abella dan sembilan teman dekatnya memutuskan untuk menghabiskan liburan musim dingin di sebuah kastil tua yang terletak jauh di pegunungan. Kastil itu, meskipun indah, menyimpan sejarah kelam yang terlupakan oleh waktu. Dengan dinding batu yang dingin dan jendela-jendela besar yang hanya menyaring sedikit cahaya, suasana kastil itu terasa suram, bahkan saat siang hari.
Malam pertama mereka di kastil terasa normal, penuh tawa dan cerita di sekitar api unggun. Namun, saat tengah malam tiba, suasana berubah. Isabella merasa ada yang aneh, seolah-olah sesuatu atau seseorang mengawasi mereka dari kegelapan. Ia berusaha mengabaikannya, namun semakin malam, perasaan itu semakin kuat. Ketika mereka semua terlelap, terdengar suara-suara aneh dari lorong-lorong kastil yang kosong. Pintu-pintu yang terbuka sendiri, lampu-lampu yang padam tiba-tiba menyala, dan bayangan gelap yang melintas dengan cepat membuat mereka semakin gelisah.
Keesokan harinya, salah satu teman mereka, Elisa, ditemukan t
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15: Labirin Kematian
Isabella menatap pintu besar kastil yang perlahan tertutup di belakangnya, suara gemuruh kayu tua dan logam berat menggema hingga jauh ke dalam kegelapan. Kini ia kembali di dalam tempat yang telah mencuri teman-temannya, tempat yang telah berubah menjadi neraka hidup.
Namun, suasananya berbeda kali ini. Kastil itu tampak hidup, dindingnya bernafas perlahan seperti dada makhluk raksasa. Udara terasa lebih dingin, dan kegelapan begitu pekat sehingga lentera kecil di tangannya nyaris tidak berguna.
"Aku harus menemukan ruangan itu," gumam Isabella, mengingat peta yang ia lihat di desa. Meskipun peta itu hancur, ia masih mengingat beberapa detail penting: ruangan bawah tanah yang disebut Ruang Persembahan Terakhir.
Langkahnya bergema di lantai batu, tetapi ia menyadari sesuatu. Gema itu terdengar tidak wajar—seolah-olah ada langkah lain yang mengikuti di belakangnya.
"Siapa di sana?" Isabella berbalik dengan cepat, memegang belati yang ia ambil sebelumnya.
Hanya keheningan yang menjawab. Namun, dalam kegelapan, ia merasa ada mata yang mengawasinya.
Tiba-tiba, bayangan panjang meluncur cepat melintasi dinding di sebelahnya. Lentera di tangannya berkedip-kedip, hampir padam.
"Ini hanya permainan kastil," bisiknya, mencoba menenangkan diri.
Namun, saat ia melangkah lebih jauh ke dalam lorong, dinding di belakangnya tiba-tiba berubah. Batu-batu itu bergerak sendiri, menciptakan sekat yang menutup jalan kembali. Isabella terjebak.
"Kastil ini ingin aku tetap di sini," katanya dengan napas berat.
---
Lorong itu semakin gelap, dan bau busuk menyeruak—bau daging membusuk dan darah yang basi. Lentera Isabella hanya cukup menerangi beberapa langkah di depannya. Saat ia melanjutkan perjalanan, lantai menjadi licin oleh sesuatu yang lengket. Ketika ia mengarahkan lentera ke bawah, ia melihatnya: darah.
Di tengah genangan darah itu, ada jejak-jejak kaki, kecil dan basah, yang tampaknya milik seorang anak kecil.
Isabella bergidik. "Apa yang terjadi di sini?"
Jejak itu memandu Isabella ke sebuah pintu kayu tua yang hampir terlepas dari engselnya. Di balik pintu, ia mendengar suara tangisan—lembut, menyeramkan, seperti suara seorang anak kecil.
Ia membuka pintu itu perlahan. Ruangan di baliknya kecil, hanya diterangi oleh lilin-lilin merah yang menciptakan bayangan aneh di dinding. Di tengah ruangan, seorang anak kecil duduk membelakanginya, mengenakan gaun putih yang kotor oleh darah.
"Siapa kau?" tanya Isabella, suaranya gemetar.
Anak itu tidak menjawab. Ia hanya terus menangis, tubuhnya terguncang oleh isak tangisnya.
Dengan hati-hati, Isabella melangkah mendekat. "Kau butuh bantuan? Aku bisa membantumu keluar dari sini."
Ketika ia mengulurkan tangan untuk menyentuh bahu anak itu, tubuh kecil itu berhenti menangis. Kepala anak itu perlahan menoleh, tetapi bukan wajah manusia yang dilihat Isabella. Wajah anak itu kosong, hanya kulit pucat tanpa mata, hidung, atau mulut.
Anak itu berteriak—jeritan melengking yang terdengar seperti ribuan suara sekaligus. Lentera di tangan Isabella padam, dan ruangan itu menjadi gelap gulita.
---
Ketika cahaya kembali dari lilin-lilin merah, Isabella berada di tempat yang berbeda. Ruangan kecil itu telah berubah menjadi aula besar dengan dinding-dinding berlumuran darah. Bayangan anak kecil itu tidak lagi ada, tetapi di tempatnya, berdiri sosok tinggi berjubah hitam dengan topeng putih menyeramkan.
Pria bertopeng itu memegang kapak besar yang meneteskan darah segar. Di belakangnya, beberapa sosok lain muncul, semuanya mengenakan topeng yang berbeda, masing-masing lebih menyeramkan daripada yang lain.
Isabella mundur, tetapi dinding di belakangnya terasa seperti daging basah, bergerak dengan denyut perlahan.
"Kau tidak akan keluar dari sini," kata pria bertopeng itu dengan suara berat yang menggema di seluruh ruangan.
Isabella menggenggam belatinya erat-erat. "Kau tidak bisa menghentikanku!"
Pria bertopeng itu mengangkat kapaknya, dan sosok-sosok lain mulai mendekat. Isabella tahu ia tidak bisa melawan mereka semua, tetapi ia juga tidak bisa menyerah. Dengan teriakan penuh keberanian, ia menyerang pria bertopeng itu, mengarahkan belatinya ke dadanya.
Namun, sebelum belatinya mencapai target, pria itu menghilang seperti kabut. Sosok-sosok lainnya menyerang sekaligus, memaksa Isabella berlari menyelamatkan diri.
---
Lorong-lorong kastil berubah dengan cepat, seperti labirin yang hidup. Isabella merasa seperti tikus yang dikejar oleh predator-predator tak terlihat. Setiap kali ia berbalik, salah satu sosok bertopeng itu muncul, memojokkannya lebih jauh ke dalam labirin.
Lelah dan putus asa, ia menemukan sebuah pintu kecil yang setengah terbuka. Ia melompat masuk dan menutup pintu itu dengan keras, tubuhnya gemetar ketakutan.
Di dalam ruangan kecil itu, ia menemukan sesuatu yang aneh. Sebuah cermin besar berdiri di tengah ruangan, bingkainya terbuat dari tulang-tulang kecil. Ketika ia mendekat, bayangannya di cermin tampak berbeda. Wajahnya terlihat lebih tua, matanya kosong seperti anak kecil yang ia temui sebelumnya.
"Dosa-dosa mereka ada padamu," bisik sebuah suara dari dalam cermin.
Cermin itu mulai retak, dan dari celah-celahnya, darah hitam mengalir keluar, membanjiri lantai ruangan. Isabella mundur, tetapi darah itu terus mengejarnya, naik hingga ke lututnya.
"Berhenti!" teriaknya, tetapi suara itu hanya tertawa.
---
Tiba-tiba, lantai di bawahnya runtuh, dan Isabella jatuh ke dalam kegelapan. Ketika ia membuka matanya, ia berada di tengah sebuah ruangan besar yang sangat dingin dan lembab. Lantainya dipenuhi tulang-belulang, dan di tengah ruangan itu berdiri altar besar dengan simbol aneh yang bersinar merah.
"Ruang Persembahan Terakhir," bisik Isabella, suaranya hampir tidak terdengar.
Namun, ia tidak sendirian. Dari sudut-sudut ruangan, bayangan-bayangan mulai bergerak, membentuk sosok-sosok bertopeng yang mengelilinginya.
"Ini akhirmu," kata salah satu dari mereka, suaranya penuh kebencian.
Isabella menatap mereka dengan mata yang dipenuhi tekad. Jika ini adalah akhir, ia akan memastikan bahwa ia tidak pergi tanpa melawan.
Dengan belati di tangannya, ia maju ke arah altar, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi. Namun, ketika ia menginjak simbol di lantai, ruangan itu bergetar hebat, dan suara tawa menyeramkan memenuhi udara.
"Kau pikir kau bisa menang?" kata suara itu, menggema dari segala arah.
Isabella menyadari bahwa ini bukan hanya kastil terkutuk—ini adalah neraka itu sendiri, dan ia sekarang berada di pusatnya.