Airilia hidup dalam keterbatasan bersama ibunya, Sumi, yang bekerja sebagai buruh cuci. Ayahnya meninggal sejak ia berusia satu minggu. Ia memiliki kakak bernama Aluna, seorang mahasiswa di Banjar.
Suatu hari, Airilia terkejut mengetahui ibunya menderita kanker darah. Bingung mencari uang untuk biaya pengobatan, ia pergi ke Banjar menemui Aluna. Namun, bukannya membantu, Aluna justru mengungkap rahasia mengejutkan—Airilia bukan adik kandungnya.
"Kamu anak dari perempuan yang merebut ayahku!" ujar Aluna dingin.
Ia menuntut Airilia membiayai pengobatan Sumi sebagai balas budi, meninggalkan Airilia dalam keterpurukan dan kebingungan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irla26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31. pembantu
Suara alarm dari ponsel Reza membangunkan Aluna dan Reza dari tidur mereka. Reza buru-buru bangun dan langsung masuk ke kamar mandi.
"Mas, kenapa sih kamu nyetel alarm jam enam pagi? Aku masih ngantuk, tau nggak?" keluh Aluna sambil meraih ponsel Reza yang masih berbunyi dan segera mematikannya.
Tak lama kemudian, Reza keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah. Sambil mengeringkan wajahnya dengan handuk, ia segera mengenakan baju dan celana yang tergantung di balik pintu.
"Maaf, aku harus cepat pulang. Jam tujuh pagi aku harus sudah ada di rumah," ucap Reza terburu-buru.
Aluna yang masih setengah mengantuk duduk di tepi ranjang. Matanya melirik ke luar jendela, melihat tukang sayur keliling yang sedang melayani beberapa ibu-ibu di depan rumah.
"Mas, aku minta uang dong buat belanja sayuran," pintanya sambil menguap kecil.
Reza merogoh sakunya dan mengeluarkan beberapa lembar uang, lalu meletakkannya di atas meja rias. "Aku cuma punya segini, nggak papa, kan?"
Aluna mengambil uang itu tanpa banyak protes. "Iya, nggak papa."
Reza tersenyum, lalu menghampiri Aluna dan mengecup keningnya. "Sayang, aku pulang dulu, ya."
Setelah Reza pergi, Aluna berdiri di depan cermin, memperhatikan pantulan dirinya. Meskipun belum mandi, ia merasa dirinya tetap cantik. Hari ini, ia bertekad menjalankan rencananya untuk lebih akrab dengan para tetangga.
Ketika ia keluar rumah dan menghampiri tukang sayur, beberapa pasang mata langsung tertuju padanya. Para ibu-ibu yang sedang memilih belanjaan tampak memperhatikannya dengan penuh rasa ingin tahu.
"Kamu penghuni rumah nomor 26 itu, ya?" tanya seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun yang mengenakan daster bermotif bunga.
"Iya, saya baru saja pindah ikut suami karena suami saya kerja di sini," jawab Aluna ramah sambil memilih sayuran.
"Namanya siapa, Neng?" tanya seorang perempuan lainnya di sampingnya.
"Nama saya Aluna," sahutnya dengan senyum manis.
"Cantik seperti namanya," celetuk Pak Mamat, si tukang sayur keliling.
Salah satu ibu-ibu langsung menimpali, "Eh, ingat istri dan anak di rumah, Pak. Nggak bisa lihat yang bening dikit."
Pak Mamat hanya tertawa kecil. "Saya cuma memuji, siapa tahu setelah ini Neng Aluna jadi pelanggan tetap."
Aluna hanya tersenyum kecil, tidak tahu harus merespons apa.
Tiba-tiba, seorang wanita berhenti sejenak di dekat tukang sayur. "Mbak Mila, mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya salah satu ibu-ibu.
"Ini, saya mau ke rumah Mbak Dinda. Katanya saya disuruh jadi tukang masak di sana," jawab wanita bernama Mila itu.
"Alhamdulillah, dapat pekerjaan baru," sahut seorang ibu lainnya.
"Iya, kebetulan Mbak Dinda sedang hamil, jadi dia minta saya memasak untuknya selama kehamilannya," ujar Mila sebelum melanjutkan perjalanannya.
Aluna hanya diam, tapi rasa penasarannya terusik. Siapa sebenarnya Dinda? Dan kenapa ia perlu menyewa juru masak?
"Dia siapa, Mbak?" tanya Aluna kepada seorang ibu di dekatnya.
"Oh, wanita tadi namanya Mbak Mila. Rumahnya di ujung sana," jawab ibu bernama Darti sambil menunjuk sebuah arah.
"Mbak Mila kerja, emangnya suaminya ke mana?"
"Dia janda, punya anak satu. Tapi anaknya itu suka judi. Kasihan, semua peninggalan suaminya habis dijual anaknya, makanya sekarang dia harus kerja sendiri," jelas Darti.
Aluna mengangguk kecil, memasukkan tahu ke dalam kantong plastiknya.
"Mang, tolong hitung belanjaan saya," ujar Darti menyerahkan kantong belanjaannya ke Pak Mamat.
"Semuanya jadi lima puluh ribu," jawab Pak Mamat sambil menerima uang dari Darti.
"Neng Aluna, saya duluan, ya," ucap Darti ramah sebelum pergi membawa belanjaannya.
Setelah Darti pergi, Aluna menyerahkan kantong belanjaannya kepada Pak Mamat.
"Mang, saya berapa semuanya?" tanyanya.
Pak Mamat menghitung sejenak. "Semuanya tiga puluh ribu."
Aluna menyerahkan selembar uang biru dan menerima kembaliannya.
"Terima kasih, Neng. Semoga jadi pelanggan tetap saya."
Aluna mengangguk dan tersenyum sebelum beranjak pulang.
---
Setelah sarapan pagi, Rakha bersiap-siap untuk berangkat ke kantor, begitu pula dengan Reza.
Saat melihat suaminya mengenakan kemeja, Andira membuka percakapan.
"Mas, boleh aku bertanya sesuatu?" tanyanya sambil duduk di tepi ranjang.
Rakha menoleh sambil merapikan dasinya. "Boleh, memangnya mau tanya apa?"
"Kemarin aku dapat notifikasi transfer. Kamu kirim uang sepuluh juta ke Reza? Buat apa?"
Rakha terdiam sejenak sebelum menjawab, "Oh, itu... Reza katanya minjam uang. Sebagai ipar yang baik, jadi aku pinjamkan deh."
Andira menghela napas panjang, lalu menatap suaminya dengan ekspresi serius. "Mas, lain kali kalau Reza atau siapa pun minjam uang, kamu harus izin sama aku dulu. Kita sudah jadi suami istri, jadi kalau ada masalah, apalagi soal uang, kamu harus diskusi dulu sama aku."
Rakha menatap istrinya dengan rasa bersalah. "Maaf, sayang."
Ia mendekati Andira dan mencubit pipinya dengan gemas. "Tapi kamu janji nggak akan mengulangi lagi?" Andira menatapnya tajam.
Rakha tersenyum, mencoba mencairkan suasana. "Iya, sayangku. Jangan marah, ya, nanti cantiknya hilang loh."
Andira tetap memasang wajah serius, tapi akhirnya tersenyum kecil.
"Ya udah, cepat berangkat. Nanti kamu terlambat," ujarnya sambil melipat tangan di dada.
"Siap, Ratu," jawab Rakha sambil memberi hormat dengan gaya bercanda.
Andira tertawa melihat tingkah suaminya. Saat mereka keluar kamar, Rehan—anak mereka—sudah menunggu di ruang tamu.
"Ayah, ayah mau berangkat sekarang?" tanyanya.
"Iya, Nak. Kamu mau ikut?"
"Iya, Yah. Aku mau ke supermarket sekalian."
"Oke, mumpung searah," ujar Rakha sambil membuka pintu mobil.
"Mama, ada yang mau dibeli?" tanya Rehan kepada Andira.
Andira menggeleng. "Nggak ada. Hati-hati di jalan, ya."
Rakha tersenyum dan mengedipkan mata. "Siap, Ratu!"
Andira hanya tersenyum kecil sambil menggelengkan kepala melihat tingkah suaminya.
Bersambung...