Karena latar belakang Shazia, hubungan nya bersama Emran tak direstui oleh orang tua Emran. Tapi adiknya Emran, Shaka, diam-diam jatuh hati pada Shazia.
Suatu hari sebuah fakta terungkap siapa sebenarnya Shazia.
Dengan penyesalan yang amat sangat, orang tua Emran berusaha keras mendekatkan Emran dan Shazia kembali tapi dalam kondisi yang sudah berbeda. Emran sudah menikah dengan wanita pilihan orang tuanya sekaligus teman kerja Shazia. Dan Shaka yang tak pernah pantang menyerah terus berusaha mengambil hati Shazia.
Apakah Shazia akan kembali pada pria yang dicintainya, Emran atau memilih menerima Shaka meski tak cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Annami Shavian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anak haram
Shazia kembali ke rumah ustad Ramlan selepas kepergian Shaka. Ia celingukan mencari keberadaan Emran. Barangkali Emran sudah keluar dari kamar ibunya.
Shazia kemudian menghampiri salah satu sepupu Emran saat ia tak menemukan keberadaan Emran. Sepupu Emran tersebut mengatakan jika Emran belum keluar dari kamar ibunya sejak tadi. Itu artinya, Emran tak keluar kamar ibunya selama ia menyusul Shaka.
"Apa sakitnya umi Nuria sakit yang serius?" Shazia membatin khawatir.
Shazia lalu bergegas mendatangi kamar orang tua Emran untuk memastikan kondisi umi Nuria secara langsung.
Kedatangan Shazia berpapasan dengan keluarnya bi Iyem dari balik pintu kamar calon mertuanya tersebut.
"Eh, mba Shazia." Bi Iyem menyapa Shazia dan tersenyum.
Shazia membalas sapaan bi Iyem dengan senyuman hangat.
"Gimana keadaan umi, bi?" Tanya Shazia.
"Umi masih kurang sehat, mba. Den Emran meminta bibi untuk membuatkan wedang jahe."
Shazia terdiam berpikir.
"Bibi tinggal dulu ya, mba !'
"Eeh...sebentar, bi." Shazia menahan bi Iyem yang hendak pergi.
"Ada apa ya, mba?"
"Biar saya saja yang membuat wedang jahe nya, bi." Shazia menawarkan diri setelah berpikir. Mungkin dengan membawakan wedang jahe, akan mengurangi rasa canggungnya saat bertemu dengan umi Nuria nanti pikir Shazia.
"Tapi_"
"Enggak apa-apa, bi. Saya sudah biasa membuat nya kok. Dan inshaallah rasanya enggak akan ngecewain umi." Shazia tersenyum.
"Oo gitu ya, mba. Yowis lah. Kalau gitu bibi mau lanjut nyetrika aja."
Bi Iyem berlalu setelah dipersilahkan oleh Shazia.
"Umi...."
Umi Nuria yang tengah diam membisu melirik pada Emran tanpa bicara. Pikiran nya masih berkecamuk memikirkan tentang hak Shaka yang tak pernah diberikan pada anak itu selama dua tahun ini.
Tadi hampir saja terbongkar. Ia pun tak menyangka Shaka akan bicara demikian. Meminta suaminya untuk bertanya langsung padanya. Karena selama ini anak itu tak pernah protes atau pun mengadu jika tak pernah mendapatkan hak nya.
"Apa Emran boleh tanya sesuatu sama umi?" Emran duduk di tepi ranjang sembari memijit pelan kaki umi Nuria yang selonjoran.
Umi Nuria masih enggan bicara. Hanya telinganya saja yang siap mendengar pertanyaan Emran.
"Ini soal yang dikatakan sama paman Hamid tadi, umi."
Emran menghela nafas sebelum ia lanjut bicara.
"Umi. A-apa benar rumah ini didirikan di atas tanah milik ibunya Shaka ?"
Perkataan pamannya, Hamid, terus menerus membayangi pikiran Emran. Ia lantas ingin memastikan dan bertanya langsung pada sang ibu. Karena ia yakin ibunya pasti tahu sesuatu.
Deg. Belum reda rasa keterkejutannya atas kejadian tadi, kini umi Nuria dikejutkan lagi oleh pertanyaan Emran.
"Umi..." Emran bersuara lagi, karena ibunya belum kunjung menjawab.
Umi Nuria yang bingung hanya menatap diam Emran seraya otaknya berpikir. Namun karena otaknya menyimpan beban masalah lain, ia pun tak mampu berpikir jernih.
"Kamu tanyakan saja pada Abi mu, nak."
Mendengar itu, Emran perlahan melepas tangannya dari kaki umi Nuria, dan mengubah posisi duduknya memunggungi umi Nuria. Ia mengusap wajahnya dengan perasaan gelisah.
Jika sang ibu memintanya bertanya pada sang ayah, itu artinya memang benar jika tanah ini milik ibunya Shaka dan otomatis akan diwariskan pada anak itu.
Emran menyugar rambutnya. Jika iya, maka adiknya yang urakan itu akan semakin sok berkuasa. Dan dia pasti akan menggunakan kekuasaan nya untuk merebut Shazia darinya. Karena ia merasa Shaka itu seperti penuh minat pada Shazia jika di perhatikan dari caranya menatap Shazia.
"Enggak. Itu enggak akan ku biarkan terjadi !!" ucap Emran tanpa sadar.
Kening umi Nuria mengernyit mendengar gumaman Emran.
"Kamu kenapa, nak?"
Emran langsung melihat pada wajah umi Nuria.
"Emran ingin segera menikahi Shazia, umi. Kalau perlu minggu ini juga kita akan menikah." Emran berbicara dengan menggebu-gebu.
"Kamu ini kenapa, nak? Kenapa tiba-tiba ingin cepat menikah? Apa kamu pikir menikah itu gampang?"
"Gampang kok umi. Pernikahan kita enggak perlu mewah. Cukup ijab kabul aja. Emran juga yakin, Shazia enggak akan meminta mahar yang macem-macem."
"Terus gimana dengan orang tua nya? Apa mereka setuju kalau kalian menikah dengan acara yang sederhana?"
"Ibu Shazia orang biasa, Umi. Dia pasti setuju-setuju aja."
"Lalu gimana dengan ayah nya?"
Emran terdiam. Untuk soal yang satu ini ia kebingungan bagaimana caranya menjelaskan pada sang ibu.
Tapi walau bagaimana pun ia harus tetap memberitahu ibunya dari awal, agar kedepan nya tak menjadi beban buat Shazia. Semoga ibunya bisa mengerti dan menerima keadaan Shazia.
"Sebenarnya Shazia itu......enggak punya ayah, umi," ucap Emran dengan perasaan ragu juga takut.
"Ma-maksud mu?"
Umi Nuria menegakkan posisi duduknya, dan menatap Emran dengan tatapan mewanti-wanti. Jangan katakan wanita yang hendak putera nya nikahi itu lahir dari rahim seorang wanita pezina.
Emran menarik nafas panjang sebelum kembali menjelaskan pada ibunya.
"Shazia enggak punya ayah, dan dia juga enggak tahu siapa ayahnya dan dimana keberadaan nya. Shazia hanya ber-nasab pada ibunya."
"Apa !!!!!" Suara Nuria terdengar memekik dengan mata melotot besar pada Emran.
Emran menunduk lesu. Melihat reaksi sang ibu, ia sudah paham jika ibunya tak akan setuju jika ia menikahi Shazia, wanita yang sangat dicintainya.
"Emran mohon, umi. Tolong terima Shazia dan restui hubungan kami. Emran sangat mencintai Shazia, begitu pun dengan Shazia. Kami saling mencintai."
Umi Nuria geleng-geleng diikuti dengan air mata yang mengaliri pipinya. Air mata orang tua yang kecewa terhadap anaknya. Bagaimana mungkin putra nya yang ia banggakan ini akan menikahi wanita yang tak jelas asal usulnya, lahir dari wanita seorang pezina.
"Enggak," tegas umi Nuria.
Emran mengangkat wajahnya, menatap sang ibu dengan tatapan sendu.
"Sampai mati pun, umi enggak akan pernah merestui kamu menikahi anak haram yang lahir dari rahim seorang perempuan pezina, Emran !!!" teriak umi Nuria dengan dada kembang kempis.
Prang
Anak haram !!! Di depan pintu, Shazia mematung. Matanya berkaca-kaca. Dadanya bagai ditusuk-tusuk ribuan jarum. Begitu nyeuri. Nyeuri sekali. Sehina itu kah ia di mata seorang umi Nuria? hanya karena ia lahir tanpa seorang ayah, ibunda Emran tega mengatainya anak haram.
Emran dan umi Nuria menoleh serempak ke arah pintu yang tak sepenuhnya tertutup.
"Shazia !!!" Emran segera bangkit dengan perasaan sangat takut. Ia takut sekali yang mendengar pembicaraan nya dan ibunya adalah Shazia.
Ya Allah......Emran segera berlari ke luar. Di depan pintu, ia mematung saat menemukan beling-beling dan cairan berserakan di lantai. Tak hanya itu, Emran pun menemukan tetesan darah berceceran.
Shazia !!!!!!