Murni, seorang biarawati yang sedang cuti karena ingin menyembuhkan jiwa setelah terganggu mimpi-mimpi buruk yang terus berdatangan, menerima pesan aneh di ponselnya -suara paniknya sendiri yang membuatnya penasaran. Ia mengikuti petunjuk yang membawanya ke sebuah warung makan tua yang hanya buka saat malam.
Di warung itu ia bertemu dengan Mahanta, seorang juru masak pendiam yang misterius. Namun warung itu bukan warung biasa. Pelanggannya adalah jiwa-jiwa yang belum bisa pergi, dan menu makanannya bisa menenangkan roh atau mengirimnya ke dalam kegelapan. Murni perlahan terseret dalam dunia antara hidup dan mati. Ia mulai melihat masa lalu yang bukan miliknya. Meskipun Mahanta tampaknya menyimpan rahasia gelap tentang siapa dirinya dan siapa Murni sesungguhnya, pria itu bungkam. Sampai cinta yang semestinya dilarang oleh langit dan neraka merayap hadir dan mengungkapkan segalanya.
L'oubli (B. Perancis): keadaan tidak menyadari atau tidak sadar akan apa yang sedang terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Season 1 ; Bab 26 - Tertangkap Basah
Kegelapan memeluk dunia di luar. Tetapi cahaya kuning hangat menyelimuti warung di dalam.
Suasana sangat hening, tidak ada suara apa pun. Bahkan tidak ada desis uap yang biasanya datang dari dapur. Itu benar-benar sunyi, seolah Murni mendadak kehilangan kemampuan pendengaran.
Jika dipikirkan, seharusnya Murni takut, tetapi anehnya tidak. Fajar hampir tiba, kepalanya menyuruhnya segera angkat kaki. Tetapi mengapa hatinya sangat berat?
Bahkan… kini ia merasa tidak ingin kembali ke biara.
Benarkah yang dikatakan Mahanta bahwa ia telah menjadi bagian dari warung ini? Itukah sebabnya ia tidak merasa asing?
Mahanta.
Ketika nama itu melintas di kepalanya, ia seolah diingatkan, bahwa lelaki itu sama sekali tidak tampak malam ini.
Ke mana dia?
Apakah dia menghindarinya? Tidak ingin menemuinya?
Pikiran-pikiran negatif mulai menguasai pikiran Murni.
Tiba-tiba ia merasa takut. Bukan takut akan tempat ini. Melainkan…
Takut jika ia tidak melihat laki-laki itu lagi.
Dan ia mulai menyesali waktu satu minggu yang dihabiskan penuh perjuangan, toh ternyata semua tidak ada hasilnya, sia-sia.
Apakah Mahanta tahu ia berusaha menahan diri, menghindar, melupakan, sehingga malam ini laki-laki itu sengaja tidak muncul?
Bukankah tadi dia menyalakan lilin satu demi satu? Tetapi ketika Murni masuk, dia sama sekali tidak bersedia menemuinya?
Murni merasa ingin menangis, matanya terasa panas, dan napasnya mulai tersengal-sengal. Mengapa dadanya terasa sangat sesak?
Ia memutuskan untuk tetap di sini, menunggu kemunculan Mahanta hingga detik terakhir.
Murni mencondongkan tubuh, merebahkan kepala di meja, membayangkan Mahanta mondar-mandir di dapur.
Tanpa disadari bibirnya tersenyum. Bahkan hanya membayangkannya saja, telah membuatnya bahagia. Kegelisahannya terkikis, matanya mulai terasa berat, dan akhirnya…
Murni benar-benar terlelap di meja.
Tetapi antara kantuk dan terjaga, ia merasa seolah ada sebuah tangan dingin menyentuh pipinya yang hangat.
Seketika Murni tersentak. Kantuknya lenyap.
“Mahanta!” Ia berseru.
Namun… tidak ada siapa-siapa.
Mungkin ia begitu merindukan lelaki itu, sehingga bahkan dalam tidur, ia menginginkan kehadirannya.
Murni mengembuskan napas. Sedih, kecewa, segala rasa yang ia tahu tak boleh dimiliki, kini membungkus hatinya.
“Apakah kau benar-benar tidak ingin bertemu denganku lagi?” Ia berbisik lirih.
Tidak ada yang menjawab.
“Aku…”
‘Merindukanmu,’ lanjutnya dalam hati, tidak berani membiarkan kata itu terlontar dari bibirnya.
Dengan lemas, ia bangkit dari kursi, lalu melangkah gontai ke pintu.
Tapi ia tahu, entah esok, entah lusa, entah beberapa hari lagi, ia pasti kembali.
—
Murni membuka gerbang biara dengan sangat hati-hati. Sudah menjelang jam empat, semoga Theresia masih mendengkur.
Perlahan, menjaga agar pintu kamar terbuka tanpa suara, Murni menekan pegangan pintu. Untungnya pintu itu rajin diminyaki, sehingga bisa terbuka dengan lancar.
Namun, betapa terkejutnya Murni ketika melihat Theresia dan Suster Maria berdiri di tengah kamar, sedang berbicara panik. Keduanya sama-sama mengenakan piama.
Sangat jelas, bahwa Theresia mendapati tempat tidur Murni kosong, mungkin dia mengira Murni pergi ke kamar mandi untuk buang air kecil, tetapi ketika Murni tidak kembali, dia mungkin menyusulnya, atau mencarinya di mana-mana tanpa hasil, dan setelah itu melapor pada Suster Maria.
Ketika Murni masuk melongokkan kepala, kedua wanita itu serentak menoleh ke pintu.
Ketiganya sama-sama bengong, sebelum Suster Maria menyadari bahwa Murni mengenakan jeans dan kemeja.
Artinya, ia baru saja pergi ke luar biara.
Tertangkap basah, Murni hanya bisa tersenyum kikuk, dengan suara gemetar menyapa. “Pagi… Suster. Mengapa ada di sini?”
“Mengapa?” Suster Maria mengerutkan kening. “Bukankah seharusnya aku yang tanya, kau dari mana? Ini bukan waktu yang umum untuk bepergian.”
Murni menelan ludah. “Aku… tidak bisa tidur, jadi… mencari angin.”
“Benarkah?” Mata Suster Maria penuh selidik. Jelas dia tidak percaya.
Tetapi Suster Maria adalah orang yang bijak, sehingga dia tidak ‘menghakimi’ Murni di depan Theresia.
“Ya sudah, kau istirahat dulu. Sebentar lagi sudah harus bersiap-siap untuk misa pagi.”
“Baik, Suster. Terima kasih.” Murni tertunduk, merasa bersalah.
Di dekatnya, Suster Maria berhenti dan berbisik. “Setelah misa, aku ingin bicara padamu.”
Lalu biarawati senior itu ke luar kamar.
“Jangan tanya,” Murni berkata pada Theresia sebelum gadis itu membuka mulut. Dan Theresia terpaksa meneguk kembali kata-katanya.
Murni sadar sepenuhnya. Sepertinya, kali ini ia tak bisa lagi berkelit. Suster Maria pasti mendesaknya, dan jika menurut penilaian Kepala Biara itu hatinya sudah tidak bulat, dia pasti melapor ke Kongregasi. Dan sangat mungkin, Kongregasi akan memintanya untuk memutuskan.
Ia telah diberi kesempatan untuk mempertimbangkan selama tiga bulan, jika masih bimbang, apakah masih da gunanya dilanjutkan?
Tabu bagi seorang biarawati untuk membaktikan diri setengah hati.
---
Selesai misa, Murni duduk di ruangan Kepala Biara.
Ruangan itu selalu membuatnya gugup. Tetapi hari ini, ada ketegangan lain. Murni meremas kedua tangannya yang diletakkan di pangkuan. Menunggu petir menyambar.
Suster Maria belum juga bicara, membiarkan kebisuan semakin memanjang, dan kepala Murni tertunduk semakin dalam. Tangannya bahkan sudah berkeringat karena gugup.
“Hh…” Suster Maria menghela napas. “Sebenarnya… sudah lama aku memperhatikanmu. Kau tampak… bagaimana mengatakannya… seperti tidak berjiwa.”
Deg.
Dada Murni seolah ditohok. Mungkin itu sebuah analisis yang tepat. Terlalu tepat. Mata Suster Maria memang tajam.
“Sejak kau datang di saat masih cuti, dan berkata ingin mencari literatur tentang obituari, aku sudah merasa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu.”
Murni masih membisu.
“Kau terlihat gelisah, sering melamun, dan tidak seyakin sebelumnya. Sebenarnya ada apa, Murni? Apakah kau bersedia untuk menceritakan apa yang mengganggumu?”
“Aku hanya... “ Murni menelan ludah susah payah, “Butuh ruang, Suster.”
“Tiga bulan cuti tidak memberimu ruang?”
Murni tidak tahu harus menjawab apa.
“Murni…” Suster Maria memanggilnya lembut, “Angkat kepalamu.”
Murni mengangkat kepala dengan patuh, Suster Maria menatapnya lama, sebelum kemudian menjatuhkan gelegar petir itu.
“Apakah kau masih merasa terpanggil?”
Pertanyaan itu menusuk tepat ke jantung Murni.
Setelah terdiam beberapa jenak, ia menjawab pelan, hampir tidak bersuara. “Aku tidak tahu.”
kesedihan ,bebannya pindah ke murni ?
🤔
apakah jiwa nya blm kembali ke asal
masih gentayangan
tapi kebanyakan semakin di larang semakin penasaran