Sudah sepantasnya kalau seorang istri menuntut nafkah pada suaminya. Namun bagaimana jika si suami sendiri yang tidak ada keinginan untuk menunaikan kewajibannya dalam menafkahi keluarga? Inilah yang dialami Hanum Pratiwi, istri dari Faisal Damiri selama 5 tahun terakhir.
Hanum memiliki seorang putra bernama Krisna Permana, yang saat ini masih kuliah di Jurusan Informatika. Tentu saja Hanum masih memerlukan biaya yang cukup banyak untuk biaya pendidikan putranya, ditambah juga untuk biaya hidup mereka sehari-hari. Hanum harus memutar otak untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, bahkan seringkali meminjam kepada saudara dan teman-temannya. Beruntung sang anak bersedia membantu menitipkan kue di kantin, yang bisa dijadikan sumber income keluarga. Namun pendapatannya yang tak seberapa itu, hanya cukup untuk transport dan uang saku sang anak, kalaupun ada lebih untuk membeli beras.
Bagaimana Hanum bertahan dalam 5 tahun ini? Apakah kesulitan ini mengharuskannya menyerah? Lalu bagaimana
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ida Nuraeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 Mengenang Kebersamaan di Rumah Bekasi
Pengurusan jenazah Budhe Mardiah termasuk mudah dan cepat, karena jam 11:00 sudah selesai pemakaman. Para pelayat yang ikut mengantar ke pemakaman juga sudah kembali ke rumah duka untuk menikmati makan siang yang sudah disiapkan para tetangga. Sesuai keinginan Budhe Mardiah semasa masih sehat, beliau ingin diadakan tahlilan sampai 3 hari. Dan keluarga ingin memenuhi keinginan almarhumah, sehingga meminta kepada ketua DKM untuk membawa jamaahnya selama 3 malam berturut-turut. Saat sore hari tiba, dimana para pelayat sudah pulang dan tersisa anggota keluarga saja, mereka semua merasakan kehilangan yang sama. Begitu juga dengan Ibu dan adiknya Hanum yang memilih langsung pulang lagi jam 3 sore tadi. Kasihan juga dengan mereka itu, kemarin pulang dari Bekasi jam 2, dan baru sampai di Ciamis jam 7 malam. Pas dikabari sudah meninggal, jam 3 dinihari berangkat lagi ke Bekasi dan baru sampai jam 7 pagi. Beruntung Mulyo mengajak saudaranya yang biasa menjadi supir panggilan, sehingga bisa istirahat selama di perjalanan.
Setelah agak santai, Hanum memilih keluar rumah keliling di halaman. Begitu Hanum melihat ke halaman samping kanan, pohon buat Tin dan pohon Zaitun tampak melambai-lambai ditiup angin. Terbayang sosok Budhe yang lagi memegang selang air menyiram pohon kesayangannya. Di halaman samping kiri, pohon anggur merambat bercampur dengan pohon buah naga. Menatap halaman depan, deretan pot bunga Anggrek yang sedang bermekaran seolah ikut menghantar kepergian tuannya. Sungguh menyesakkan dada saat mengingat kebersamaan mereka ketika merawat tanaman.
Hanum yang sedang mengelilingi halaman rumah dipanggil Ipah, tetangga sekaligus teman ngobrol saat masih gadis dulu.
"Mbak Hanum, benar-benar Yan Mas Ony sama Ance nggak ngabarin kalau Ibu Mar sakit. Sempat tanda tanya sih, pas 2 hari yang lalu tiba-tiba pada ngumpul Mbak Lisa, Mbak Lola, Mbak Mayang. Kita fikir memang ada acara kumpul keluarga saja seperti waktu lebaran, nggak tahunya nungguin Ibu yang samit. Kita yang sebelahan tahunya pas diumumkan sudah meninggal." cerocos Ipah setengah ngomel.
"Alhamdulillah sakitnya Ibu juga nggak lama dan tidak menyusahkan sama sekali, jadi kita pun sempat kaget pas dikabarin. Terima kasih ya Pah, sudah bantu nemenin Ibu saat anaknya pada jauh." ucap Hanum mengabaikan omelan Ipah.
"Jadi jamuan nanti malam tahlilan bagaimana Mbak? Nggak masak-masak?" tanya Ipah lagi
"Nggak Pah, sudah pesan kue box buat yang datang. Untuk dihidangkan juga banyak makanan pemberian para tamu, insya Allah cukup." ujar Hanum.
"Ya sudah, nanti Ipah bantu menghidangkannya. Masakan yang tadi masih cukup untuk makan keluarga?"
"Insya Allah cukup, tinggal manasin saja nanti. Aku masuk dulu ya Pah, mau mandi" pamit Hanum.
"Iya mbak."
Begitu masuk ternyata yang lain sedang mengenang kebersamaan dengan almarhum Budhe.
"Nah biasanya kalau lagi kumpul begini, Ibu itu bikin rendang buat menu makan bersama." kata Mbak Dewi mengenang kebiasaan Budhe.
"Kalau aku bawa anak-anak, mesti Ibu tuh ngeluarin jajanan coklat Super Star sama permen Cha-cha." kenang Lola sambil tidur terlentang menatap langit-langit.
"Kalau Radit kesini, mesti teriakan yang terdengar. Awas Radit nanti jatuh, pelan-pelan larinya, bla... bla... bla.... Habis anakku yang paling heboh dan bikin khawatir Oma Opa nya." ujar Mayang sambil tersenyum.
"Berasa banget ya ada yang hilang di rumah ini. Meskipun belakangan ini jarang ngobrol banyak sama Ibu, tapi kehadirannya itu seolah melengkapi warna rumah ini." ujar Mbak Lisa ikut menambahkan.
"Yang paling berasa itu aku. Aku habis transfer uang jajan untuk Opa dan Oma, terus nelpon ngabarin. Yang jawab Opa. Besoknya Ibu nelpon sempat ngobrol agak lama." ujar Hanum membayangkan obrolan terakhir mereka.
"Nah sebetulnya waktu nelpon Teh Hanum itu, Ibu sudah mulai merasa lemas dan susah untuk bicara. Makanya pas nelpon Teteh,as Ony sama Ance sampai kaget bisa lancar ngobrolnya. Kita sudah senang deh, berarti Ibu sudah membaik. Eh ternyata setelahnya malah jatuh." ungkap Ance dengan wajah yang sedih.
"Sekarang tinggal doakan Ibu, ikhlaskan kepergiannya dan maafkan semua kesalahannya. Insya Allah Ibu Husnul khotimah. Aamiin" ujar Mas Reza yang ikut menyimak obrolan para wanita.
"Hayo cepat gantian mandi, biar bisa sholat Magrib berjamaah, terus nanti kita siap-siap acara tahlilan." perintah Pakdhe yang tampak baru selesai mandi. Wajahnya terlihat lebih segar dari siang tadi.
Akhirnya rombongan ini membubarkan diri, untuk membersihkan diri. Kebetulan di rumah Budhe itu 3 kamar mandi, jadi nggak harus mengantri lama untuk mandinya.
...🎀🎀🎀🎀🎀...
Acara tahlilan malam ke-3 sudah selesai, Alhamdulillah cukup banyak warga yang datang turut mendoakan Budhe. Budhe itu termasuk sesepuh, sehingga banyak dikenal warga. Apalagi kalau pas hari lebaran, banyak anak kecil yang mendatanginya padahal Budhe sendiri tidak kenal. Tapi itulah kenangan Budhe yang diingat para warga sekitarnya.
"Yah besok pagi rumah ini sepi lagi, tinggal kami bertiga saja" ujar Ance dengan nada sedih.
"Ya mau bagaimana lagi, jatah cutinya sudah habis, kita harus kembali jadi kuli." Kata Mas Reza sambil tertawa.
"Insya Allah, aku masih sering ke sini buat nengok Bapak. Pokoknya kalau ada apa-apa langsung kabari kita ya Ce!" pinta mbak Lisa.
"Iya Ce, kalau aku tergantung instruksi Mas Denny untuk berkunjungnya. Tapi insya Allah diusahakan lebih sering berkunjung setelah Mas Denny pulang. Sabar ya tunggu 3 bulan lagi." hibur Lola pada Ance.
"Huaaaa... Momen begini yang sulit lagi kita dapatkan. Aku jadi melow nih, ngebayangin kapan lagi bisa kumpul seperti sekarang" ucap Hanum sambil terisak mengingat momen kebersamaan mereka.
Akhirnya yang lain juga ketularan Hanum ikut menangis. Bertangisan dan berpelukan saling menguatkan menjadi kebiasaan mereka saat sedang bersedih. Setelah puas mengeluarkan ekspresi sedihnya,mereka saling bertatapan dan pecahlah tawa yang disertai air mata. Tawa ingat kekocakan mereka sendiri.
Malam itu mereka putuskan tidur bersama di ruang tengah dengan menggelar kasur lantai. Dan sukses membuat semuanya tertidur nyenyak menikmati dunia mimpi yang tercipta.
Paginya kesibukan sudah nampak sejak selesai sarapan. Ada yang merapihkan karpet-karpet dan menyusun kembali kursi tamu seperti semula. Ada yang menyusun kembali peralatan masak serta piring sajian yang dipakai selama beberapa hari lalu, ada juga yang mulai merapikan barang-barang bawaannya. Hanum dan Mas Reza yang pamit lebih dulu, karena tujuan mereka sama-sama ke Bandara Soetta. Meskipun jadwal penerbangannya sore, tapi daripada terjebak macet dan terlambat, lebih aman berangkat awal. Sedangkan Mbak Dewi masih menunda kepulangannya beberapa hari lagi bersama Mbak Lisa. Mereka berencana untuk menyortir dan membagikan barang-barang peninggalan Ibu. Kebersamaan selama 4 hari meskipun dalam suasana duka, cukup mempererat kekeluargaan mereka. Dan itu berhasil menghibur Pakdhe Bambang dari rasa kehilangan. Mungkin setelah semuanya kembali pada kesibukan masing-masing, baru rasa kehilangan itu terasa lagi. Selama ini apa-apa yang dikerjakan selalu berdua, jadi begitu satunya tidak ada akan sangat terasa.
Sampai di Bandara Hanum berpisah dengan Mas Reza, karena berbeda pintu keberangkatan. Beberapa hari ini fikiran Hanum cukup teralihkan dari keruwetan yang terjadi di keluarganya. Dan itu berhasil menciptakan positif feeling yang baru, meskipun dia akan bertemu lagi dengan permasalahan yang sama.
Bismillahi tawakkaltu alallah la haula wala quwwata illa billahil aliyil adzim"