NovelToon NovelToon
Dolfin Band Kisahku

Dolfin Band Kisahku

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Duniahiburan / Reinkarnasi / Persahabatan / Fantasi Isekai / Sistem Kesuburan
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: F3rdy 25

Di tengah gemuruh ombak kota kecil Cilacap, enam anak muda yang terikat oleh kecintaan mereka pada musik membentuk Dolphin Band sebuah grup yang lahir dari persahabatan dan semangat pantang menyerah. Ayya, Tiara, Puji, Damas, Iqbal, dan Ferdy, tidak hanya mengejar kemenangan, tetapi juga impian untuk menciptakan karya yang menyentuh hati. Terinspirasi oleh kecerdasan dan keceriaan lumba-lumba, mereka bertekad menaklukkan tantangan dengan nada-nada penuh makna. Inilah perjalanan mereka, sebuah kisah tentang musik, persahabatan, dan perjuangan tak kenal lelah untuk mewujudkan mimpi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon F3rdy 25, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PANGGUNG JAKARTA, AWAL PERTARUNGAN TERBESAR

Perjalanan menuju Jakarta terasa seperti mimpi yang panjang. Jalanan padat menuju ibu kota tidak mengurangi semangat Dolfin Band sedikit pun. Di dalam mobil yang dipenuhi alat musik, tas besar, dan energi penuh harapan, semua anggota saling berbagi pikiran dan lelucon untuk mengusir rasa gugup yang semakin meresap.

Ferdy yang menyetir terlihat tenang, tetapi sesekali ia melirik kaca spion, melihat Ayya yang duduk di belakang dengan tatapan kosong ke luar jendela. Ayya selalu punya cara sendiri untuk menenangkan dirinya, biasanya dengan tenggelam dalam pikirannya sendiri sebelum pertunjukan besar. Tiara di sebelahnya sudah tertidur sejak satu jam yang lalu, kepalanya bersandar ke kursi, berusaha mengumpulkan tenaga untuk apa yang akan mereka hadapi.

Di mobil kedua, Puji, Damas, dan Iqbal duduk diam sambil mendengarkan musik dari speaker mobil yang kecil. Mereka membiarkan alunan gitar dari lagu-lagu rock klasik menemani mereka. Terkadang, satu dari mereka akan menggumamkan lirik atau memainkan udara seolah-olah sedang berada di panggung. Tapi jauh di dalam, semua orang tahu bahwa Jakarta akan menguji mereka lebih dari yang pernah mereka bayangkan.

Damas menghela napas panjang dan menoleh ke arah Puji yang tengah memainkan ritme gitar dengan jari-jarinya di lutut. "Gue udah nggak sabar, Puji. Ini kesempatan kita buat nunjukin siapa kita."

Puji hanya mengangguk, pandangannya lurus ke jalan. "Iya, Dam. Gue juga ngerasa gitu. Tapi kita harus ingat, kita nggak bisa terlalu santai. Jakarta ini lain cerita. Band-band yang bakal kita lawan semuanya kuat."

Iqbal yang berada di kursi belakang ikut menyahut. "Gue udah nyiapin semuanya. Kalau kita mainnya fokus, nggak ada alasan buat gagal."

---

Ketika akhirnya mereka tiba di Jakarta, matahari mulai terbenam, dan lampu-lampu kota mulai menyala. Gedung-gedung tinggi dan jalanan sibuk yang penuh dengan kendaraan membuat mereka terdiam sejenak. Jakarta adalah dunia yang berbeda dari Cilacap, dunia yang lebih keras, lebih cepat, dan lebih kejam. Namun, di balik keraguan yang menyelinap, ada satu hal yang jelas: mereka sudah berada di sini, dan tidak ada jalan untuk mundur.

Mereka langsung menuju hotel yang telah disediakan oleh panitia Rock Island. Hotel itu terletak tidak jauh dari lokasi acara, tempat di mana mereka akan berkompetisi dalam salah satu festival rock terbesar di Indonesia. Setelah check-in dan mendapatkan kamar mereka masing-masing, Dolfin Band berkumpul di lobi untuk berdiskusi singkat.

"Besok kita udah mulai gladi resik," ujar Ferdy sambil memegang ponselnya, membaca jadwal yang baru dikirim panitia. "Kita dapet giliran siang, jadi malam ini kita bisa istirahat."

Ayya yang sudah duduk di kursi lobi menghela napas lega. "Bagus, jadi kita punya waktu buat tidur nyenyak malam ini."

Namun, Puji terlihat sedikit gelisah. "Tidur boleh, tapi jangan terlalu santai. Besok bakal penuh tantangan. Band-band lain pasti udah siap banget, dan kita nggak bisa kalah mental."

Tiara menimpali dengan nada lembut. "Santai aja, Puji. Kita udah siap. Sekarang yang penting jaga tenaga dan pikiran."

Setelah berbincang sebentar, mereka memutuskan untuk kembali ke kamar masing-masing. Malam itu, suasana kamar terasa berat dengan campuran kegugupan dan antusiasme. Ayya dan Tiara berbicara pelan di kamar mereka, mencoba mengalihkan perhatian dengan membicarakan hal-hal kecil, sementara di kamar sebelah, Ferdy, Iqbal, Puji, dan Damas duduk di tempat tidur, masih memikirkan bagaimana penampilan mereka esok hari.

"Kalau kita salah satu dari sepuluh besar besok, gue bakal traktir kalian semua," kata Ferdy sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.

Iqbal tertawa pelan. "Gue pegang kata-kata lo."

---

Keesokan harinya, matahari bersinar terang ketika mereka tiba di lokasi gladi resik. Panggung besar yang akan menjadi arena pertarungan sudah berdiri megah, dihiasi dengan logo besar Rock Island yang berkilauan di bawah sinar matahari. Tim panitia dan kru sibuk mempersiapkan segala sesuatu, mulai dari tata cahaya hingga pengaturan alat musik.

Ferdy dan teman-temannya berdiri di tepi panggung, memperhatikan band-band lain yang sedang bersiap-siap. Beberapa di antara mereka sudah pernah tampil di panggung besar, band-band dari Jakarta yang namanya sudah dikenal luas. Tetapi Ferdy tidak merasa gentar. Dolfin Band telah melalui banyak hal untuk sampai di sini, dan mereka tidak akan kalah hanya karena intimidasi mental.

"Band lo keren juga," tiba-tiba seorang pria berambut gondrong yang berdiri di dekat mereka berbicara. "Gue nonton lo di Semarang. Lo Dolfin Band, kan?"

Ferdy menoleh, agak terkejut. "Iya, bener. Lo nonton kita di Semarang?"

Pria itu mengangguk. "Iya. Gue juga ikut di sini, nama band gue The Broto. Kita lolos dari Semarang juga."

Damas tersenyum lebar. "Oh, jadi lo The Broto. Kita bakal satu panggung lagi nih?"

Pria itu tertawa kecil. "Kayaknya begitu. Tapi santai aja, gue nggak bakal jual mahal. Lo semua keren, gue suka energi lo."

Ferdy mengulurkan tangan. "Ferdy, vokalis. Kenalin."

Pria itu menyambut tangannya. "Gue Akam, vokalis juga."

Obrolan mereka mengalir ringan, dan dari situ, terlihat bahwa meskipun ada persaingan, persahabatan antar band mulai terbentuk. Mereka semua tahu, tantangan terbesar mereka bukan hanya para peserta lain, tetapi juga diri mereka sendiri.

---

Sore itu, Dolfin Band mendapat giliran untuk melakukan gladi resik. Mereka naik ke atas panggung dengan perasaan sedikit gugup, tetapi Ferdy mencoba menjaga ketenangannya. Saat mereka mulai memainkan lagu pertama, suara instrumen mereka memenuhi udara, memantul di antara dinding-dinding besar venue. Meski belum ada penonton, atmosfir sudah terasa tegang.

Setelah latihan selesai, Ayya merasa sedikit lega. "Kita udah siap, gue bisa ngerasain itu."

"Semoga besok kita tampil lebih gila lagi," tambah Iqbal sambil menatap alat drumnya.

Puji tersenyum puas. "Gue rasa kita bakal bikin kejutan besok."

Namun, di tengah percakapan mereka, mata Ferdy tertuju pada satu sosok yang duduk di bangku penonton, memperhatikan mereka dari jauh. Sosok itu mengenakan jaket kulit hitam, dengan wajah yang tampak serius, seolah-olah sedang menilai penampilan mereka. Pria itu tak dikenal oleh Ferdy, tetapi ada sesuatu yang mengganggunya.

"Kalian ngeliat cowok itu nggak?" Ferdy bertanya sambil mengangguk ke arah pria di bangku penonton.

Ayya menoleh, mengikuti pandangan Ferdy. "Iya, siapa dia?"

"Sialan, keliatan kayak juri yang galak," canda Damas sambil tertawa kecil.

Mereka tidak terlalu memikirkannya, tetapi rasa penasaran tetap ada di benak Ferdy. Apakah pria itu juri, atau mungkin hanya pengamat biasa? Apa pun jawabannya, Ferdy memutuskan untuk tidak terlalu larut dalam spekulasi dan fokus pada penampilan mereka besok.

---

Malam itu, mereka kembali ke hotel dengan suasana hati yang campur aduk. Besok adalah hari penentuan, dan tekanan semakin terasa. Ayya dan Tiara memilih untuk berdiam diri di kamar, sambil melakukan beberapa peregangan vokal dan latihan ringan. Ferdy duduk di balkon kamar hotel, menatap ke langit Jakarta yang dipenuhi lampu-lampu kota.

Puji, Damas, dan Iqbal masih berbincang di lobi hotel, mencoba mengalihkan pikiran dari kecemasan yang mereka rasakan.

"Gue ngerasa, besok tuh... gimana ya, kayak sesuatu yang gede banget bakal terjadi," ucap Iqbal sambil memainkan gelas kopi di tangannya.

Damas menatapnya, tersenyum tipis. "Iya, kita semua ngerasain itu, Bal. Tapi kita siap buat itu."

---

Hari yang dinantikan pun tiba. Jakarta terasa berbeda hari itu. Ada sesuatu di udara yang membuat jantung berdetak lebih cepat, mungkin karena kompetisi ini tidak hanya soal menang atau kalah, tapi soal keberanian untuk menunjukkan siapa diri mereka yang sebenarnya.

Panggung utama Rock Island dipenuhi ribuan penonton. Suara riuh penonton yang mengalir dari sudut-sudut panggung membuat semua band merasa seperti berada di dalam kawah raksasa yang mendidih. Sebagian besar dari mereka adalah pecinta musik rock yang datang dari berbagai penjuru negeri hanya untuk melihat pertarungan antara band-band terbaik di Indonesia.

Ketika tiba giliran Dolfin Band untuk tampil, perut Ferdy terasa seperti diisi oleh ribuan kupu-kupu. Ia

menatap teman-temannya, mengangguk pelan, memberi tanda bahwa ini adalah saatnya. Mereka naik ke panggung dengan langkah mantap, memandang ke arah penonton yang tak terhitung jumlahnya.

"Ladies and gentlemen, please welcome, Dolfin Band!" seru MC dari atas panggung.

Teriakan penonton menggema, memenuhi udara dengan energi yang luar biasa. Tanpa membuang waktu, Dolfin Band langsung meluncurkan lagu pembuka mereka. Ayya mengalirkan vokalnya dengan penuh semangat, Tiara menghentak bassnya dengan irama yang kuat, dan Ferdy, Damas, serta Puji mengisi suara dengan dentuman gitar dan keyboard yang menggelegar. Iqbal, dengan setiap ketukan drum-nya, seperti menyatukan seluruh energi band menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Penampilan mereka malam itu bagaikan ledakan emosi yang tak terbendung. Penonton berteriak, melompat, dan mengikuti setiap irama yang mereka mainkan. Bahkan beberapa orang di barisan depan mulai bernyanyi bersama, menciptakan paduan suara spontan yang membuat suasana semakin membara.

Saat lagu terakhir mereka berakhir dengan dentuman yang memekakkan telinga, Ferdy mengangkat tangannya, memandang ke arah penonton yang masih teriak histeris.

"Terima kasih, Jakarta! Kami Dolfin Band!"

Sorakan penonton membanjiri mereka, dan untuk sekejap, dunia terasa melambat. Mereka telah memberikan yang terbaik, dan sekarang, semuanya tergantung pada penilaian juri.

Di balik panggung, saat mereka turun dengan napas yang masih memburu, Ferdy merasakan ada tangan yang menyentuh pundaknya. Ia menoleh dan melihat pria dengan jaket kulit hitam yang kemarin dia lihat.

"Kalian luar biasa," kata pria itu dengan suara rendah tapi jelas. "Saya nggak sering melihat band dengan energi seperti kalian."

Ferdy hanya bisa tersenyum, masih terengah-engah. "Terima kasih, Pak."

Pria itu mengangguk pelan, lalu berjalan pergi sebelum Ferdy sempat bertanya lebih jauh. Siapa sebenarnya pria itu?

1
Murni Dewita
👣
☠️F3r57☠️: /Smile/
total 1 replies
范妮·廉姆
Hai kak salam kenal...
saya Pocipan ingin mengajak kaka untuk bergabung di Gc Bcm
di sini kita adakan Event dan juga belajar bersama dengan mentor senior.
jika kaka bersedia untuk bergabung
wajib follow saya lebih dulu untuk saya undang langsung. Terima Kasih.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!