Mira Elvana tidak pernah tahu bahwa hidupnya yang tenang di dunia manusia hanyalah kedok dari sesuatu yang jauh lebih gelap. Dibalik darahnya yang dingin mengalir rahasia yang mampu mengubah nasib dua dunia-vampir dan Phoenix. Terlahir dari dua garis keturunan yang tak seharusnya bersatu, Mira adalah kunci dari kekuatan yang bahkan dia sendiri tak mengerti.
Ketika dia diculik oleh sekelompok vampir yang menginginkan kekuatannya, Mira mulai menyadari bahwa dirinya bukanlah gadis biasa. Pelarian yang seharusnya membawa kebebasan justru mempertemukannya dengan Evano, seorang pemburu vampir yang menyimpan rahasia kelamnya sendiri. Mengapa dia membantu Mira? Apa yang dia inginkan darinya? Pertanyaan demi pertanyaan membayangi setiap langkah Mira, dan jawabannya selalu membawa lebih banyak bahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon revanyaarsella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 24: Puncak Amarah
Mira berdiri di tengah hutan, napasnya berat, tertahan oleh kegelisahan yang menyesakkan dada. Udara malam yang seharusnya menyejukkan kini terasa seperti selimut panas yang melilit tubuhnya. Di sekelilingnya, bayangan pepohonan seolah bergerak mengikuti irama jantungnya yang berdetak cepat dan tidak beraturan. Setiap langkah yang ia ambil membuat tanah di bawahnya bergemuruh pelan, tanda bahwa energi dalam dirinya mulai tak terkendali.
Evano, dengan tatapan tenangnya yang begitu kontras dengan kekacauan dalam diri Mira, berdiri tidak jauh darinya. Diam-diam, ia mengamati setiap perubahan emosi yang melintas di wajah gadis itu. Tidak ada emosi yang terlihat jelas pada raut wajahnya, tetapi dalam sorot matanya, ada sesuatu yang lebih dalam—tekanan, harapan, dan kesabaran yang perlahan-lahan terkikis oleh waktu yang semakin sempit.
"Fokus, Mira!" Suara Evano memecah keheningan. Nada suaranya tegas namun tenang, penuh otoritas tetapi tidak mendominasi. “Kau tak bisa membiarkan emosimu mengendalikan kekuatanmu. Kau tahu apa yang terjadi jika kau kehilangan kendali.”
Mira menggeleng cepat, giginya gemeretak menahan amarah yang semakin sulit ia pahami. “Aku mencoba, Evano, tapi... aku bisa merasakannya! Sesuatu dalam diriku ingin keluar, dan aku tak tahu bagaimana mengendalikannya!” Suaranya bergetar, campuran ketakutan, frustrasi, dan rasa tidak berdaya. Setiap kata yang ia ucapkan terasa seperti ledakan kecil yang semakin membebani pikirannya.
Tangan Mira bergetar, dan seiring dengan itu, api kecil tiba-tiba muncul di telapak tangannya, bergerak liar mengikuti ritme detak jantungnya yang semakin tak terkendali. Panas yang muncul dari api tersebut segera menyebar ke seluruh tubuhnya, membuat kulitnya memanas, dan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Mira memejamkan mata, berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan diri, tetapi api tersebut malah semakin membesar. Tubuhnya kini terasa seperti gunung berapi yang siap meledak, menunggu saat yang tepat untuk menghancurkan apa pun di sekitarnya.
Evano melangkah maju, suaranya berubah lebih lembut namun tetap penuh kendali. "Itu bukan musuhmu, Mira. Emosimu adalah bagian dari kekuatanmu, tapi kau harus belajar memahaminya. Jika kau terus melawan, kau akan kalah. Dan saat itu terjadi, tidak ada yang bisa menyelamatkanmu."
Mira membuka mata, tatapannya penuh amarah dan keputusasaan. "Bagaimana mungkin kau bisa tenang?" teriaknya, suaranya parau. "Kau tak tahu bagaimana rasanya! Ini seperti... aku akan meledak setiap saat! Aku tak bisa mengendalikannya!"
Evano menatapnya dalam diam sejenak, membiarkan kata-kata itu terbang bersama angin malam. Ia tidak terburu-buru untuk menjawab, memberikan Mira ruang untuk melampiaskan emosi yang sudah menguasai dirinya. Setelah beberapa saat, ia akhirnya berbicara, namun kali ini dengan suara yang lebih lirih dan dalam. "Aku tahu lebih dari yang kau kira, Mira."
Kata-kata itu membuat Mira terdiam. Amarah yang tadinya begitu menyala dalam dirinya mulai mereda, digantikan oleh kebingungan dan rasa penasaran. Tatapannya berubah, seolah mencari makna di balik kata-kata Evano. “Apa maksudmu?” tanya Mira, suaranya pelan namun penuh tekanan.
“Setiap keturunan campuran seperti kita akan menghadapi hal yang sama,” jawab Evano perlahan, dengan nada suara yang penuh kesabaran. “Pertarungan internal, antara siapa kita dan kekuatan yang mengalir dalam darah kita. Kau adalah keturunan Phoenix dan vampir. Dua entitas yang sangat bertolak belakang, namun kau memiliki keduanya dalam dirimu. Pertentangan itu adalah sesuatu yang tak bisa dihindari. Tapi aku percaya, jika kau bisa menyatukan keduanya, kau akan menjadi lebih kuat dari apa pun yang pernah ada."
Mira terisak pelan, air mata yang sudah lama ditahannya akhirnya jatuh, menetes di pipinya yang memerah. "Tapi aku takut, Evano. Bagaimana jika aku gagal?" suaranya terdengar lirih, hampir tak terdengar.
Evano mendekat, menempatkan kedua tangannya di bahu Mira, memaksanya untuk menatap langsung ke dalam matanya. "Aku di sini bersamamu. Aku takkan membiarkanmu jatuh. Tapi kau harus percaya pada dirimu sendiri. Hanya dengan begitu kau bisa menemukan jalanmu."
Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, Mira merasakan sedikit ketenangan. Api di tangannya mulai mengecil, menyatu dengan udara malam yang dingin hingga padam sepenuhnya. Namun, perasaan itu tidak sepenuhnya hilang—kekuatan itu masih ada, masih mengintai di dalam dirinya, menunggu saat yang tepat untuk muncul kembali.
Evano menarik napas panjang, matanya masih terfokus pada Mira. "Kita akan mulai dari awal lagi. Latihan ini tidak akan mudah, tetapi ini adalah satu-satunya cara. Kendalikan napasmu. Rasakan api itu dalam dirimu, biarkan ia mengalir, tapi jangan biarkan ia menguasaimu."
Mira menarik napas dalam-dalam, kali ini dengan lebih hati-hati. Matanya terpejam, dan ia membiarkan panas yang sempat mengancam dirinya tadi mengalir melalui tubuhnya, namun kali ini tanpa melawan. Perlahan, dia mulai merasakan kontrol kembali, meskipun hanya sedikit. Setiap tarikan napasnya menjadi lebih teratur, lebih stabil. Api itu masih ada, tetapi tidak lagi liar. Ia telah menemukan pijakan awal untuk mengendalikannya.
Evano tersenyum tipis, sorot matanya menunjukkan kebanggaan kecil yang ia sembunyikan. "Bagus, Mira. Kau sudah mulai menguasainya. Tapi ingat, ini baru permulaan. Kekuatanmu masih jauh lebih besar dari apa yang kau rasakan sekarang, dan kau harus siap menghadapinya."
Mira mengangguk pelan, meski di dalam hatinya masih ada rasa takut. Tak ada kata yang bisa ia ucapkan untuk menggambarkan apa yang ia rasakan saat ini. Namun kali ini, dia tahu bahwa dia tidak sendirian. Dengan bantuan Evano, dia akan menemukan cara untuk mengendalikan api yang bergejolak dalam dirinya—dan menemukan siapa dirinya sebenarnya di antara dunia api dan malam.
Tetapi perasaan mendesak itu tidak akan hilang begitu saja. Waktu semakin menipis, dan Mira bisa merasakan kehadiran musuh-musuh yang tak terlihat, bergerak mendekat dengan setiap detik yang berlalu. Hutan yang tadinya tenang kini terasa penuh dengan energi yang tidak bersahabat. Sesuatu sedang menunggu di luar sana, dan Mira tahu bahwa tidak ada jalan lain selain maju.
Evano merasakan perubahan itu juga. Ia melihat ke arah pohon-pohon yang menjulang tinggi, matanya menyipit penuh waspada. "Mira," katanya dengan suara rendah, hampir berbisik. "Kita tidak sendiri di sini."
Mira merasakan napasnya tertahan. Ketakutan yang sempat mereda kini kembali dengan intensitas yang lebih besar. Namun kali ini, dia tidak akan lari. Dia akan menghadapi apa pun yang datang, bersama kekuatannya—bersama api yang ada dalam dirinya.
Dan untuk pertama kalinya, meski hanya sebentar, Mira merasakan keberanian yang tumbuh dari dalam dirinya. Api yang pernah mengancam untuk menghancurkannya kini menjadi bagian darinya—sesuatu yang ia pelajari untuk dikendalikan, bukan lagi sebagai ancaman, tapi sebagai senjata.
Tapi akankah itu cukup? Saat bayangan-bayangan mulai bergerak mendekat, Mira tahu bahwa pertempuran yang sebenarnya baru saja dimulai.