Dina, seorang pelajar dari kota kecil dengan mimpi besar, memiliki hasrat yang kuat untuk menjelajahi dunia dan mengembangkan diri. Ketika sekolahnya mengadakan lomba sains tingkat provinsi, Dina melihat ini sebagai kesempatan emas untuk meraih impian terbesarnya: mendapatkan beasiswa dan melanjutkan studi ke luar negeri. Meskipun berasal dari keluarga sederhana dan di hadapkan pada saingan-saingan dari sekolah sekolah-sekolah elit, Dina tak gentar. Dengan proyek ilmiah tentang energi terbarukan yang dia kembangkan dengan penuh dedikasi, Dina berjuang keras melampaui batas kemampuannya
Namun, perjalanan menuju kemenangan tidaklah mudah. Dina Harus menghadapi keraguan, kegugupan, dan ketidakpastian tentang masa depannya. Dengan dukungan penuh dari keluarganya yang sederhana namun penuh kasih sayang, Dina berusaha membuktikan bahwa kerja keras dan tekad mampu membuka pintu ke peluang yang tak terbayangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon avocado lush, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Baru, Tantangan Baru
Pagi itu, Dina berdiri di hadapan para warga Jatiroto di balai desa. Udara dingin berembus pelan, membawa aroma khas tanah desa yang segar. Semua mata tertuju padanya, menunggu pengumuman yang sudah ia janjikan sejak beberapa hari lalu.
Ia menarik napas panjang, mencoba meredakan detak jantung yang tak beraturan. "Bapak, Ibu, dan semua warga Jatiroto," suaranya bergetar pelan, "kita sudah melewati perjalanan yang luar biasa bersama. Tiga kincir angin ini adalah bukti bahwa kerja keras, persatuan, dan mimpi kita bisa menciptakan perubahan besar."
Suara gemuruh tepuk tangan memenuhi ruangan. Warga yang selama ini bekerja keras bersamanya tersenyum penuh kebanggaan. Namun, Dina tahu apa yang akan ia sampaikan berikutnya mungkin tidak semudah itu diterima.
"Namun, saya harus memberi tahu kalian sebuah kabar penting," Dina melanjutkan, suaranya sedikit lebih berat. "Saya telah diminta untuk memimpin proyek serupa di desa-desa lain. Ini berarti saya harus meninggalkan Jatiroto untuk sementara waktu."
Ketenangan mendadak menyelimuti ruangan. Wajah-wajah yang tadinya berseri-seri berubah menjadi cemas. Pak Karim, yang duduk di barisan depan, angkat bicara. "Apakah ini artinya kamu tidak akan kembali, Dina?"
Dina tersenyum kecil, mencoba menenangkan suasana. "Tidak, Pak Karim. Saya akan selalu menjadi bagian dari Jatiroto. Namun, saya percaya bahwa proyek ini adalah langkah penting untuk membantu lebih banyak orang, seperti yang sudah kita lakukan di sini. Dan saya yakin, dengan semangat dan kerja sama yang sudah kita bangun, kalian semua bisa menjaga apa yang telah kita capai."
Sore harinya, Dina duduk di tepi sawah, menikmati angin yang sepoi-sepoi. Mira datang membawa dua cangkir teh dan duduk di sebelahnya.
"Kamu yakin dengan keputusanmu?" tanya Mira, menatap Dina dengan tatapan penuh pengertian.
Dina mengangguk pelan. "Ini bukan keputusan yang mudah, Ra. Aku merasa terikat dengan desa ini, dengan orang-orangnya. Tapi aku tahu, masih banyak desa lain yang butuh bantuan seperti Jatiroto dulu."
Mira menyeruput teh di tangannya, lalu berkata dengan nada ringan, "Aku tahu kamu nggak akan berhenti di sini. Dina yang aku kenal selalu ingin menciptakan perubahan yang lebih besar. Tapi ingat, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri."
Dina tersenyum mendengar kata-kata Mira. "Aku akan mencoba, Ra. Terima kasih sudah selalu ada di sisiku."
Beberapa hari kemudian, Dina bersiap meninggalkan desa. Warga Jatiroto berkumpul di lapangan untuk mengantarnya. Mereka memberikan kain tenun khas desa sebagai tanda penghormatan dan ucapan terima kasih.
Pak Karim memeluk Dina dengan hangat. "Kami akan merindukanmu, Dina. Tapi kami tahu, kamu akan membawa perubahan yang lebih besar di luar sana."
Dina menahan air matanya agar tidak jatuh. "Saya juga akan merindukan kalian, Pak Karim. Tapi saya percaya, kalian akan menjaga apa yang sudah kita bangun di sini."
Mira, yang berdiri di sampingnya, menggenggam tangannya erat. "Jangan lupa untuk pulang, Din. Jatiroto akan selalu menjadi rumahmu."
Dina mengangguk. "Aku pasti akan kembali."
Saat mobil yang membawanya perlahan meninggalkan desa, Dina menatap kincir angin yang berdiri kokoh di kejauhan. Ia merasa campuran emosi yang sulit dijelaskan: sedih, bangga, dan bersemangat. Perjalanan barunya telah dimulai, dan meskipun ia tidak tahu apa yang akan ia hadapi, ia yakin bahwa Jatiroto telah memberinya kekuatan untuk melangkah ke depan.
Di hatinya, Dina tahu, perjuangannya untuk membangun harapan tidak akan pernah selesai. Dan di setiap langkah yang ia ambil, ia membawa semangat Jatiroto bersamanya. ***
Malam itu, suara jangkrik mengiringi perjalanan Dina menuju kota. Ia duduk di kursi belakang mobil, memandangi langit yang gelap dengan taburan bintang yang jarang terlihat di tempat lain. Dalam keheningan malam, pikirannya melayang kembali ke masa-masa pertama ia datang ke Jatiroto—rasa ragu, harapan, dan akhirnya, keyakinan yang tumbuh dari perjalanan bersama warga.
Mira, yang ikut mengantarnya hingga batas kota, duduk di sebelah pengemudi. Sesekali, ia melirik ke belakang, memastikan Dina baik-baik saja. "Din, kalau terlalu berat, kamu tahu kamu selalu bisa kembali, kan?" tanyanya pelan.
Dina tersenyum tipis. "Aku tahu, Ra. Tapi aku merasa ada sesuatu yang menungguku di sana. Sesuatu yang harus kulakukan."
Sesampainya di kota, Dina disambut oleh suasana yang berbeda. Gedung-gedung tinggi, lampu-lampu jalanan yang terang benderang, dan hiruk-pikuk kendaraan membuatnya merasa sedikit asing. Ia disambut oleh perwakilan perusahaan mitra yang akan membawanya ke lokasi proyek baru.
"Dina, senang akhirnya kita bisa bertemu langsung," kata seorang pria berjabat tangan dengan hangat. "Saya Aditya, kepala proyek di wilayah ini. Kami sudah menunggu kedatangan Anda."
Dina membalas senyum itu. "Senang bertemu Anda, Pak Aditya. Terima kasih telah memberikan kesempatan ini."
Aditya mengangguk. "Kami mendengar banyak tentang keberhasilan Anda di Jatiroto. Proyek ini akan lebih besar, dan tentu saja lebih menantang. Tapi kami yakin, Anda adalah orang yang tepat untuk memimpinnya."
Hari pertama di lokasi proyek baru membawa kejutan besar bagi Dina. Desa ini, yang terletak di lembah pegunungan, memiliki tantangan yang jauh lebih kompleks dibandingkan Jatiroto. Infrastruktur yang minim, akses jalan yang sulit, dan masyarakat lokal yang sebagian besar belum sepenuhnya percaya pada perubahan yang ditawarkan.
Ketika Dina berjalan mengitari desa bersama timnya, ia merasakan tatapan penuh tanya dari penduduk setempat. Anak-anak kecil bersembunyi di balik dinding, hanya mengintip dari kejauhan. Para orang dewasa menyambut dengan sopan, namun tampak waspada.
Dina tahu, ia harus memulai semuanya dari nol lagi—membangun kepercayaan, menjalin hubungan, dan menanamkan harapan baru.
Malam itu, ia menulis di jurnal pribadinya, mencoba mencatat segala yang ia rasakan.
"Hari ini aku merasa kecil di tengah-tengah tantangan yang begitu besar. Tapi aku ingat, dulu di Jatiroto aku juga merasa seperti ini. Mungkin, kunci keberhasilannya adalah bertahan. Bukan hanya bertahan dalam menghadapi tantangan, tapi bertahan untuk terus percaya pada apa yang aku yakini."
Ketika ia menutup jurnalnya, bunyi ketukan di pintu kamar membuyarkan konsentrasinya. Aditya berdiri di sana, membawa peta besar yang tergulung.
"Maaf mengganggu malam Anda, Dina," katanya sambil tersenyum. "Saya pikir Anda ingin melihat ini."
Dina mengangguk dan membiarkan Aditya masuk. Mereka membentangkan peta di atas meja, menunjukkan daerah-daerah yang akan menjadi lokasi strategis pembangunan kincir angin. Namun, salah satu lokasi membuat Dina mengernyit.
"Ini berada di tengah hutan?" tanyanya sambil menunjuk titik merah di peta.
Aditya mengangguk. "Benar. Itu adalah area dengan potensi angin terbaik. Tapi tantangannya adalah, wilayah itu dianggap sakral oleh sebagian warga. Kita perlu pendekatan yang sangat hati-hati jika ingin menggunakan lokasi ini."
Dina merenung. Ia tahu, ini bukan hanya soal teknis. Ada budaya, tradisi, dan kepercayaan yang harus dihormati. Jika tidak, proyek ini bisa menghadapi penolakan besar.
Keesokan harinya, Dina memutuskan untuk mengunjungi kepala adat desa. Ia ingin memahami lebih dalam tentang apa yang dipercayai oleh masyarakat, dan mencari cara untuk menjembatani kepentingan mereka dengan tujuan proyek.
Di rumah kepala adat, ia disambut oleh seorang pria tua dengan senyum ramah namun penuh wibawa. "Anda orang kota yang katanya ingin membangun angin?" tanya pria itu, memecah keheningan.
Dina tersenyum. "Benar, Pak. Tapi saya di sini bukan hanya untuk membangun kincir angin. Saya ingin mendengar, belajar, dan memastikan bahwa apa yang kami lakukan tidak mengganggu kehidupan di desa ini."
Pria itu menatap Dina sejenak, lalu mengangguk pelan. "Baiklah. Tapi untuk memahami apa yang kami percaya, Anda harus melihatnya sendiri. Ikuti saya ke hutan esok pagi."
Keesokan paginya, Dina berjalan bersama kepala adat dan beberapa penduduk menuju lokasi yang dianggap sakral. Sepanjang perjalanan, ia mendengarkan cerita tentang leluhur desa, bagaimana mereka percaya angin adalah roh yang menjaga keseimbangan alam.
Ketika mereka tiba di lokasi, Dina merasa takjub. Tempat itu dikelilingi pohon-pohon besar yang tampak seperti penjaga abadi. Angin berhembus pelan, menciptakan suara seperti bisikan.
Kepala adat berdiri di tengah lapangan kecil, menatap Dina. "Jika Anda ingin membangun di sini, Anda harus menghormati angin. Ini bukan hanya soal teknologi, tapi juga soal jiwa."
Dina terdiam. Ia merasa seolah tempat ini berbicara kepadanya, mengingatkannya bahwa perjuangan ini bukan hanya tentang kemajuan, tetapi juga menjaga harmoni antara manusia dan alam.
Ia mengangguk perlahan. "Saya mengerti, Pak. Saya akan mencari cara untuk membuat proyek ini berjalan tanpa melukai apa yang Anda percaya."
Kepala adat tersenyum kecil. "Kalau begitu, Anda memiliki restu saya untuk mencoba."
Hari itu, Dina kembali ke penginapannya dengan perasaan campur aduk. Tantangan ini terasa jauh lebih besar, namun ia tahu, ia tidak akan menyerah. Dengan semangat yang sama seperti saat ia memulai di Jatiroto, Dina bertekad menjadikan tempat ini sebagai bukti bahwa harmoni antara teknologi, manusia, dan alam bisa terwujud.
Di kejauhan, angin berhembus kencang, seolah memberikan pesan: perjalanan ini baru saja dimulai. ***