Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2. Ide gila.
Aku tergeragap mendengar teguran itu. Lalu menoleh ke arah Arbian.
"Kamu benar. Inang jangan sampai tau kalau Gladys berada di sini. Kasihan dia." sahutku tak kalah dingin. Walaupun aku berusaha bersikap datar dan acuh. Namun, jauh dilubuk hati perih menyayat hati.
"Bagaimana caranya. Mama juga kan berada disini. Tidak mungkin menghindarinya." nada khawatir itu jelas terpatri hingga ke raut wajahnya. Arbi menatap terus ke arah Gladys, duduk.
"Yah, memang tidak mungkin. Kita kan sama-sama undangan disini. Semoga saja Inang bisa menjaga emosinya kalau melihat Gladys nanti."
"Atau perlu aku peringatkan dia."
" Buat apa. Adanya kamu malah menarik perhatian. Kamu juga harusnya bisa menjaga sikap.Jangan menatap terus ke arah sana. Kalau nggak samperin aja sekalian." dengusku. Karena duduk Arbian menjadi gelisah. Entah karena takut ketahuan sama Inang atau ingin mendekati Gladys.
Semoga saja dia bisa menahan diri jika tebakkan ku yang terakhir betul. Atau Ibu mertuaku juga tidak kumat bar-barnya saat melihat mantan pacar putranya juga berada di gedung ini.
"Eh, menantu Inang sudah datang. Kok gak menyapa Inang. Sudah pulih sakit perutnya?" tiba-tiba suara dari belakang datang menyapa.
"Eh, iya Inang sudah mendingan. Tadi liat Inang asyik ngobrol sama teman Inang." sahutku. Seraya menyalam ibu mertua dan memeluknya. Arbian juga melakukan hal yang sama.
"Oh, tadi Inang ngobrol sama istrinya pendeta. Ayo biar Inang kenalkan sama beliau." Wanita paruh baya yang nampak cantik dan anggun dengan balutan kebaya itu menarik lenganku.
"Aduh, nanti aja Inang. Sepertinya acara udah mau mulai." tolakku halus. Karena memang pembawa acara sudah mengucapkan salam pembuka dan pihak keluarga pengantin pria siap-siap menyambut kehadiran pihak keluarga pengantin perempuan.
Hari ini memang pesta pernikahan dari sepupu Arbian. Pesta adatnya dilaksanakan di sebuah gedung megah dengan dekorasinya yang mewah.
Acara pernikahan di gereja tadi pagi dilaksanakan. Tetapi aku tidak bisa hadir karena mendadak tamu bulananku hadir. Sepanjang pagi perutku mual terus dan melilit. Ibu mertua sampai mengira kalau sakit perutku karena ada hubungannya dengan kehamilan. Sehingga mengiyakan saja saat aku tidak bisa mengikuti prosesi pernikahan di gereja.
Andai saja beliau tahu kalau aku dan putranya belum pernah melakukan hal itu. Meski kami tidur satu kamar, tapi tidak pernah satu ranjang. Mungkin perang dunia ketiga akan terjadi dalam keluarga besar kami.
Aku dan Arbian sebelum menikah telah membuat perjanjian pra nikah, bahwa masing-masing dari kami tidak akan saling menuntut soal kewajiban yang satu itu. Tidak saling mencampuri urusan pribadi masing-masing. Tetapi dihadapan orang banyak terutama keluarga kami harus nampak mesra satu sama lain.
Setahun sudah berlalu pernikahan ini. Kami menjadi sepasang artis yang memerankan peranan dengan sangat piawainya. Terbukti tidak seorangpun yang curiga melihat akting kami.
Andai kami diikutkan dalam sebuah perlombaan, mungkin kamilah sang juaranya. Atas kesuksesan kami menjalankan pernikahan yang penuh kepura-puraan ini. Andai ada lima jempol jari, kami patut diacungi lima jempol itu.
Selama setahun ini, aku yakin Arbian tetap berhubungan dengan Gladys, secara diam-diam di depan publik. Terang-terangan kalau dihadapanku. Karena aku sering memergokinya menelepon atau tanpa sengaja melihat chat mereka. Ini sih karena aku kepo saat ada notifikasi masuk ke WhatShap Arbian.
Lantas terbuat dari apakah hatiku, sampai bisa bertahan hingga hari ini menjadi istrinya. Tepatnya hanya jadi istri pajangan. Orang mungkin melihat kami jadi pasangan yang paling bahagia atau romantis. Tapi menjadi paling dingin bila berada di kamar.
Apakah aku tidak pernah cemburu atau sakit hati? Tentu saja, perasaan itu kerap hadir dihatiku. Lantas sampai kapan aku bertahan dalam sandiwara ini. Apa yang aku perjuangkan sebenarnya. Kenapa aku mau menjalani pernikahan yang menyakitkan ini.
Sepertinya alasanku sangat bodoh. Di zaman yang sudah canggih ini mau-maunya aku menikah karena perjodohan. Aku mau menikah karena dia adalah pariban ku. Ibu mertuaku adalah saudara kandung dari bapak. Kami telah dijodohkan sejak kecil. Dan alasan kami dijodohkan karena Amangboru (mertua laki-laki ) pernah menyelamatkan hidupku, dari sebuah kecelakaan yang hampir merenggut nyawaku kala itu.
Hingga beliau menjadi cacat, kakinya menjadi pincang. Setelah aku dewasa Namboru memintaku untuk dinikahkan dengan Arbian karena tidak suka dengan Gladys. Cerita yang sempat aku dengar mereka malah sempat bertunangan meski hanya dipihak Gladys saja. Dan entah apa sebabnya Inang tidak menyukai Gladys dan menolak jadi menantunya.
Bapak setuju saja dan meminta kesedianku untuk menerima lamaran beliau. Bapak mengingatkan pengorbanan Amangboru dulu. Sehingga aku hanya pasrah dan mau menikahi Arbian.
Walaupun saat itu aku sudah memiliki seorang pacar. Dan aku sangat berharap kelak Robin lah pasangan hidupku. Tetapi tiga tahun pacaran tidak pernah sekalipun dia membicarakan kemana arah hubungan kami. Hingga akhirnya aku meragukannya. Ketika aku mengutarakan niat bapak pun yang hendak menjodohkan aku dengan Arbi, Robin tidak berusaha menahanku.
Aku sangat kecewa saat itu, sehingga aku memutuskan menerima perjodohan itu.
Seminggu sebelum hari H-nya, Arbian mengajakku kesuatu tempat. Ada hal penting yang harus kami bahas.
"Jangan terlalu banyak berharap dari pernikahan ini, Rania." ucapnya datar seraya melemparkan kerikil ke arah danau. Air danau beriak menciptakan gelombang.
"Maksudnya?" aku bingung dengan ucapan itu.
"Kamu tau jelaskan, pernikahan kita tanpa dasar cinta. Aku sudah bertunangan dengan seseorang. Dan ku dengar juga kamu sudah punya pacar. Jadi, saat menikah nanti kita tetap bebas dengan pasangan masing-masing."
Dadaku serasa dihantam palu godam mendengar ucapan itu. Begitu gamblangnya dia bicara. Hendak mempermainkan sebuah pernikahan yang terjalin saklar.
"Jika kamu memang tidak setuju, kenapa tidak menolak saja perjodohan ini. Jangan pernah mempermainkan janji suci pernikahan." ucapku sedikit sesak.
"Andai saja kamu tau usahaku menolak semua ini. Harusnya kamu juga menolak, bukannya menerima begitu saja." dia malah menyalahkan kesediaanku menikahinya.
"Aku hanya menuruti kemauan orang tuaku, baktiku sebagai seorang anak. Jika memang tidak setuju, batalkan saja perjodohan ini. Itu lebih baik daripada bersungut-sungut. Atau kamu ingin aku sendiri yang membatalkannya?" tantangku kesal karena sikapnya yang plin plan.
Calon suami macam apa yang berdiri dihadapanku ini. Tidak punya sikap tegas dalam menentukan masa depannya. Arbian menyugar kasar rambutnya. Wajah tampan itu nampak resah.
"Jika aku menolak sama saja dengan membunuh Mama. Mama memiliki riwayat sakit jantung." desahnya bingung.
"Lantas maumu apa? Menerima tidak menolak juga tidak. Apa kamu ingin pernikahan ini hanya sebuah sandiwara?" ucapku gusar.
"Nah, itu maksudku." seketika Arbi menjentikkan jarinya. Seolah dapat ide cemerlang dari ucapanku. ***
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor