Demi menghindari perjodohan, Cakra nekat kabur ke sebuah vila- milik keluarga sahabatnya yang terletak di daerah pelosok Bandung.
Namun, takdir malah mempertemukannya dengan seorang gadis dengan kondisi tubuh yang tidak sempurna bernama Hanum.
Terdesak karena keberadaannya yang sudah diketahui, Cakra pun meminta pada Hanum untuk menikah dengannya, supaya orang tuanya tak ada alasan lagi untuk terus memaksa menjodohkannya.
Hanum sendiri hanyalah seorang gadis yatim piatu yang sangat membutuhkan sosok seorang pelindung. Maka, Hanum tidak bisa menolak saat pria itu menawarkan sebuah pernikahan dan berjanji akan mencintainya.
Lalu, apa yang akan Cakra lakukan saat ia mengetahui bahwa perempuan yang akan di jodohkan dengannya itu adalah sosok yang ia cintai di masa lalu?
Lantas bagaimana nasib Hanum kedepannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tinta Hitam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hanum Nurhaliza
Deru mesin motor yang terdengar berhenti- mengalihkan perhatian seorang satpam yang sedang berjaga.
Dilihatnya seorang gadis yang tengah turun dari motor dengan di bantu oleh si pria yang sepertinya tukang ojek dengan sedikit kesusahan.
"Hati-hati neng, ini kruk nya," tukang ojek itu membantu meletakkan dua alat bantu jalan di antara kedua ketiak si gadis.
"Makasih ya mang. Ini ongkosnya." gadis itu tersenyum tulus sembari mengulurkan uang pecahan dua puluh ribu yang sudah dilipat.
"Siap, neng. Makasih ya. Kalo gitu mamang duluan."
"Iya mang, makasih sekali lagi." yang di iyakan oleh si tukang ojek itu, lalu menaiki motornya dan melajukan kembali meninggalkan si gadis yang kini berdiri di hadapan sebuah vila mewah.
Satpam yang sedari tadi memperhatikan langsung menghampiri gadis tersebut dengan tersenyum ramah. "Neng Hanum? Gimana kabarnya? Kakinya udah baikan?" tanyanya sambil mengotak-atik gembok lalu mendorong gerbang yang menjulang tinggi tersebut.
"Assalamualaikum mang Ujang. Alhamdulillah udah gak sakit lagi." jawab si gadis sembari menyalimi satpam setangah baya tersebut dengan sopan.
"Eh iya wa'alaikumsalam.." pak satpam terkekeh.
Hanum Nurhaliza, namanya. Usianya 19 tahun, dan orang-orang biasa memanggilnya Hanum.
"Ayo masuk, Bu Ningsih udah kangen banget kayaknya sama neng, nanyain mulu sama bapak selama Eneng gak ada." jelas pak Ujang.
Hanum tertawa kecil mendengarnya. Padahal selama tidak masuk bekerja selama satu Minggu, Bu Ningsih- selaku pengurus kepercayaan pemilik vila tersebut selalu menghubunginya lewat telepon.
"Padahal kita telponan mulu, pak." kekeh Hanum.
"Kayak gak tau aja Bu Ningsih kek gimana, Num."
Keduanya pun berjalan menuju vila. Pak Ujang membantu memapah Hanum agar tidak terlalu kesusahan berjalan dengan satu kakinya itu.
Ya, Hanum hanya memiliki satu kaki- sekarang. Akibat kecelakaan 3 tahun lalu, kaki kiri Hanum terpaksa harus di amputasi sampai paha karena terputus oleh body mobil yang menajam- yang mana disaat kejadian, bagian kiri mobil yang di tumpangi nya di seruduk oleh truk pengangkut BBM yang mengalami rem blong.
Tak hanya kehilangan satu kakinya, akibat kecelakaan itu pula Hanum juga harus kehilangan ayah, ibu, serta adik perempuan satu-satunya. Peristiwa na'as saat itu sudah mengambil orang-orang yang Hanum sayangi.
Dan sekarang, Hanum hanya tinggal sendiri, tak ada keluarga yang bisa ia jadikan tempat pulang. Paman dan bibinya kabur entah kemana setelah mengambil semua tabungan orang tuanya yang berjumlah sangat banyak, sangat cukup untuk keberlangsungan hidup Hanum sampai dewasa nanti- jika masih ada.
Namun sayang, semuanya sudah raib di bawa kabur oleh adik serta adik ipar ayahnya. Untung saja rumah yang orang tuanya tinggalkan tidak di ambil juga. Dan itu masih baik, daripada Hanum tidak punya rumah sama sekali. Soal uang masih bisa Hanum cari walaupun keadaannya sekarang seperti ini.
Kembali saat ini.
Sesampainya di teras, pintu vila sudah dibuka terlebih dahulu oleh seseorang sebelum sempat pak Ujang membukanya.
"Assalamualaikum Bu." Hanum tersenyum sumringah saat melihat orang itu yang tak lain adalah Bu Ningsih, lantas menyalimi Bu Ningsih dengan segera.
"Wa'alaikumsalam, Hanum? Ya Allah, nak, ibu kangen banget. Gimana kabarnya? Kakinya udah sembuh belum? Ayo ayo masuk dulu," Bu Ningsih refleks memeluk Hanum cepat, lalu melepasnya dan mengajaknya masuk.
"Saya balik ke pos ya, Bu." ucap pak Ujang yang merasa harus kembali ke tempat.
Sontak Bu Ningsih dan Hanum memutar kepala, "eh, Jang, gak mau ngopi dulu?"
"Nanti aja Bu agak siangan."
"Oh ya udah. Selamat bekerja ya." yang di anggukki oleh pak Ujang, kemudian berlalu kembali ke pos.
Sedangkan Bu Ningsih kembali memapah Hanum menuju ruang tengah dan membantu mendudukkan-nya di sofa. "Bentar ya, ibu ambilkan minum dulu. Kamu pasti haus."
"Eh gak usah Bu, Hanum bukan tamu, nanti Hanum ambil sendiri aja." larangnya segera menahan tangan Bu Ningsih yang hendak pergi.
"Gapapa, cuman air kok, kamu jangan banyak jalan dulu." ujar Bu Ningsih tersenyum keibuan sambil mengelus punggung tangan Hanum dengan sayang. "Ibu tinggal dulu ya."
Hanum akhirnya mengangguk saja, memperhatikan Bu Ningsih yang berlalu pergi ke dapur.
Setelah tak terlihat, fokus Hanum tertuju pada pajangan-pajangan mewah yang tertata dengan begitu rapih.
Walaupun Hanum sudah bekerja selama satu tahun di vila ini, tetap saja Hanum selalu terpukau ketika melihat pajangan-pajangan disini.
Tentu tak terlewat juga dari pandangan Hanum foto-foto pemilik vila yang tersusun rapi di dinding bersama anggota keluarganya.
Mengenai pemilik vila, Hanum juga baru mengenal wajah-wajah mereka dari foto-foto itu. Untuk bertemu secara langsung, Hanum belum pernah selama ia bekerja di sini. Karena keluarga pemilik tempat ini sangat sibuk dan jarang sekali berkunjung.
"Di minum dulu," kedatangan Bu Ningsih mengalihkan perhatian Hanum dari foto-foto itu. Lantas Bu Ningsih mengulurkan gelas yang berisi jus jeruk.
"Iya Bu, makasih ya. Hanum minum," Hanum tersenyum seraya menerimanya. Lalu meneguknya beberapa kali.
"Gimana kaki kamu? Masih sakit?" Bu Ningsih melirik punggung kaki Hanum yang masih di balut perban.
Satu Minggu lalu Hanum tak sengaja menginjak pecahan gelas yang jatuh karena tersenggol oleh dirinya sendiri di meja makan. Akibatnya telapak kakinya berdarah lumayan banyak karena lukanya cukup lebar. Bu Ningsih pun akhirnya memaksa Hanum untuk libur dulu, dan Hanum hanya bisa mengiyakan karena menolak pun tidak di tanggapi.
"Udah gak sakit kok, Bu. Cuman Hanum belum berani buka perbannya kalo pergi kemana-mana."
"Mmm iya, tapi itu perban baru kan?" tanyanya, padahal sudah terlihat jelas perban nya masih putih bersih.
"Iya Bu, udah di ganti sebelum kesini."
Bu Ningsih mengangguk saja sebagai respon. "Padahal mah, kamu gak usah kerja dulu. Istirahat dulu aja beberapa hari lagi." katanya. Padahal sejujurnya ia sudah sangat merindukan gadis tersebut yang sudah ia anggap seperti putrinya sendiri.
"Gapapa Bu. Lagian Hanum bosen kalo gak ngapa-ngapain. Mending Hanum kerja aja, lagian kerjaan Hanum cuman bersih-bersih doang."
"Ya udah, terserah kamu aja, Num. Tapi nanti kalo telapak kaki kamu sakit lagi, ngomong aja ya. Jangan dipaksain kerja." titahnya khas seorang ibu yang sedang menasehati anaknya.
"Iya Bu. Hanum pasti ngomong." angguk Hanum seraya tertawa kecil. "Sekarang Hanum harus ngerjain apa, Bu?" tanyanya menyapu ruangan ini yang terlihat sudah bersih.
"Kamu lap lap aja pajangan-pajangan di sana. Gak usah nyapu sama pel, soalnya udah beres sama ibu."
Hanum terperangah, "lah, kok udah Bu? Itu kan tugas Hanum."
"Gapapa, lagian- eh ibu belum ngasih tau ya!?" Bu Ningsih baru teringat akan sesuatu dan lupa memberi tahu Hanum soal itu.
"Ada apa Bu?"
"Itu, Num. Besok katanya den Iyan mau kesini sama temennya. Kamu tau kan den Iyan?"
Sesaat Hanum terkejut, jantungnya tiba-tiba berdegup sedikit cepat. Bukan karena apa, Hanum rasanya hanya belum siap saja bertemu dengan pemilik vila ini. Apalagi majikan muda yang biasa Bu Ningsih panggil den Iyan itu, kata pak Ujang orangnya galak.
"Kenapa Num?" tanya Bu Ningsih melihat Hanum malah terdiam.
Lantas Hanum tersadar dari pikirannya. "Ah engga, Bu. Cuman terkejut aja. Iya, Hanum tau kok."
Entah kenapa Bu Ningsih malah senyum-senyum tidak jelas melihat perilaku Hanum. Dan Hanum yang menyadari tatapan aneh Bu Ningsih langsung terheran-heran. " Kenapa Bu?"
"Ngomong-ngomong den Iyan ganteng, ya, Num." celetuk Bu Ningsih, membuat Hanum tersedak ludahnya sendiri.
"Ya iya Bu, di foto kan den Iyan emang ganteng." respon Hanum biasa saja.
"Gak tertarik gitu? Dilihat-lihat kamu cocok juga sama den Iyan." celetuk nya lagi seraya tertawa kecil.
Lagi, Hanum tersedak ludahnya sendiri. Lantas ia meraih gelas dan meminumnya untuk melegakan tenggorokannya yang terasa mengganjal. Sedangkan Bu Ningsih masih tertawa, merasa lucu melihat wajah Hanum yang sudah memerah.
"Ibu jangan aneh-aneh deh. Lagian den Iyan itu majikannya Hanum. Gak cocok banget!" kilah nya.
Sejujurnya, Hanum memang sedikit memiliki rasa ketertarikan terhadap tuan muda pemilik vila ini walaupun baru melihat rupanya dari foto. Tapi hanya sedikit, tidak lebih dari itu. Lagian Hanum tahu diri juga, pria mana yang mau menerimanya dalam keadaan cacat seperti ini. Hanya dalam mimpi, mungkin?
"Loh, kata siapa gak cocok? Kamu cantik, den Iyan ganteng. Kalian bakal serasi kalo jadi pasangan."
"Buuuu..." Hanum merajuk. Dan Bu Ningsih pun memilih berhenti menggodanya lagi masih dengan tawa kecilnya.
"Maaf maaf, ibu cuma becanda kok." kekeh nya. Sedangkan Hanum masih cemberut. Bukan karena kesal tapi malu lebih tepatnya.
"Kalo gitu Hanum mau langsung bersih-bersih ya Bu. Makasih minumnya. Biar nanti Hanum sendiri yang cuci gelas kotornya."
"Gak usah, biar ibu aja."
"Bu.."
Bu Ningsih memilih mengangguk. "Ya udah terserah kamu aja. Kalo gitu ibu juga mau ke belakang ya, masih ada rumput liar yang harus ibu cabut." ujarnya. "Kalo kamu bosen, susul ibu aja kesana ya. Tapi hati-hati jalannya."
Hanum hanya mengangguk seraya tersenyum sebagai tanggapan. Lantas Bu Ningsih berlalu meninggalkan Hanum- yang juga sudah bersiap untuk mulai bekerja.
"Semangat Hanum! Masa depan kamu masih panjang! Jadi jangan pernah mengeluh apapun keadaan kamu saat ini." ucap Hanum semangat sembari mengacungkan kepalan tangan kanannya menyemangati dirinya sendiri. Tanpa menyadari Bu Ningsih tengah melihatnya dari balik dinding sembari tersenyum tulus khas seorang ibu.
"Ibu harap kamu segera menemukan seseorang yang mau menerima keadaan kamu apa adanya, Num." harapnya lirih.