NovelToon NovelToon
VARIOUS LOVES

VARIOUS LOVES

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Cinta Terlarang / Bad Boy
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Nadira terbaring koma, di ambang batas hidup, divonis tak akan bisa pulih oleh sang dokter akibat penyakit langka yang merenggut segalanya dengan perlahan.

Di sisa-sisa kesadarannya, ia menyampaikan satu permintaan terakhir yang mengubah hidup Mira, kakaknya: menggantikan posisinya untuk menikahi Revan, seorang pria yang bahkan tak pernah Mira kenal.

Tanpa cinta, tanpa pilihan, Mira melangkah menuju pelaminan, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi memenuhi permintaan terakhir Nadira. Namun, pernikahan ini lebih dari sekadar janji. Itu adalah awal dari ujian berat, di mana Mira harus berjuang menghadapi dinginnya hati Revan dan penolakan keluarganya.

Ketika Mira mencoba bertahan, kenyataan yang lebih menyakitkan menghancurkan semua: Revan melanggar janjinya, menikahi wanita lain yang memiliki kemiripan dengan Nadira, semua dilakukan di balik punggung Mira.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kebohongan

Sinar matahari pagi menembus tirai tebal kamar, menciptakan semburat keemasan yang menyelimuti ruangan. Udara terasa hening, hanya suara burung di kejauhan yang memecah keheningan.

Revan perlahan membuka matanya, kepalanya terasa berat, dan tubuhnya masih lemah. Ia mencoba mengumpulkan kesadarannya, tetapi ada sesuatu yang membuatnya langsung tersentak. Sebuah tangan melingkar lembut di tubuhnya.

Matanya kini terbuka sepenuhnya, dan ia melihat seorang wanita yang sama sekali tak dikenalnya berbaring di sampingnya. Rambut hitam panjang wanita itu terurai indah di atas bantal, kulitnya tampak bercahaya diterpa sinar matahari pagi. Wajahnya terlihat begitu tenang, seolah-olah ia tidak menyadari kekacauan yang sedang berkecamuk di kepala Revan.

"Siapa dia? Apa yang terjadi?" pikir Revan, jantungnya berdegup kencang. Ia menggerakkan tubuhnya dengan susah payah, rasa lemas masih mendominasi. Suara seraknya berusaha keluar, tetapi tenggorokannya terasa kering.

Dengan hati-hati, ia duduk bersandar pada kepala ranjang, tatapannya tidak lepas dari wanita itu. Ia memandang dengan campuran kebingungan dan kecurigaan.

Saat itu, wanita tersebut mulai terbangun. Matanya perlahan terbuka, langsung bertemu dengan tatapan tajam Revan. Ia tampak terkejut, seolah tidak menduga Revan sudah bangun.

Wajahnya memerah. Dengan gerakan cepat, ia menarik selimut, menutupi tubuhnya yang hanya berbalut pakaian dalam. Rasa gugup terpancar jelas di wajahnya.

"Ka-Kamu sudah bangun?" tanyanya dengan suara pelan, bergetar karena gugup.

Revan menatapnya lekat-lekat, alisnya berkerut. "Kamu siapa?" tanyanya dengan nada dingin, meskipun tubuhnya masih tampak lemah. "Kenapa kamu ada di sini? Apa yang sebenarnya terjadi?"

Karina menunduk sejenak, berusaha menyusun jawaban. Ia tahu bahwa ini adalah saat yang diharapkan Ratna, saat di mana Revan percaya bahwa mereka telah berbagi sesuatu yang intim. Namun, hati kecilnya ragu untuk melanjutkan kebohongan ini.

Mengambil napas dalam-dalam, Karina mengangkat wajahnya, mencoba menenangkan rasa gugup yang menyeruak.

"Aku..." katanya pelan, suaranya nyaris bergetar. "Aku Karina. Kekasihmu."

Revan terdiam, menatapnya penuh kecurigaan. "Kekasihku?" ulangnya dengan nada skeptis. "Kenapa aku sama sekali tidak ingat tentangmu?"

Karina menggigit bibirnya, mencoba tetap tenang. Ia tahu bahwa ia harus memainkan peran ini dengan hati-hati, seperti yang diinstruksikan Ratna.

Namun, ia akan melakukan dengan cara yang berbeda.

"Kemarin malam kamu mabuk, Revan," katanya pelan namun penuh keyakinan.

"Kamu minum terlalu banyak. Aku menyuruh orang untuk membawamu ke sini agar aku bisa menjagamu."

Revan mengerutkan kening, mencoba mengingat, tetapi kepalanya terasa kosong.

"Mabuk?" gumamnya, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Ia memijit pelipisnya yang terasa berat.

Karina menelan ludah, jantungnya berdegup kencang. Ia tahu bahwa ini adalah momen krusial. Jika ia tidak hati-hati, semuanya bisa berantakan. Dengan suara yang lembut namun terkontrol, ia menjawab, "Iya, Revan."

Revan mengangkat pandangannya, matanya bertemu dengan tatapan lembut Karina. Namun, di balik kelembutan itu, ada sesuatu yang sulit ia baca. Karina melanjutkan, "Dan... kita akan menikah dalam beberapa hari."

Kata-kata itu membuat Revan terdiam. Ia menatap Karina lebih tajam, mencoba menemukan jawaban di wajahnya. Tetapi Karina tetap tenang, meskipun hatinya penuh keraguan.

"Aku hanya ingin memastikan," lanjut Karina, suaranya terdengar sedikit bergetar, "bahwa dirimu benar-benar akan menikah dengan diriku, Revan. Aku tidak ingin kau berbohong."

Revan menggenggam selimut di atas pangkuannya dengan erat, matanya menyipit curiga. Sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Karina melanjutkan dengan nada yang lebih tegas, meskipun suaranya terdengar bergetar, "Dan... tadi malam..."

Ia menggigit bibirnya sejenak sebelum melanjutkan, pandangannya tertuju pada Revan. "Kau dan aku... melakukan sebuah hubungan. Hubungan suami istri."

Pernyataan itu jatuh seperti petir di telinga Revan. Tubuhnya menegang, kedua matanya membelalak kaget.

Ia hampir tidak percaya apa yang baru saja ia dengar. "Apa?" tanyanya dengan suara rendah, namun nadanya tajam, penuh keterkejutan dan ketidakpercayaan.

Karina menggenggam selimut lebih erat, mencoba menahan dirinya agar terlihat tenang meskipun jantungnya berdegup kencang. Ia menghela napas pelan, menundukkan kepala seolah merasa bersalah, lalu berbicara dengan suara yang terdengar rapuh.

"Kamu sendiri yang meminta, Revan," katanya dengan nada lirih namun jelas. Kata-kata itu terasa seperti pisau yang menyayat, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk Revan yang mendengarnya.

Ia mengangkat wajahnya perlahan, menatap Revan dengan sorot mata yang tampak dipenuhi kesedihan dan ketulusan. Sekilas, ada keraguan yang terselip, tetapi ia segera menutupinya dengan keberanian yang terpaksa ia kumpulkan.

"Aku pun menuruti kemauanmu," lanjutnya, suaranya sedikit bergetar, seolah-olah kata-kata itu sulit untuk ia ucapkan. "Karena kau memaksa diriku. Tapi aku tahu... aku tahu bahwa dirimu tak akan berlainan hati. Kau tetap akan mencintaiku."

Revan menatap Karina dengan tatapan tajam yang dipenuhi campuran kebingungan dan kemarahan. Kata-kata Karina terasa menohok, membuatnya semakin sulit memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Namun, di balik keraguannya, Revan mulai merasakan adanya celah dalam cerita yang disampaikan Karina. Ia mencoba menyembunyikan gejolak dalam dirinya, tetap mempertahankan ekspresi dingin di wajahnya.

"Jadi kau benar-benar yakin... aku melakukan itu?" tanyanya datar, tetapi sorot matanya mengintimidasi, seolah mencoba menembus dinding kebohongan yang mungkin Karina bangun.

Karina terdiam sesaat, wajahnya memucat. Sorot mata tajam Revan menembus dirinya, membuat jantungnya berdegup semakin kencang. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba mempertahankan ketenangan, meskipun kata-kata Revan mulai mengguncang keyakinannya.

"Revan..." bisiknya, mencoba mengendalikan suaranya yang mulai bergetar. Ia menundukkan kepala sejenak, lalu kembali menatap Revan dengan pandangan yang dipaksakan penuh kesedihan. "Aku... aku hanya mengatakan apa yang terjadi."

Ia menarik napas dalam, mencoba terlihat meyakinkan. "Kamu mabuk, Revan. Sangat mabuk. Kamu bilang kamu tidak ingin menunggu lebih lama untuk membuktikan cinta kita. Dan aku... aku hanya ingin menjadi seseorang yang selalu ada untukmu. Seseorang yang kamu percaya."

Namun, tatapan dingin dan penuh analisis dari Revan tidak berubah. Ia tidak mengatakan apa-apa, tetapi wajahnya menyiratkan bahwa ia tidak sepenuhnya menerima cerita itu. Hening menyelimuti kamar, hanya suara detak jam yang terdengar, membuat suasana semakin tegang.

Karina merasa terpojok, tetapi ia tahu ia harus tetap mempertahankan ceritanya. "Revan, aku tahu ini sulit untukmu. Tapi aku melakukan ini karena aku mencintaimu. Dan aku yakin... kamu juga mencintaiku." Suaranya terdengar lebih tegas, meskipun ada getar halus di dalamnya.

Revan menyipitkan matanya, mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan.

"Mencintaiku?" ulangnya pelan, namun setiap kata terdengar seperti ujian. "Kalau begitu, buktikan. Buktikan bahwa yang kau katakan itu benar."

Karina tercekat, mulutnya terbuka, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Kini, ia tahu bahwa Revan tidak akan mudah terjebak.

Revan menghela napas panjang, pandangannya tak lagi setajam sebelumnya. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menenangkan gejolak yang memenuhi pikirannya.

"Karina," ucapnya perlahan, nadanya dingin tapi tegas. "Aku tahu kau berbohong."

Karina mendadak terpaku, kedua matanya membesar. Namun, sebelum ia sempat menyela, Revan melanjutkan.

"Jangan memanfaatkan kemiripanmu dengan Nadira untuk mencoba menipuku," katanya dengan suara berat, menyebut nama seseorang yang membuat wajah Karina semakin pucat.

Hening sejenak menguasai ruangan. Karina menunduk, tangannya gemetar saat mencengkeram selimut. Setelah beberapa saat, ia akhirnya menghela napas berat dan menatap Revan dengan mata yang kini basah.

"Revan..." ia berbisik, suaranya serak.

"Aku... aku melakukan ini karena aku terpaksa. Orang tuamu yang menyuruhku. Mereka menyandera ayahku. Bagaimana aku bisa menolaknya? Aku takut mereka menyakitinya, Revan."

Revan mematung, alisnya berkerut tajam. Meskipun ia sudah menduga ada konspirasi di balik semua ini, mendengar pengakuan langsung dari Karina membuatnya marah dan kecewa.

"Aku tahu," katanya dengan nada rendah namun tegas, "pasti ini ulah mereka."

Karina terdiam, tubuhnya menggigil di bawah tatapan tajam Revan. Ia mencoba berbicara, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Revan bangkit perlahan dari tempat tidur, meskipun tubuhnya masih terasa lemah. Ia berjalan ke dekat jendela, memandang keluar dengan ekspresi penuh beban.

"Jadi mereka pikir aku bisa dipermainkan seperti ini?" lanjutnya, suaranya hampir seperti gumaman. "Mereka pikir aku akan tunduk pada rencana busuk mereka?"

Karina menundukkan kepalanya, air mata jatuh tanpa henti. "Revan, aku tidak punya pilihan. Mereka terlalu kuat. Aku hanya ingin melindungi ayahku."

Revan berbalik, sorot matanya tajam. "Aku bisa memahami rasa takutmu, Karina. Tapi kau tahu ini salah. Kau memilih untuk ikut bermain dalam permainan mereka, dan itu membuatmu sama saja dengan mereka."

"Tidak!" Karina memotong, suaranya penuh emosi. "Aku tidak ingin menyakitimu. Aku hanya ingin keluar dari situasi ini tanpa kehilangan ayahku. Aku tidak pernah ingin ini terjadi, Revan. Aku bersumpah."

Hening melingkupi mereka untuk beberapa saat, hanya suara isak Karina yang terdengar. Revan menatap wanita itu dengan tatapan yang sulit diartikan, seolah ia mencoba mencari kebenaran di balik semua pengakuannya.

"Aku akan menghadapinya," ujar Revan akhirnya, nadanya dingin dan penuh ketegasan. "Aku tidak akan membiarkan mereka terus mengatur hidupku."

Karina menatap Revan dengan mata penuh air mata, ragu dan takut. "Tapi... jika mereka tahu kau mengetahui rencana ini, mereka mungkin akan...."

"Aku tidak peduli," potong Revan.

"Aku sudah muak dengan semua permainan mereka. Aku akan melindungimu dan ayahmu, Karina, tapi aku tidak akan mentolerir kebohongan lagi."

Kata-kata Revan mengandung kekuatan yang membuat Karina semakin terdiam. Ia tahu, di balik kemarahannya, Revan adalah seseorang yang tidak akan tinggal diam menghadapi ketidakadilan.

1
Cevineine
lanjut yaa, aku gift biar makin semangat😊
WikiPix: sabar, ya. lagi proses.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!