Gus Zidan, anak pemilik pesantren, hidup dalam bayang-bayang harapan orang tuanya untuk menikah dengan Maya, wanita yang sudah dijodohkan sejak lama. Namun, hatinya mulai terpaut pada Zahra, seorang santriwati cantik dan pintar yang baru saja bergabung di pesantren. Meskipun Zidan merasa terikat oleh tradisi dan kewajiban, perasaan yang tumbuh untuk Zahra sulit dibendung. Di tengah situasi yang rumit, Zidan harus memilih antara mengikuti takdir yang sudah digariskan atau mengejar cinta yang datang dengan cara tak terduga.
Yuk ikuti cerita selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23: Menapak Jejak Baru
Hari-hari setelah pernikahan mereka berlalu dengan cepat. Meski penuh dengan kesibukan, Zahra dan Zidan selalu menyempatkan diri untuk menikmati momen kebersamaan yang sederhana namun penuh makna. Rumah kecil mereka, meski tak mewah, terasa sangat nyaman. Di sana, mereka berdua mulai menapaki jalan kehidupan yang baru, menata harapan, dan merajut impian bersama.
Pagi itu, Zahra duduk di meja makan sambil menatap secangkir teh hangat yang terhidang di depannya. Zidan, yang baru saja pulang dari pesantren, duduk di sebelahnya, sambil mengelap tangan dengan handuk kecil.
“Gus, bisa antarkan saya belanja ke pasar nanti?” tanya Zahra sambil tersenyum. Mereka masih terlihat canggung satu sama lain, namun tak secanggung biasanya.
Zidan mengangguk, “Tentu, Zahra. Tapi setelah shalat Dzuhur, ya. Kita juga harus belanja beberapa bulanan sepertinya.”
Zahra mengangguk, tahu bahwa meskipun suaminya selalu tampak sibuk dengan pekerjaannya, Zidan selalu berusaha menyisihkan waktu untuk mereka berdua. Itulah salah satu alasan kenapa ia merasa yakin menjadikan Zidan sebagai pasangan hidup. Kepribadiannya yang tegas namun penuh perhatian, membuatnya merasa aman dan dihargai.
Tak lama, mereka berdua menuju pasar. Meski terlihat biasa saja, perjalanan ke pasar itu menjadi momen berharga bagi mereka. Mereka tertawa bersama ketika memilih bahan makanan, saling berbicara tentang impian dan rencana masa depan. Zidan yang biasanya serius dengan pekerjaannya, kini tampak santai dan penuh kebahagiaan. Zahra merasa sangat beruntung bisa menghabiskan waktu bersama Zidan.
Di tengah perjalanan pulang, Zahra berbicara, “Gus, saya mau bicara soal rencana kita ke depan.”
Zidan menatapnya, memiringkan kepala sedikit. “Tentang apa?”
“Setelah kita berumah tangga, saya merasa harus lebih serius dalam belajar. Saya ingin melanjutkan pendidikan, mungkin mengambil jurusan yang lebih mendalam tentang agama atau menjadi seorang ustadzah. Apa pendapatmu?”
Zidan terdiam sejenak, memikirkan jawaban yang tepat. “Aku mendukung penuh keputusanmu, Zahra. Aku tahu, kamu punya semangat untuk belajar, dan itu sangat baik. Jika kamu merasa itu yang terbaik untukmu, aku akan selalu ada untuk mendukung.” Ya, sebelumnya, setelah tamat SMA, Zahra memang memilih untuk mondok, namun seiring waktu berjalan dan setelah menikah dengan Gus Zidan, cita-citanya seolah berubah haluan, apalagi ketika mendapat dukungan dari suaminya.
Zahra tersenyum lega. “Terima kasih, Gus. Saya merasa lebih yakin sekarang.”
Zidan meraih tangan Zahra, menggenggamnya lembut. “Semoga Allah memudahkan langkahmu, Zahra. Kita akan melewati semuanya bersama-sama.”
Kehidupan pernikahan mereka berjalan dengan penuh kedamaian. Zahra merasa semakin mantap untuk mengejar cita-citanya, sementara Zidan selalu ada untuk mendukung dan memotivasi. Di sisi lain, mereka berdua juga mulai membicarakan masa depan keluarga mereka, bagaimana mereka ingin memiliki anak kelak, dan bagaimana mereka akan menghadapinya bersama.
Zahra merasakan perubahan dalam dirinya. Sejak menikah dengan Zidan, ia merasa semakin dekat dengan Allah, semakin banyak merenung, dan semakin banyak belajar. Ia berusaha menjalani setiap hari dengan penuh syukur dan kesabaran.
Namun, tidak semua hari berjalan mulus. Ada kalanya, mereka mengalami tantangan dalam berkomunikasi atau menghadapi perbedaan pendapat. Seperti hari ini, ketika Zahra sedang merasa cemas tentang kelanjutan studinya.
“Gus, saya mulai merasa ragu. Apa saya bisa menjalani semuanya? Belajar, mengurus rumah tangga, dan juga memenuhi harapan kita berdua?” Zahra bertanya dengan nada khawatir.
Zidan menatapnya dalam-dalam, menyadari ketegangan yang sedang dirasakan oleh istrinya. “Zahra, jangan khawatir. Aku tahu kamu bisa melakukan semuanya. Jangan merasa terbebani. Jika ada yang sulit, kita akan cari jalan keluarnya bersama. Yang penting, kamu tidak perlu merasa sendirian.”
Zahra menunduk, merasa lega mendengar kata-kata Zidan. “Terima kasih, Gus. Saya hanya ingin semuanya berjalan dengan baik. Saya nggak mau mengecewakanmu.”
Zidan menghela napas, menyentuh pelan bahu Zahra. “Kita saling mendukung, ya. Aku yakin kamu bisa melakukan yang terbaik. Aku percaya padamu.”
Kata-kata itu membuat Zahra merasa lebih ringan. Ia tahu, meskipun tantangan pasti ada, mereka berdua akan selalu menghadapinya bersama.
Beberapa bulan kemudian, Zahra memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya. Ia mulai mendaftar di sebuah universitas yang menawarkan program pendidikan Islam yang ia minati. Zidan sangat mendukung langkah Zahra, bahkan ia yang mengantar Zahra untuk mendaftar, meskipun ia harus berangkat pagi-pagi sekali.
“Mas, terima kasih sudah mendukung saya,” kata Zahra penuh haru ketika mereka berjalan pulang setelah menyelesaikan proses pendaftaran. Sikap Zahra juga sudah tidak kaku, panggilan kepada suaminya juga sudah berubah, itu juga atas permintaan sang suami.
Zidan tersenyum, menggenggam tangan Zahra dengan penuh kasih. “Mas selalu akan mendukungmu, Sayang. Ini adalah perjalanan kita bersama, dan Mas akan terus berada di sampingmu.”
Degh!
Mendengar kata sayang, jantung Zahra seolah berhenti, namun ia berusaha biasa saja di hadapan suaminya. Walaupun beberapa kali Zidan memanggil sayang, dan tidak sering. Namun mampu membuat Zahra begitu dicintai.
Zahra merasa semakin mantap dengan pilihannya. Ia tahu, meskipun akan ada banyak tantangan di depan, ia tidak akan pernah merasa sendirian. Zidan adalah suami yang selalu siap menjadi penopang, tempat ia berbagi beban dan kebahagiaan.
Setelah beberapa waktu, Zahra mulai menjalani kehidupan baru sebagai seorang mahasiswa dan istri. Setiap hari, ia merasa semakin penuh dengan tugas dan tanggung jawab. Ia juga berusaha lebih bijaksana dalam mengatur waktunya, agar tidak meninggalkan kewajibannya sebagai istri, serta tetap bisa fokus pada pendidikan.
Suatu sore, setelah pulang kuliah, Zahra duduk di ruang tamu sambil membuka buku kuliah. Zidan, yang baru saja pulang dari kantor, duduk di sebelahnya dan menatapnya dengan penuh kasih.
“Apa yang kamu pelajari hari ini?” tanya Zidan, sambil memperhatikan Zahra yang terlihat serius membaca.
Zahra tersenyum dan menjelaskan materi yang ia pelajari di kelas. “Ini tentang fikih muamalah, Mas. Menarik sekali, tentang bagaimana kita berinteraksi dengan orang lain sesuai dengan ajaran Islam.”
Zidan mendengarkan dengan seksama, bangga dengan pencapaian Zahra. “Mas senang kamu menemukan sesuatu yang bermanfaat. Teruslah belajar, Zahra. Mas yakin kamu akan menjadi wanita yang luar biasa.”
Zahra tersenyum, merasa diterima sepenuhnya oleh Zidan. “Terima kasih, Mas. Semuanya terasa lebih mudah dengan dukungan Mas.”
Mereka berdua duduk bersama, berbicara tentang masa depan, tentang keluarga yang ingin mereka bangun kelak. Mereka sadar bahwa pernikahan bukanlah tentang kebahagiaan yang datang begitu saja, melainkan tentang saling mendukung, saling memahami, dan saling menguatkan dalam setiap langkah.
Hari-hari mereka penuh dengan kebahagiaan yang sederhana, penuh cinta yang tumbuh dari keikhlasan dan doa yang tak pernah putus. Dengan penuh kesabaran, mereka terus membangun hidup baru bersama, yakin bahwa Allah selalu membimbing langkah mereka.
To Be Continued...
kirain kemarin" tu Kyai Mahfud ortu Ning Maya 🤭
ingat Maya, Adab lebih tinggi dari ilmu. sebagai putri kyai pemilik pondok ilmumu tidak diragukan lagi. tapi adabmu ??