Maelon Herlambang - Pria, 16 Tahun.
Dibesarkan di lapisan pertama, panti asuhan Gema Harapan, kota Teralis. Di sekeliling kota ditutupi banyak tembok besar untuk mencegah monster. Maelon dikhianati oleh teman yang dia lindungi, Alaya. Sekarang dia dibuang dari kota itu dan menjadi umpan monster, Apakah Maelon bisa bertahan hidup didunia yang brutal dan tidak mengenal ampun ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30: Pengalamannya Nyata
Kemudian mereka mulai berjalan—meninggalkan ladang yang mulai ramai oleh para petani, melewati pagar kayu yang rapuh, menuruni lereng kecil yang dipenuhi lumut dan akar-akar menggembur, lalu masuk ke hutan lebat yang tumbuh seperti luka yang tak sembuh di pinggiran desa.
Hutan itu sepi dengan cara yang aneh—bukan karena tak ada suara, tapi karena semua suara terasa salah tempat. Angin terlalu lambat. Burung terlalu sunyi. Udara terlalu dingin meski matahari sudah tinggi. Maelon bisa merasakan bagaimana tekanan samar kekuatan Doctrina menempel di udara, seperti bau darah yang terlalu lama mengering.
Daniel berhenti di antara pepohonan bengkok dan dahan patah. “Di sini mereka biasanya muncul. Para Lunatics. Mereka mencium kekuatan, seperti binatang lapar mencium bau daging. Kalian tidak perlu mencarinya. Mereka akan datang.”
Lalu ia melangkah mundur, menyandar pada pohon besar, dan menyilangkan tangan. Tak ada perlindungan. Tak ada aba-aba.
Hanya keheningan, dan ketegangan yang mencekam seolah bumi sendiri menahan napasnya.
Vivi berdiri lebih dekat pada Maelon. “Kalau aku… tak sengaja… menyerangmu,” katanya pelan, “maafkan aku.”
Maelon menoleh padanya dan tersenyum tipis. “Kalau aku yang lebih dulu gila, pastikan kau yang menghabisiku.”
Mereka tertawa kecil—bukan karena lucu, tapi karena itulah satu-satunya cara agar tidak gemetar saat dunia mulai membuka taringnya.
Lalu suara itu datang.
Patah ranting.
Desah napas kasar.
Langkah yang terlalu cepat untuk manusia biasa.
Dari balik kabut lembab dan semak gelap, bayangan pertama muncul—mata putih melotot, tubuh penuh bekas luka yang menyala samar, dan mulut yang terus berkomat-kamit meski tak ada kata-kata yang keluar.
Lunatics.
Dan pertarungan pertama mereka pun dimulai.
Lunatic itu maju dari balik rerimbunan—langkahnya tidak seperti manusia, melainkan seperti sesuatu yang pernah menjadi manusia dan lupa caranya berjalan. Seluruh tubuhnya dililit bayangan yang berdenyut seperti makhluk hidup, menjulur liar, menebar aura kehancuran. Bekas luka lama tampak menganga di tubuhnya, dan matanya… mata itu sudah tidak punya arah. Ia adalah sisa dari pengguna Umbraweave, tingkat satu, yang telah kehilangan kendali dan menjadi wadah bagi bayangan yang tak bisa dikendalikan lagi.
Daniel mengangkat tangan, memberi isyarat. “Lakukan.”
Maelon melangkah maju, diikuti Vivi yang berjalan lebih lambat namun tenang. Mereka sudah tahu kali ini bukan latihan. Ini adalah pertarungan nyata—dan darah harus tumpah. Maelon tak menunjukkan ragu. Ia sudah pernah membunuh Lunatic sebelumnya, dan tahu bahwa rasa kasihan tidak memiliki tempat dalam dunia seperti ini. Vivi, di sisi lain, masih baru… tapi dari sorot matanya, ketegangan itu sudah digantikan oleh sesuatu yang lain—kesadaran.
Bayangan menyapu seperti cambuk liar, menghantam tanah dan mencabik udara. Maelon bergerak duluan, melompat ke kiri, lalu ke kanan, lalu menebas tombaknya ke arah salah satu akar bayangan yang menjulur. Aetheron menyembur dari ujung senjata itu, membakar kegelapan dalam cahaya menyilaukan. Lunatic itu mengerang—suara parau yang terdengar seperti napas rusak dari dunia lain.
Vivi berdiri beberapa langkah di belakang. Saat bayangan mengarah padanya, dia tak melawan. Hanya membuka telapak tangannya dan mengarahkannya ke depan. Energi Nullis meledak sekejap seperti retakan tak kasatmata di udara, dan bayangan itu langsung menguap. Kosong. Hening. Hilang.
“Sekarang!” teriak Daniel dari jauh, tapi Maelon sudah tahu.
Ia meluncur dari sisi kanan, mengaktifkan Aetheron secara penuh di kedua tangan. Cahaya itu menyelubungi tubuhnya seperti nyala yang tak membakar. Dengan satu lompatan panjang, ia mendarat tepat di hadapan Lunatic itu dan menusukkan tombaknya lurus ke dada makhluk tersebut. Dentuman sunyi menyebar, dan tubuh Lunatic itu kejang sejenak… lalu diam.
Bayangannya meronta sekali, sebelum hancur perlahan menjadi serpihan debu hitam. Lunatic itu ambruk, tubuhnya kini hanya daging yang mati, tak lebih dari sisa-sisa kehendak yang kehilangan tempat berpijak. Tak ada darah. Hanya napas yang tak lagi ada.
Vivi mendekat, dan Daniel pun berjalan menyusul. Maelon jongkok tanpa berkata-kata, memasukkan tangannya ke dalam dada makhluk itu—ke arah rongga jantung yang masih hangat. Tangannya menyentuh sesuatu yang keras, dan menariknya keluar. Batu bulat kecil, kelam dengan semburat ungu kelabu. Inti jiwa Doctrina. Masih utuh.
“Umbraweave,” gumam Daniel. “Masih bagus. Ini akan berguna.”
Vivi memperhatikannya dalam diam, lalu menoleh ke arah Maelon. “Jadi ini… tujuan dari pemburuan?”
Maelon tak menjawab langsung. Ia menatap batu itu sesaat, lalu menyelipkannya ke dalam kantong kecil yang digantung di pinggangnya.
Daniel menjawab untuknya. “Mereka yang kalah akan menjadi bahan bakar bagi yang bertahan. Dunia ini tidak peduli siapa kau sebelumnya, hanya apa yang bisa kau berikan setelah mati.”
Mereka tidak bicara banyak setelah itu. Ketiganya berjalan kembali menyusuri jalan hutan dengan langkah lambat, tubuh Lunatic itu ditinggal membusuk di antara akar dan rumput. Matahari mulai berdiri, dan bayangan pepohonan tampak lebih tegap dari sebelumnya, seolah dunia ingin mengingatkan: kegelapan belum selesai. Tapi Maelon dan Vivi kini tahu sedikit lebih banyak tentang dunia tempat mereka berpijak. Dan mereka tahu, tidak ada waktu untuk mundur.
Langit telah condong ke barat saat mereka melangkah perlahan di antara batang-batang tua pohon hutan luar desa. Cahaya surya tersisa hanya berpendar tipis melalui celah dedaunan, menciptakan pantulan samar di tanah lembab yang diinjak Maelon dan Vivi. Suasana menjadi berat, bukan karena kelelahan semata, tetapi karena ketegangan aneh yang merayap dari arah timur—seolah udara pun sedang menahan napas, menanti sesuatu yang akan muncul dari kegelapan.
Lalu, tanah bergetar.
Tidak besar, namun cukup untuk membuat ranting-ranting kering bergemeretak di tanah. Dari balik bayangan pohon, sosok pertama muncul—lunatics bertubuh besar, berkulit batu retak, dengan mata yang bersinar seperti bara. Itu adalah pengguna Terraclysm, tingkat dua. Di belakangnya, dua sosok lain menyusul: satu berbadan lentur, kabur, aura emosional tak menentu memancar dari tubuhnya—pengguna Vitravale tingkat satu. Yang terakhir tampak seperti siluet logam hidup, dengan tangan-tangan tajam dan derik mekanik mengganggu, membawa aura Ferravox yang kasar dan menusuk.
Vivi tanpa suara menarik belati pendek miliknya—bukan senjata istimewa, tapi telah menyatu dengan tubuh dan kehendaknya. Tatapannya fokus, tenang, bukan tanpa rasa takut, tapi dipenuhi pemahaman akan peran yang kini ia emban. Maelon, di sisi lain, menajamkan napasnya. Aetheron bergetar perlahan di bawah kulitnya, kekuatan murni yang baru saja tumbuh, belum stabil namun lapar akan pengalaman nyata.
Daniel tetap berada beberapa langkah di belakang, berdiri tenang, hanya mengawasi. Tangannya diam di belakang punggung, tidak menunjukkan niat untuk ikut serta. Ini adalah ujian, dan ia tahu mereka harus merasakannya sepenuhnya—rasa sakit, takut, dan juga kemenangan.
Pertempuran pecah.
Lunatics Terraclysm menghentakkan kakinya, menciptakan retakan di tanah yang menyebar ke arah Maelon dan Vivi. Maelon berlari ke depan, menerobos retakan yang mendekat dengan lompatan sempit, lalu melepaskan gelombang Aetheron dari tombaknya—cahaya biru menyambar ke arah kepala musuh, tapi hanya menimbulkan luka kecil. Tubuh batu itu terlalu keras. Ferravox menyerang dari samping, tangan logamnya membelah udara, namun Vivi bergerak cepat, membelokkan arah serangannya dengan medan Nullis yang samar—seperti distorsi tipis yang memaksa logam menyimpang dari jalur.
Maelon membelokkan tubuh, lalu menyerang balik. Dengan dukungan Vivi, tiap serangannya jadi lebih presisi. Nullis-nya melemahkan efek pertahanan lunatics, mengganggu medan Doctrina mereka cukup lama untuk memberi celah. Vitravale mencoba memasuki pikiran mereka, melemparkan gambaran-gambaran palsu: suara jeritan, wajah yang berubah, hutan yang seolah menjadi lautan darah. Tapi Maelon telah pernah disiksa oleh kenyataan yang lebih pahit daripada ilusi. Ia menutup matanya sejenak, memusatkan diri, lalu meledakkan aura Aetheron dalam denyut besar, memecah lapisan ilusi di sekeliling mereka.
Vivi menusuk dengan cepat, belatinya menghantam celah sendi lunatics Ferravox, membuatnya jatuh dengan letupan kecil. Bersama, mereka mengeroyok Terraclysm terakhir, saling menukar peran—serang, mundur, lemahkan, hantam. Sampai akhirnya tubuh raksasa itu ambruk dengan dentuman berat.