[Update tiap hari, jangan lupa subscribe ya~]
[Author sangat menerima kritik dan saran dari pembaca]
Sepasang saudara kembar, Zeeya dan Reega. Mereka berdua memiliki kehidupan layaknya anak SMA biasanya. Zeeya memenangkan kompetisi matematika tingkat asia di Jepang. Dia menerima hadiah dari papanya berupa sebuah buku harian. Dia menuliskan kisah hidupnya di buku harian itu.
Suatu hari, Zeeya mengalami patah hati sebab pacarnya menghilang entah kemana. Zeeya berusaha mencari semampu dirinya, tapi ditengah hatinya yang terpuruk, dia malah dituduh sebagai seorang pembunuh.
Zeeya menyelidiki tentang masa lalunya. Benarkah dia merupakan seorang pembunuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24 | Kertas dalam Laci
Dear diary ...
Pagi ini aku kedatangan tamu, tuan Gerald, ayah temanku. Namun siapa sangka dia menuduhku telah menikam Hansel, putranya.
Dia juga menembakkan sebuah peluruh ke mansion utama, membuat satu mansion panik. Untung saja aku bisa menyelesaikannya dengan baik. Aku berniat meminta bantuan tuan Gerald untuk menemukan Sarah. Tuan Gerald menolaknya. Aku tidak tau harus minta tolong kepada siapa lagi.
Apakah aku harus mengandalkan diriku sendiri untuk masalah ini? Semua orang berusaha menyembunyikan sesuatu dariku. Rupanya aku harus pergi ke sekolah lamaku. Mungkin itu satu-satunya cara yang dapat membantuku.
^^^-Adila Zeeya Vierhalt-^^^
...****************...
Aku merasa amat bosan. Di mansion ini, semua terasa kosong. Setelah menulis buku harianku seperti biasa, aku termenung di meja belajar kamarku. Di luar, angin berhembus lembut, namun rasanya tidak ada yang bisa membangkitkan semangatku. Semua masalahku itu membuatku selalu berpikir yang bukan-bukan.
Tok, tok, tok!
Ketukan pintu itu membuyarkan lamunanku. Dengan enggan, aku beranjak dari kursi dan membuka pintu.
“Siapa?” tanyaku, tidak tau harus berharap siapa yang datang.
“Saya, Nona. Saya akan menggantikan pengawal yang berjaga di depan kamar Nona,” jawab Nova, bodyguard pribadiku itu selalu semangat dalam menjalankan tugasnya.
“Aku tahu. Apa jendela yang pecah sudah diperbaiki?” tanyaku, khawatir dengan keadaan yang mengancamku tadi siang.
“Sudah, Nona. Anda tidak perlu khawatir karena penjagaan di mansion sudah diperketat,” katanya, masih dengan semangat yang sama.
“Oh, iya. Perkenalkan ini Tiana, satu lagi bodyguard pribadi Nona.”
Aku tidak menyadari perempuan di sebelah Nova. Penjagaan diperketat? Perkataannya membuatku terkejut. Bagaimana caranya aku bisa keluar dari mansion ini jika situasinya semakin ketat? Sedangkan aku harus keluar untuk mencari Sarah.
“Kenapa sampai harus diperketat, Nova? Aku tidak perlu semua penjagaan ini,” ucapku dengan lantang.
“Ini semua demi kebaikan Nona. Supaya kejadian tadi tidak terulang. Kami juga menyiapkan pengawalan khusus di perpustakaan, tempat Anda menghabiskan waktu sepanjang hari,” jelasnya, meyakinkan aku.
Seketika terlintas di benakku, semua kertas yang kutemukan di perpustakaan. Sebuah pikiran mendesak membuatku berlari cepat menuju tempat itu,
“Tunggu Nona ...” Nova ikut mengejarku, disusul bodyguard baru itu.
Jantungku berdegup kencang. Aku menyusuri lorong-lorong mansion dengan tergesa-gesa, menuju perpustakaan. Dengan berusaha mengingat di mana aku meninggalkan semua kertas itu.
Ketika tiba di depan pintu perpustakaan, aku menarik napas dalam-dalam sebelum memasuki ruangan yang sejuk dan tenang dengan banyak penjaga di setiap sudut ruangan. Tampaknya benar kata Nova.
“Apa ada yang Anda butuhkan, Nona? Biar saya ambilkan buku yang sedang Anda cari,” ucap salah satu penjaga menawarkan bantuan padaku.
Aku tak peduli ucapan penjaga itu. Di pikiranku hanya ada kertas yang disembunyikan di laci meja milik mamaku. Aku berjalan menuju rak terakhir di ujung belakang perpustakaan, tempat meja itu berada,
“... Nona, Anda di mana?” Nova berteriak memanggilku, dia baru tiba di sini.
Aku berhasil menemukan meja itu. Meja dengan papan nama bertuliskan nama mamaku, aku segera menyentuh papan nama itu. Dengan menggesernya ke samping, papan itu bergerak dan lacinya terbuka.
Nyit ...
Ceklek!
Namun, aku melihat laci itu kosong, perasaan panik itu kembali menghampiriku. Aku ingat betul yang kulihat tadi siang. Dengan cepat, aku meraba setiap sudut rak, Semua kertas itu lenyap tak bersisa satu lembar pun.
“Di mana mereka?” tanyaku dalam hati, tak percaya dengan isi laci yang baru kulihat.
“Nona ...”
“Nova, apa kamu melihat kertas dalam laci ini?”
“Tidak,” jawabnya singkat. “Akan saya tanyakan pada pengawal yang berjaga di sini.”
Mustahil kertas-kertas itu hilang tidak sampai sehari. Pikiran ini terus berputar di benakku saat aku menatap seluruh ruangan dengan seksama. Aku harap ada lagi yang bisa kujadikan petunjuk.
“Bagaimana?” tanyaku pada Nova yang kembali setelah bertanya pada pengawal.
Nova menghembuskan napas berat. “Tidak ada,” katanya sambil menggelengkan kepala.
Kekecewaan menyelimuti hatiku. “Apa ada yang memasuki ruangan ini?” tanyaku lagi, harapanku masih tersisa meski sedikit.
“Setelah kejadian siang tadi, tidak ada yang datang ke mari. Pengawal di sini juga baru ditempatkan satu jam yang lalu,” jawab Nova.
Aku memegang pelipisku dengan kesal, kepalaku berdenyut-denyut. Pikiranku melayang, mencari solusi intuk masalah ini. Kertas-kertas itu seharusnya bisa menjelaskan segala rahasia yang telah disembunyikan keluargaku bertahun-tahun lamanya.
“Ha ... harus bagaimana aku menemukan petunjuk lagi?” desahku putus asa.
“Nona, sebaiknya Anda tanyakan langsung pada tuan,” lanjut Nova, memberi saran.
“Tidak bisa!” jawabku, nada suaraku sedikit lebih keras. “Papa pasti menutupi semua hal dariku.”
Tentu saja, papaku adalah orang yang selalu menyembunyikan kebenaran di balik senyuman hangat dan kata-kata lembutnya. Papa selalu menyuruhku untuk diam. Reega? Dia bahkan tidak ada di sini sekarang. Kalau pun ada, dia hanya akan memelukku sambil mengatakan ‘jangan khawatir’.
.........
Aku memutuskan untuk kembali ke kamar. Tidak ada gunanya berlama-lama di sini; hanya membuat kepalaku semakin pusing. Aku harus memikirkan cara lain untuk mendapatkan petunjuk.
“Nova, apa kamu bisa mengantarku kembali ke sekolahku besok?” tanyaku saat langkah membawaku kembali ke kamar.
“Maaf, Nona. Tuan melarang Anda untuk pergi keluar mansion,” jawabnya.
Sudah kuduga jawabannya akan seperti itu. Diriku seperti putri yang terkurung. Aku menghentikan langkahku dan memikirkan kemungkinan lain. Nova dan Tiana juga ikut berhenti di sampingku, kemudian mereka hanya diam melihatku frustasi.
Nova berkata dengan heran. “Kenapa Nona berhen-”
“Apa tidak bisa aku keluar sehari saja?” tanyaku, nada suaraku memelas, memohon pada mereka. “Dengan pengawalan seratus orang pun tidak apa-apa ...”
“Maaf ...” Nova tertunduk lesu, suaranya merendah, “saya mengatakan ‘kode itu’ terlalu terburu-buru ...”
“Kode ... apa ...?” aku berusaha memahami perkataan Nova, apa lagi yang sedang disembunyikan olehnya.
“Bukan apa-apa.” Nova kembali tersenyum, tetapi senyumnya itu terlihat dipaksakan. “Mari saya antar Nona kembali ke kamar.”
“Kode apa yang kamu maksud? Aku muak dengan semua orang yang merahasiakan sesuatu dariku.” Aku mendesaknya, mataku berkaca-kaca.
“Itu bukan hal penting,” jawab Tiana.
“Aku bertanya pada Nova, bukan kepadamu!” sentakku dengan tatapan tajam pada Tiana.
Nova tampak ragu. “Ah ... itu ...”
Menunggu Nova menjawab pertanyaanku terasa lama. Aku semakin kesal. Lalu aku berlari menuju kamarku meninggalkan dua orang itu yang masih diam terpaku di tempat.
.........
Sesampainya di kamar, aku duduk di tepi tempat tidur, mengamati jendela lebat yang terpampang di hadapanku. Suasana malam ini membuatku tidak bisa tidur. Dalam kegelapan, aku melihat setitik cahaya dari luar jendela.
Semakin lama, cahaya itu semakin besar. Aku mengamati dari dalam jendela, jantungku berdebar kencang. Pemandangan taman belakang dengan nyala api dan hembusan angin tampak jelas di mataku, menciptakan suasana yang mencekam.
“Itu ... api?” tanyaku pada diri sendiri, bingung dan cemas. “Apa pengawal tidak tahu ada kebakaran di luar?”
Aku memutuskan untuk mengeceknya. Meski malam sudah larut, rasa ingin tahuku mengalahkan rasa takut.
“Nona, Anda mau ke mana malam-malam begini?” tanya Nova, sembari mengikutiku dengan langkah cepat.
“Ke taman belakang!” jawabku tegas tanpa menoleh.
Sesampainya di luar, udara malam terasa dingin dan hembusan angin menyelimuti tubuhku. Dalam kegelapan, nyala api itu seolah memanggilku. Langkahku terhenti ketika aku melihat sosok laki-laki berdiri menghadap pusat api yang berkobar. Dalam genggamannya, kertas-kertas yang sedang kucari. Dia melemparkan kertas itu ke api, selembar demi selembar, seakan membakar semua harapan yang aku miliki.
“Reega? Sedang apa di sini?”
.........
dari judulnya udah menarik
nanti mampir dinovelku ya jika berkenan/Smile//Pray/
mampir di novel aku ya kasih nasihat buat aku /Kiss//Rose/