Dewasa🌶🌶🌶
"Apa? Pacaran sama Om? Nggak mau, ah! Aku sukanya sama anak Om, bukan bapaknya!"
—Violet Diyanara Shantika—
"Kalau kamu pacaran sama saya, kamu bakalan bisa dapetin anak saya juga, plus semua harta yang saya miliki,"
—William Alexander Grayson—
*
*
Niat hati kasih air jampi-jampi biar anaknya kepelet, eh malah bapaknya yang mepet!
Begitulah nasib Violet, mahasiswi yang jatuh cinta diam-diam pada Evander William Grayson, sang kakak tingkat ganteng nan populer. Setelah bertahun-tahun cintanya tak berbalas, Violet memutuskan mengambil jalan pintas, yaitu dengan membeli air jampi-jampi dari internet!
Sialnya, bukan Evan yang meminum air itu, melainkan malah bapaknya, William, si duda hot yang kaya raya!
Kini William tak hanya tergila-gila pada Violet, tapi juga ngotot menjadikannya pacar!
Violet pun dihadapkan dengan dua pilihan: Tetap berusaha mengejar cinta Evan, atau menyerah pada pesona sang duda hot?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HANA ADACHI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Gadis Aneh
Beberapa Jam Sebelumnya.
Di dalam kantor megah GS Marketing and Co., William Alexander Grayson duduk di kursi kebesarannya dengan wajah lelah. Ia memijit pelipisnya, mencoba mengusir sakit kepala yang muncul karena stres.
Sebagai CEO GS Marketing and Co., William mengelola salah satu perusahaan periklanan terbesar di negeri ini. Perusahaannya menangani berbagai kampanye iklan besar, mulai dari produk kecantikan, elektronik, makanan, hingga layanan jasa. Hampir setiap iklan di televisi nasional, bahkan yang sekarang viral di media sosial, pasti ada campur tangan GS Marketing di dalamnya.
Dengan jaringan klien yang luas, perusahaannya berpengaruh besar dalam dunia periklanan. Banyak brand berlomba-lomba menggunakan jasa mereka karena strategi pemasaran mereka dikenal efektif.
Namun, hari ini, perusahaannya justru sedang diguncang masalah besar.
Salah satu klien besar mereka, sebuah perusahaan kosmetik ternama, mengancam akan membawa kasus ini ke ranah hukum. Mereka menuntut ganti rugi karena produk mereka mengalami penurunan penjualan drastis setelah iklan dari GS Marketing tayang.
Padahal, William tahu bukan iklannya yang salah.
Kesalahan ada pada bintang iklan merek, seorang artis terkenal yang baru saja tersandung skandal besar. Publik membenci artis itu, dan otomatis semua produk yang ia promosikan ikut diboikot.
Tapi, alih-alih menuntut si artis, perusahaan kosmetik ini malah menyalahkan GS Marketing.
"Pihak mereka tetap bersikeras, Pak," kata sekretarisnya dengan hati-hati. "Mereka bilang akan membawa ini ke pengadilan jika kita tidak mengganti rugi."
William menghela napas panjang.
Ia sebenarnya malas berurusan dengan hukum, terutama di negara ini. Jika ingin menang di pengadilan, ia harus menggelontorkan uang dalam jumlah besar. Bahkan jika dihitung-hitung, biaya peradilan jauh lebih mahal daripada jumlah ganti rugi yang mereka minta.
"Kita negosiasi ulang," putus William akhirnya. "Kalau perlu, ancam. Pastikan mereka tau kalau perusahaan kita bukan perusahaan yang gampang diancam dan dipermainkan."
"Baik Pak," Sekretarisnya mengangguk dan segera keluar ruangan.
William membuka laci mejanya dan mengeluarkan sebatang rokok.
Ia sebenarnya bukan perokok berat. Sebagai pria yang gila kesehatan, ia jarang menyentuh nikotin. Tapi di saat-saat stres seperti ini, sesekali ia butuh sesuatu untuk melepaskan tekanan.
Baru saja ia mengembuskan asap pertama, ponselnya berdering.
Mantan istri.
William mengerutkan kening. Apa lagi sekarang? Biasanya, kalau dia menelepon, itu hanya berarti satu hal, yaitu minta uang.Tapi bukankah baru kemarin William mentransfer uang dengan jumlah yang besar?
"Halo?" William mengangkat telepon dengan malas.
"Aku besok pergi ke Singapura selama seminggu. Bawa Evan ke rumahmu untuk sementara." Kata mantan istrinya tanpa basa-basi.
William menghela napas. "Bukankah Evan sudah dewasa? Dia bisa mengurus dirinya sendiri."
"Jadi kau mau lepas tanggung jawab dari anakmu sendiri?"
"Astaga, bukan begitu, aku hanya—"
Tut!
Telepon langsung diputus.
William mendengus kesal.
Sebenarnya, bukannya William menolak menjaga putra tunggalnya itu. Hanya saja, belakangan ini dia sendiri hampir tidak pernah ada di rumah. Lagipula, usia Evan sudah 21 tahun. Masa iya, masih perlu diawasi seperti anak kecil?
Tapi, ya… begitulah mantan istrinya.
Dengan perasaan setengah jengkel, William akhirnya mematikan rokoknya, meraih kunci mobilnya, dan memutuskan untuk jalan-jalan sebentar.
...----------------...
Mobil hitam mewah milik William melaju memasuki area parkir kampus Evan. Saat melihat putranya berjalan santai sambil sibuk dengan ponselnya, William langsung menekan klakson.
Tiiin!
Evan terperanjat. Saat melihat siapa yang datang, matanya melebar.
"Papa?! Kok bisa ada di sini?"
William keluar dari mobilnya sambil menghela napas panjang. "Mama kamu barusan telepon, katanya dia pergi ke Singapura seminggu, jadi papa disuruh menjaga kamu," jelasnya.
Evan langsung tertawa. "Astaga, menjaga aku? Pa, aku ini udah 21 tahun! Aku bisa mengurus diriku sendiri!"
"Kamu nggak tahu aja sifat mamamu gimana," balas William sambil melipat tangan di dada. "Ayo, papa bawa kamu makan siang."
Evan hanya terkekeh, lalu melihat ke arah mobilnya sendiri. "Oh, tunggu sebentar. Aku cari temanku dulu buat bawain mobilku pulang. Papa tunggu di sini ya. Oh, dan ini, tolong pegang tasku." Evan menyerahkan ranselnya ke William sebelum pergi.
William hanya mendengus kecil, menerima tas itu dengan satu tangan.
Sambil menunggu, William bersandar santai pada mobilnya, mengamati lingkungan kampus. Namun, tak lama kemudian, tenggorokannya terasa kering. Ini adalah salah satu efek buruk merokok yang membuatnya tidak menyukainya.
William mengerutkan dahi sebentar, lalu membuka tas Evan. Ia ingat putranya punya kebiasaan membawa botol minum sejak kecil. Dan benar saja, ada satu di dalam ransel itu.
Tanpa pikir panjang, William membuka ransel itu dan mengeluarkan botol minum.
Baru saja ia menuangkan isinya ke mulut—
"JANGAAAN!!"
Terlambat.
William hanya mengabaikan suara itu, mengira itu hanya teriakan seorang mahasiswi. Ia tetap menenggak air dari botol itu beberapa kali.
Baru setelahnya, ia menyadari sesuatu yang aneh.
Dari sudut matanya, seorang gadis berlari ke arahnya dengan panik.
Dan dalam hitungan detik—
Bruk!
Gadis itu menerjangnya, membuat William jatuh dengan keras ke aspal.
"Aw…!" William mengerang kesakitan. Punggungnya menghantam permukaan kasar, membuat rasa nyeri menjalar di tubuhnya.
Saat ia membuka mata, wajah seorang gadis cantik sudah tepat di atasnya.
"APA-APAAN KAMU?!" bentaknya.
Gadis itu tampak gugup. Mulutnya terbuka seperti ingin menjelaskan sesuatu, tapi sebelum ia sempat berbicara—
Buak!
Kepalanya menghantam hidung William dengan keras.
William tak sempat berpikir. Rasa nyeri luar biasa menyerang wajahnya, lalu—
Gelap.
...----------------...
“Ya Tuhan… Hamba mohon, buat Om ini amnesia, ya Tuhan…”
Perlahan, kesadaran William kembali. Samar-samar, ia mendengar suara lirih seseorang yang seperti sedang berdoa.
Dahi William berkerut. Suara siapa ini?
Saat membuka mata, William melihat gadis yang tadi menubruknya berdiri di samping ranjang rumah sakit, kedua tangannya terkatup erat. Wajahnya terlihat sungguh-sungguh saat berdoa.
Kurang ajar, bisa-bisanya dia mendoakan hal buruk padaku?!
William langsung bangkit dengan ekspresi marah. “Siapa yang kamu doakan supaya amnesia, hah?!”
Gadis itu tersentak, wajahnya berubah pucat pasi saat menatap William.
William menggeram. “Saya akan bawa ini ke jalur hukum!”
Mata gadis itu membesar. Ia langsung mendekat dengan ekspresi memelas. “Om, please! Jangan penjarain saya, Om! Saya beneran nggak sengaja, sumpah!”
“Nggak sengaja apanya?! Saya ingat jelas kamu menerjang saya dan ngebenturin kepala kamu ke hidung saya dengan sengaja! Kalau hidung saya patah, gimana?!”
“Tapi kan hidung Om nggak patah…” gumam gadis itu pelan.
“Masih berani jawab?!”
“Eh… nggak, nggak, Om,” buru-buru gadis itu menggeleng. “Beneran, Om, saya nggak bermaksud begitu. Waktu itu saya belum tahu kalau Om adalah papanya Kak Evan. Saya cuma khawatir Om mau nyolong minuman Kak Evan…”
William melotot. “ASTAGA! Jadi ini semua cuma gara-gara itu? Lagian, Evan sendiri yang kasih tasnya ke saya! Buat apa juga saya nyolong tas anak saya sendiri!”
“Iya sih, tapi… itu bukan minuman biasa, Om…” Gumam gadis itu lirih.
Mata William menyipit curiga. “Maksud kamu?”
“Eh, nggak kok om! Nggak ada apa-apa…” gadis itu buru-buru mengalihkan ucapan saat sadar dirinya sedang keceplosan.
“Halah, saya denger tadi kamu ngomong apa! Jawab! Kamu kasih apa ke minuman anak saya? Kamu mau ngeracunin dia?!”
“Apa?! Nggak lah, Om! Gila apa?!”
William menyilangkan tangan. “Kalau kamu nggak jawab, saya telepon polisi sekarang juga!”
Wajah gadis itu berubah panik. “Jangan, Om! Saya jawab! Saya jawab!”
William menatapnya tajam. “Nah, gitu. Sekarang, kasih tahu saya…”
Gadis itu menggigit bibirnya ragu, lalu akhirnya berbisik, “Itu… air jampi-jampi, Om…”
“Hah? Apa?”
Gadis itu menarik napas dalam dan akhirnya berkata lebih keras, “AIR JAMPI-JAMPI, OM! BIAR ANAK OM SUKA SAMA SAYA!”
William terdiam.
“Hah?”
Sebelumnya, author mau ngucapin selamat menunaikan ibadah puasa bagi para pembaca yang muslim 🥰🙏
Terus.. untuk menjaga kekhusyukan para pembaca dalam beribadah, mulai besok bab selanjutnya akan update setelah buka puasa. Jadi tenang aja, meskipun ada adegan plus plusnya, ga akan bikin batal 🤭
Terimakasih atas perhatian nya...
Dukung terus karya ini dengan kasih like, komen, gift, subscribe, dan lain-lain.
Terimakasih! ❤