebelumnya.
Ia diam di teras sejenak, memperhatikan Alva yang berusaha memarkirkan mobil bersama mang Eka yang memandu. Sementara Bagas sudah kembali. Pemuda itu ikut berdiri bersamanya, "aa ikut nginep jangan?" alisnya bermain naik dan turun demi pertanyaan yang menurut Sasi konyol itu dengan bahu yang menyenggol bahu Sasi.
Pertanyaan tengil itu sukses menyadarkan lamunan Sasi yang menghadiahinya dengan menonjok lengan Bagas keras tanpa berkata apapun untuk kemudian ia masuk.
Rupa-rupanya Bagas mengantar ibun Ganis yang ketika kedatangannya langsung memeluk bungsunya Kertawidjaja itu.
"Ibun..."
"Neng Sasi..."
Dilongokannya kepala ke arah halaman samping dimana Candra sedang menemani putrinya Dara, "udah atuh neng. Ayah mau ngopi sama mamang..." bujuknya pada sang putri, ingin pamit undur diri dan ngopi cakep sambil rokok-an bareng sesama pria meskipun itu hanya mamang-mamang, "sama ambu Lilis aja ya..."
Lain Ganis lain Candra yang menyarangkan jitakannya di kepala Sasi, tak pelak membuat Sasi mengaduh dan menatapnya sinis, "apa sih...lama-lama otak Sasi ancur dijitakin terus!"
Candra terkekeh, ini dia pengganti Asmi. Dan memang sejak dulu, si bungsu lah yang kerap menjadi mainan kakak-kakaknya itu.
"Udah bener kamu di rumah, temenin a Bajra sama teh Nawang...malah ikut-ikutan kesini. Disini tuh kumpulan orang asik semua..." cibir Candra yang justru mendapatkan decakan kesal dan kemarahan putrinya, "ihhh! Ayahhhh! Pegangnya yang bener!"
"Tuh dengerin tuan putri!"
"Orang asik lagi jadi kacung anaknya nih..." cibir Sasi balik melengos masuk lebih meninggalkan Candra bersama Dara di halaman samping.
Teh Katresna menggeleng tertawa, memang pertengkaran dan candaan sang suami dengan adik-adiknya selalu menjadi moment ramai di keluarga Kertawidjaja selain dari kekonyolan beberapa penghuninya.
"Mau digodain gimana juga lagi happy dia yank...soalnya bisa bebas dari amih sama keluarga kasepuhan malam ini..." ia ikut-ikutan menggoda meski selanjutnya Katresna kembali membuat wajahnya seperti anak kecil dan berbicara mengoceh ke arah Alit.
"Iya, aku pipis wawa?" tanya nya bermonolog pada si gemoy Alit sambil mencolek-colek pipi bulat bayi itu.
"Pipis terus ya, kasep? Dingin?" tanya nya lagi membuat siapapun ikut terkekeh, pasalnya orang dewasa manapun akan menjadi tak waras jika dihadapkan dengan bayi seperti ini.
"Bersenang-senanglah wahai kamu putri durjana, karena esok atau lusa, kamu akan menangis berda rah-da rah, hahaha!" Ucap a Candra bernada berat layaknya dalang pewayangan.
"Apa? Kenapa mesti nangis berda rah-da rah coba?!" tanya Sasi menantang, kini ia ikut duduk sejenak di karpet bergabung dengan Katresna dan Asmi, sementara Bagas cukup jadi tukang simak untuk saat ini sambil mainan ponsel meski posisinya pun tak jauh-jauh dari Sasi.
Bagas cukup dibuat diam, mengingat bukan kapasitasnya untuk berbicara saat ini. Hanya sesekali ia mencuri tatap sembari mendengarkan dengan seksama dan mencomot kembali rengginang dan opak gendar yang disediakan dalam toples. Rencananya sih makanan-makanan itu akan disajikan esok, saat syukuran Alit.
"Entah esok atau lusa, amih sama apih pasti udah siapin kamu masa depan, neng...entah itu sekolah, jodoh atau----" ujar Katresna dengan tetap menatap Alit dengan kegelian.
Ucapan itu praktis membuat Sasi dan Bagas menoleh bersamaan.
"Setubuhhh yank..." Candra sudah berhasil lolos dari putrinya dan kini duduk bergabung di ruang tengah dengan para penghuni lain, mengorbankan mang Eka dan ambu Lilis untuk bermain bersama Dara.
Plak!
Katresna menggeplak lengan suaminya atas ucapan tak senonohhh nya itu, sshhhh! Desisnya memberikan peringatan yang dibalas dengan senyum nyengir Candra lalu mencomot rengginang sebagai pengalih perhatian bersamaan dengan tangan Bagas ikut masuk kembali ke dalam bibir toples, "enak Gas, ranginangnya?"
"Enak a..." angguk Bagas.
"Hih...ngga mungkin..." tolak Sasi mentah-mentah, meski tak dipungkiri ia tak yakin dengan ucapannya, bahkan hatinya sudah dilingkupi rasa khawatir dan resah berkepanjangan sekarang.
Sungguh! Ia tak butuh bantuan apih dan amih untuk menentukan masa depannya, tak bisakah ia disamakan dengan kakak-kakaknya? What's wrong with anak bungsu?
Sasi melirik Asmi yang hanya menatapnya nyalang, bukan Asmi yang buka suara melainkan ibun Ganis "pasti atuh, bungsu...kadeudeuh...(kesayangan). Udah ampasnya, segalanya pasti dipupujuhkeun (disediakan/disiapkan segalanya) buat anak bungsu...kaya Bagas." Sambil membawa beberapa potong kue demi mengisi kekosongan meja, ibun duduk di dekat Sasi.
"Amih Sekar sempet cerita sih kemarin-kemarin, katanya beliau galau....neng bungsu satu ini udah ada yang minang...tapi beliau takut kejadian lalu terulang, trauma kaya Asmi katanya."
Bukan hanya Sasi yang terkejut atas pengakuan Ganis melainkan Asmi, Alva, juga Bagas.
"Terus ibun ngomong apa?" tanya Sasi dan Asmi bersamaan.
Mendadak suasana jadi hening, hanya terdengar suara Dara yang tertawa tawa bersama bi Lilis dan mang Eka saja dari luar.
"Ya jangan. Jangan gegabah..." lanjut Ganis.
"Ngga usah khawatir atuh neng, jangan jadi kepikiran gitu...nikmati aja hidup mah, kalau memang jodoh segimana pun dipaksain yakin ngga akan jadi..." Ganis menepuk dan mengusap punggungnya kemudian, "kaya Asmi, ya kan Mi?"
Kini Sasi menatap Bagas nyalang. Begitu pun Bagas yang menggeleng seolah memberikan keyakinan pada Sasi jika itu tak akan terjadi.
Udara seolah semakin panas di dalam, Sasi memilih keluar dari obrolan yang menurutnya semakin diikuti semakin membuatnya sesak. Meski harus dipusingkan dengan Dara yang memaksanya membuat gerakan tok-tok, namun setidaknya pikirannya dapat teralihkan.
Bagas yang merasakan hal itu, ikut menyusul gadis itu.
"Siap ya bi...yang ini ya?!"
"Oke. Pake filternya dulu..." jawab Sasi menscroll dan memilih kuping kelinci di sana hingga kini membuat dirinya dan Dara dihiasi kuping dan hidung kelinci. Namun dari layar ponsel tiba-tiba jumlah orang bertambah, "aa ikutan!" serunya membuat Sasi dan Dara menoleh ke arah samping lain dari Dara.
"Gimana ini teh?"
Dara cekikikan mana kala sosok tegap nan gagah dihiasi kuping dan hidung kelinci di layar.
"Om Bagas lucu!"
Sebentar mereka melakukan hal alay permintaan Dara, hingga tak lama Katresna memanggil gadis kecil itu untuk bersiap tidur meninggalkan Sasi dan Bagas berdua di samping.
Mendadak suasana yang biasanya hangat, ricuh, penuh perdebatan Sasi dan Bagas mendadak canggung.
"Kepikiran yang tadi?" tanya Bagas khawatir. Sasi yang semula tak memikirkan itu kini justru kembali memikirkan ucapan para orang dewasa di dalam sana akibat Bagas.
Namun Sasi menggeleng kencang mencoba menepis itu semua, netra beningnya menatap lurus tepat pada rimbunnya daun jeruk limau yang terbilang berpohon pendek diantara suasana malam bercahayakan lampu teras dan lampu taman redup.
Dedaunannya yang terlihat hijau nan subur jelas hasil perawatan mang Eka. Seandainya ia petik dan gosok, maka akan tercium bau wangi yang biasa ia cium pada aroma seblak.
Sasi ingat, pohon itu hasil stek mang Eka yang ia ambil indukannya dari rumah apih.
"Engga. Lagian kenapa mesti khawatir...ibun bilang, nikmati aja hidup...kalaupun memang udah jodohnya, mau ditolak segimana pun tetap akan jadi. Kaya kang Alva sama teh Asmi. Kurang gimana amih sama apih jodohin teteh sama den Agah, kurang gimana amih ngekang teteh...tapi tetep aja, kalo emang udah jodohnya sama akang, teteh tetep nikah sama kang Alva. Begitu pun masa depan, sekolah...Sasi yang menentukan." Jelasnya mantap.
Bagas mengangguk tersenyum, Sasi memang setangguh itu, seharusnya ia tak perlu khawatir Sasi akan *falling down*. Mungkin seharusnya kini ia mengkhawatirkan dirinya sendiri, jika sampai apa yang diucapkan oleh ibun, Candra dan Katresna itu benar lalu Sasi menerima itu. Tidakkah ia akan sangat kehilangan Sasi dan menyesal seumur hidup?
Dapat Sasi lihat dari ekor matanya jika Bagas tengah menatapnya lekat-lekat.
"Kalo a Bagas sama kamu, jodoh bukan?" senyum Bagas tersungging seolah sedang menggoda, dan kini Sasi menoleh padanya lalu mendekatkan wajahnya pada Bagas, ia menggeleng dan berucap lantang, "kayanya bukan. Anak sebaik Sasi ngga akan berjodoh sama playboy."
Bagas tertawa renyah, "a Bagas jomblo, Si." akuinya menerima kenyataan.
"Cih! Buaya...teh Salsa dianggap apa? Arca?!" tembaknya.
"Udah putus." akuinya lagi sukses membuat kedua alis Sasi terangkat, "serius?!"
Namun kemudian Sasi bergidik tak acuh, "udah ngga aneh. Abis ini pasti ada yang baru lagi...kebilang lama sih sama teh Salsa..."
Bagas tertawa, "itu tauuu!" serunya tergelak melihat delikan sinis Sasi, "mau cari yang baru lagi besok, yang lebih freshh!" jumawanya mendapatkan gelengan prihatin Sasi, "ngga waras..." desisnya dengan dengusan sumbang.
"Mau yang kaya kamu lah!" ujar Bagas mencolek hidung Sasi.
"Maksudnya?" tanya Sasi mendadak baper.
"Yang idungnya pesek!" Bagas memeletkan lidahnya yang dibalas dengan serbuan pukulan Sasi, "ihhh body shaming!"
"Aduhh..hahaha! Kan kalo lebih pesek lebih mahal, Si...lebih unik." ia masih tertawa-tawa padahal Sasi sudah memukulnya bertubi-tubi.
"Si alan! Sasi disamain sama kucing ih!" geramnya.
.
.
.
.
.
Kamu kemanaaaa....
ko' gak nongolllll.....
tp kasian jugaa ya
semangat mbksin bikin sasi vs amih membara yah! 😉
beugh, sasi masih sma udah terjal aja jalan hidupnya, masih dengan amih yang sama ternyata....