Setelah terbangun dari mimpi buruk di mana ia dibunuh oleh pria yang diam-diam ia kagumi, Ellison, Queen merasa dunianya berubah selamanya.
Sejak hari itu, Queen memutuskan untuk tidak lagi terlibat dalam kehidupan Ellison. Dia berhenti mengejar cintanya, bahkan saat Ellison dikelilingi oleh gadis-gadis lain. Setiap kali bertemu Queen akan menghindar- rasa takutnya pada Ellison yang dingin dan kejam masih segar dalam ingatan.
Namun, segalanya berubah saat ketika keluarganya memaksa mereka. Kini, Queen harus menghadapi ketakutannya, hidup dalam bayang-bayang pria yang pernah menghancurkannya dalam mimpinya.
Bisakah Queen menemukan keberanian untuk melawan takdirnya? Mampukah dia membatalkan pertunangan ini atau takdir memiliki rencana lain untuknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Rhea terbangun, terpapar cahaya matahari yang menyeruak masuk lewat celah jendela. Sekilas, dia mendapati langit-langit kamar yang tidak biasa, kedipan matanya berusaha memahami situasi.
Kemudian, dia berusaha duduk sambil menahan kepalanya yang berdenyut sakit. Ruangan itu diperhatikannya dengan pandangan yang kabur, tanda-tanda memori semalam berusaha ia rangkai kembali.
Namun, seketika itu pula, realisasi pahit menyergapnya. Rhea menyadari tubuhnya telanjang, lebam memar di sana-sini. Segera, dia meraih selimut tebal, menutupi ketelanjangan yang memperburuk luka di hatinya.
Air mata jernih mengalir turun membasahi pipinya, tangannya yang lemas menutupi wajahnya, mencoba meredam tangis yang menggema dalam kesunyian.
Saat pintu kamar berderit terbuka, Rhea mengalihkan pandangannya, sudah terduga sosok di balik pintu. Kyra, sahabatnya, tampak di ambang pintu dengan wajah panik.
Segera dia berlari mendekat, tangan terulur mencoba mengusap air mata Rhea, sambil memeluknya erat.
"Rhea," suaranya parau tercekat, kata-kata hilang, tersisa isakan yang menandai kepedulian dan ketakutan yang mendalam.
Rhea menggigil,"Gue kotor, Ra," suaranya tercekat.
Kyra tak bisa menahan rasa iba melihat sahabatnya yang biasanya tegar itu tengah rapuh. Ia dengan cepat mendekap Rhea, berharap bisa memberikan sedikit kenyamanan. Tetapi, tak lama kemudian, Rhea melemas dalam pelukannya, tak bergerak.
Panik, Kyra segera membawa Rhea ke rumah sakit. Dia terus memandangi wajah pucat Rhea yang terbaring tak sadarkan diri, merasa tak berdaya.
Rumah sakit menjadi semakin menekan bagi Kyra, yang tahu Rhea tidak memiliki siapa-siapa lagi di dunia ini. Pada saat itulah, ia teringat ada seseorang yang harus ia hubungi.
Kyra mengeluarkan ponselnya dengan tangan gemetar dan menekan nomor yang sudah ia hafal.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti abadi, suara di seberang sana menjawab dengan suara berdehem. "Terjadi sesuatu pada Rhea. Dia di rumah sakit," ucap Kyra, suaranya terbata.
Sejenak, hanya keheningan yang memenuhi udara di antara mereka sebelum suara di seberang akhirnya memecah keheningan, "Kami akan ke sana."
***
Di ruang inap rumah sakit, udara tegang menyelimuti semua yang hadir. Kyra, wajahnya pucat, memanggil inti the devil ke ruangan Rhea.
Gio dan yang lainnya, dengan langkah terburu, menghampiri dan langsung bertanya, "Apa yang terjadi pada Rhea?"
Kyra menghela nafas berat. "Gue enggak tahu pasti, cuman Rhea semalam enggak kembali ke apartemen. Gue udah cari di tempat-tempat yang biasa dia kunjungi, tapi dia tak ada di sana."
Matanya berkaca-kaca saat ia melanjutkan, "Gue akhirnya melacak ponselnya dan menemukannya di sebuah hotel, dalam kondisi... dalam kondisi tak terbayangkan."
Dion, dengan nada tinggi dan penuh kekhawatiran, memotong, "Kenapa lo enggak hubungi kami lebih awal?"
Kyra, lelah dan frustrasi, menjawab, "Gue udah coba hubungi kalian, tapi enggak ada yang angkat. Kalian semua... dimana semalam?"
Sean, yang terlihat sangat bersalah, menunduk. "Maaf, kami semua mabuk berat semalam."
Di tengah keheningan yang mencekam, sebuah suara lemah terdengar.
"Ughh..."
Rhea membuka matanya perlahan. Dia terbangun, mencoba bangkit dengan bantuan Kyra yang segera mendekapnya, menopang tubuh lemah sahabatnya itu.
Ellison menghampiri Rhea dengan ekspresi khawatir. "Gimana perasaan lo sekarang?" tanyanya lembut.
Rhea, dengan pandangan kosong, melirik Ellison seolah pertanyaan itu tak layak dijawab. Wajahnya dingin, emosi terselubung.
"Kenapa diam? lo enggak punya mulut?" desak Ellison, nada suaranya meninggi sedikit karena frustrasi.
Rhea meletus, matanya menatap tajam ke mata Ellison,"Ini semua gara-gara tunangan bodoh lo itu!"
Geo, yang berdiri tak jauh dari mereka, terkejut.
"Maksud lo Vale, kok bisa?" tanyanya, bingung.
"Iya!" seru Rhea, suaranya masih tinggi dan penuh kekesalan. "Kalian mungkin enggak akan percaya, tapi dia yang rusak hidup gue!"
Ellison terdiam, mendengarkan tanpa memotong, sementara Rhea terus meluapkan isi hatinya, "Enggak sengaja gue ketemu dj di klub. Dia ngajak gue minum, dan gue enggak nyadar dia masukin obat perangsang ke dalam minuman gue. Gue tahu karena tiba-tiba badan gue panas dan berakhir di hotel"
Suara Rhea perlahan menurun, seolah kelelahan mengingat kembali kenangan pahit itu.
Ellison hanya bisa mendengarkan, hatinya berat, matanya tidak bisa lepas dari wajah muram Rhea.
Ellison menggenggam tangannya erat-erat, rahangnya mengencang dan matanya berkilat dengan emosi yang membara.
Bukan rasa sakit karena peduli kepada Rhea, rasa tanggungjawab terhadap Rhea yang gagal. Dan dia juga tidak menyangka Queen masih seperti dulu, antagonis tetap antagonis.
"Gue enggak nyangka," kata Dion dengan nada penuh kekecewaan, "ternyata minta maafnya palsu"
Suara Ellison terdengar begitu dingin, seolah membekukan udara, "Gio, bawa gadis itu ke markas utama."
Gio yang mendapat perintah itu terpaku, terkejut dengan perintah Ellison, sekaligus terkejut seolah tidak bisa mempercayai apa yang baru saja terungkap.
Sean yang menyadari kebingungan Gio, memberikan tepukan di bahu temannya itu. "Ya, gue akan jemput dia dari sekolah," sahutnya.
Ellison yang dipenuhi emosi yang tinggi, berjalan keluar dengan wajah yang tampak mengerikan, diikuti oleh teman-temannya yang setia.
Gio masih belum bergeming, matanya yang tajam masih menatap Rhea, seakan ada kata-kata yang ingin disampaikan.
"kalo sampe lo boongin kita, terutama Lison, lo enggak akan bisa hidup tenang, Rhea," uaco Gio sebelum keluar dari kamar inap.
Mata Rhea terpaku pada pintu yang baru saja ditutup oleh Gio, suaranya masih menggema di ruangan itu, menambah tekanan pada hatinya yang sudah berat.
Dia mengalihkan pandangannya ke Kyra yang tengah duduk di depannya, wajahnya penuh kekhawatiran dan rasa ingin tahu.
"Benar lo dijebak Vale? Dan bagaimana bisa?" tanya Kyra, matanya menatap tajam ke arah Rhea, mencari kejujuran di balik kedipan matanya.
Rhea menghela napas, bibirnya menyunggingkan senyum sinis. "Menurut lo?" balasnya dengan nada menantang. Senyumnya semakin lebar, seolah-olah dia memiliki rahasia yang tak terduga.
Kyra mengerutkan kening, bingung dengan reaksi Rhea. "Jangan bilang lo jebak Vale, Rhea?emang lo gak takut apa sama Lison?" tanyanya lagi, suaranya meninggi, penuh kecemasan. "Gue aja di samping tuh cowok, ngeri! "
Rhea tertawa kecil, suaranya rendah namun penuh kepuasan. "Kyra, lo pikir gue bodoh? Gue tahu batasan, gue yakin Lison enggak akan marah saat tahu kebenarannya, Lison kan enggak suka sama Vale. Lagian gue hanya bermain sedikit dengan gadis sialan itu, biar dia tahu posisinya," jawab Rhea dengan nada menggoda, matanya berkilat dengan rasa kemenangan yang nyata.
Kyra menatap Rhea dengan rasa tak percaya dan kecewa, hatinya berat mengetahui bahwa Rhea mungkin benar-benar telah melampaui batas. Kedua wanita itu terdiam, ruangan dipenuhi dengan ketegangan yang terasa akan pecah setiap saat.
"Semoga lo enggak nyesel, Rhea" harapan Kyra.
seru cerita nya🙏
GK jd mewek UIN🤭