"Apa dia putrimu yang akan kau berikan padaku, Gan...?!!" ujar pria itu dengan senyuman yang enggan untuk usai.
Deg...!!
Sontak saja otak Liana berkelana mengartikan maksud dari penuturan pria tua berkelas yang berada di hadapannya tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itsaku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salah Pilih Rival
Liana kembali memperhatikan penampilannya di depan cermin. Ini kali pertama seorang Liana memakai busana formal, karena dia harus mendampingi Haris menghadiri sebuah pertemuan.
Haris yang kembali masuk ke kamar hotel, dibuat terkejut dengan penampilan Liana yang tak seperti biasanya. Namun dia segera menepis perasaan kagum itu, dan kembali mengingatkan dirinya sendiri bahwa Vanya tetap yang terbaik.
"Sudah siap?" tanya Haris setelah berhasil mengontrol perasaannya.
"Mas..., menurut mas ini sudah baik belum? Aku nggak mau membuat mas Haris malu nantinya. Nggak norak kan? Coba mas perhatikan, deh...!" Liana terus menatap pantulan dirinya sendiri di cermin.
"Bagus. Ayo berangkat...!" hanya itu reaksi Haris.
Pertemuan tahunan yang dihadiri oleh para pebisnis itu diadakan di hotel yang sama. Kakek Sudibyo memang sengaja memilih hotel yang sama untuk mempermudah keduanya.
Di aula pertemuan sudah dipenuhi banyak undangan. Mereka adalah orang-orang hebat di bidangnya. Tidak ada yang berpenampilan biasa saja. Semua tampak sangat berkelas dengan barang mewah yang mereka miliki. Liana sedikit menciut, lantaran dia berasal dari keluarga yang biasa saja. Tidak sama seperti mereka.
"Pak Adiguna..." gumam Haris pelan, namun Liana bisa mendengarnya.
"Mas, ada apa?" tanya Liana.
Liana mencoba mengikuti arah pandang Haris, namun dia tidak bisa memastikan mana orang yang sedang diperhatikan oleh suaminya itu.
"Lihatlah, cucu tuan Sudibyo sudah tiba..." ujar seseorang di sana.
Mendengar intonasinya saja Liana sudah bisa merasakan, bahwa hubungan keduanya tidaklah baik.
"Apa kabar, bos muda?" sapa seseorang lagi.
"Baik, om." balas Haris dengan sopan. "Lian, kenalkan ini om Banu." ujar Haris sambil mengusap bahu sang istri.
Liana menyalami pak Banu dengan sopan, tak lupa senyum khasnya yang ramah.
"Kalian bersama? Syukurlah...!" sahut orang yang menyapa Haris di awal. Dia adalah pak Adiguna.
"Bukankah waktu itu kalian bahkan tidak berkenan duduk berdampingan dalam pesawat...?!" cibir pria tua seusia kakek Sudibyo itu dengan senyuman yang meremehkan.
"Tapi wanita yang bersamamu waktu itu cukup cantik dan berkelas, Haris. Pantas saja kamu mengabaikan istrimu..." kali ini pak Adiguna melihat Liana dari ujung rambut hingga kakinya.
"Lumayan juga..., ayu kinyis-kinyis...!" batin pak Adiguna bertolak belakang dengan ucapan yang secara tak langsung menghina Liana.
"Sepertinya dia biang keladinya..." umpat Haris dalam hatinya.
"Jangan-jangan orang ini yang mengirim mata-mata...??!" Liana pun memikirkan hal sama dengan Haris.
"Sudahlah..., jangan membahas masalah pribadi." tegur pak Banu. "Ayo Haris, nona Liana, nikmati acaranya." ujarnya lagi.
"Ini sudah bukan masalah pribadi lagi, Banu..." sahut pak Adiguna. "Sebentar lagi seluruh dunia akan tahu. Sudibyo yang diakui sebagai pebisnis ulung, ternyata tidak mampu mendidik cucunya." dia melirik Haris dengan tatapan yang sangat merendahkan.
Haris sangat terpancing emosinya, ketika seseorang menjelekkan keluarganya. Tangan Haris tampak terkepal, siap melayangkan bogeman pada si pria tua yang cerewet itu.
Sedangkan Liana mulai memutar bola matanya malas, ini mengingatkan dirinya setiap kali berdebat dengan ibu dan adik tirinya.
"Mas..." Liana mengusap lengan Haris dengan lembut.
Anehnya sentuhan tangan Liana itu, mampu melembutkan hatinya yang tengah termakan amarah. Haris pun terdiam. Lalu Liana maju selangkah ke hadapan pak Adiguna.
"Maaf sebelumnya..." ujar Liana dengan suara yang tetap lembut.
Pak Adiguna dan pak Banu menatap Liana yang masih berada tepat di hadapan mereka.
"Apakah buyutnya anda, yang mengajarkan anda untuk ikut campur urusan rumah tangga orang lain?" celetuk Liana tanpa sungkan.
"Anda bahkan mengatakan, kalau orang lain tidak bisa mendidik cucunya. Saya kok jadi curiga, ya. Dengan sikap anda yang seperti ini, apakah bisa mendidik cucu anda dengan baik?!" ujarnya dengan berani.
"Kamu...!!" akhirnya geraman penuh amarah keluar dari mulut kakek tua itu.
Haris dan pak Banu sangat tidak percaya kalau Liana akan melakukan hal itu. Bahkan Haris tak berniat buka suara, dia ingin melihat sampai mana keberanian Liana.
"Tunggu...!!" Liana mengangkat tangannya. "Saya belum selesai..." Liana tersenyum pada pak Adiguna.
"Apa menurut anda, anda berusaha menjatuhkan seseorang dengan cara mengorek kehidupan pribadinya itu termasuk sesuatu yang wow..., begitu?! Tidak..., anda salah besar. Rival anda bukannya jatuh, malah bisa melambungkan namanya lebih tinggi. Justru yang ada..., hal itu menunjukkan sisi buruk anda. Anda sadar tidak, dengan semua yang anda katakan malam ini. Bisa saja orang yang tadinya bersikap baik, justru akan menarik diri. Dan berpikir seribu kali untuk berhubungan dengan anda."
Liana berceloteh panjang lebar sambil melirik orang-orang di sekitarnya, yang tampak fokus memperhatikan interaksinya dengan pak Adiguna.
Sebenarnya Liana sengaja mengatakan semua itu. Selain karena kesal, dia juga ingin memberi pelajaran pada kakek yang mulutnya seperti host acara gosip itu.
"Sampai seperti itu tuan Adiguna, ya..."
"Bukankah tuan Adiguna dan tuan Sudibyo memang sudah lama bersaing ya..."
"Kasihan mereka. Padahal mereka pengantin baru..."
Suara bisikan-bisikan dari para tamu seolah mengalahkan alunan musik dalam ruangan itu. Gara-gara ucapan pak Adiguna, sebagian undangan jadi mengalihkan perhatian mereka pada tempat pak Adiguna berdiri. Sebagian merasa kasihan sama Haris dan Liana, sebagian lagi menyayangkan sikap pak Adiguna. Ada pula yang kagum dengan keberanian Liana. Dan tentu saja, masih ada juga yang memandang Haris sebelah mata.
"Anak ingusan...!! Berani sekali kami berbicara lancang padaku...!!" pak Adiguna yang termakan emosi menunjuk wajah tenang Liana dengan jari tangannya.
"Siapa yang lancang? Anda atau saya...?!" sahut Liana tak mau kalah.
Tak ada lagi kalimat sopan yang keluar dari mulut Liana. Liana kepalang kesal karena baru saja datang langsung dicerca dengan kalimat-kalimat buruk dari pak Adiguna. Liana sangat tahu kalau semua kata yang diucapkan pria tua itu memang benar adanya. Tapi dia sangat kelewatan, karena membuka aib rumah tangganya di depan umum.
"Turunkan tangan anda, tuan!" titah Haris sambil menurunkan telunjuk pak Adiguna.
"Bersikaplah baik pada seseorang, jika anda ingin diperlakukan dengan baik juga!" Haris mencoba mengingatkan pak Adiguna.
"Ayo kita pergi!" Haris menggandeng tangan istrinya menuju pintu keluar.
Pak Adiguna tampak merapikan jasnya yang tidak berantakan. Dia hanya merasa gerah karena diserang oleh Liana dengan ucapan-ucapan yang membuat telinganya gatal dan sakit hati.
Pak Adiguna juga melihat ke sekitar, sebagian orang dalam ruangan itu hanya tersenyum simpul dan mengangguk saat pandangan mereka bertemu. Bahkan ada yang sengaja mengalihkan pandangan dan menghindarinya.
"Bocah sialan...!! Kamu belum tahu siapa Adiguna...!!" gumamnya dengan suasana hati yang meradang.
___
Haris dan Liana sudah kembali berada di dalam kamar mereka. Sepanjang kakinya melangkah, Liana merasa sangat bersalah pada Haris. Haris diam saja pasti karena marah dengan tingkahnya yang tidak sopan. Begitulah yang ada dalam benaknya.
"Maafkan aku, mas." ujar Liana dengan suara lirih penuh penyesalan, ketika mereka tiba di kamar.
"Lupakan saja. Sesekali dia butuh diperlakukan seperti itu." balas Haris.
Liana tidak menyangka Haris akan memberi respon seperti itu. Padahal sejak keluar dari aula pertemuan itu, Liana sudah sangat khawatir Haris akan marah padanya.
"Kamu cukup berani juga. Jarang-jarang ada orang yang berani bicara seperti itu dengan tuan Adiguna." Haris tampak tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
"Aku sedikit sakit hati, mas. Karena dia menghina kakek..." gumamnya pelan.
"Aku itu heran, bisa-bisanya dia menjatuhkan saingannya dengan cara konyol begitu..." celoteh Liana lagi.
"Dia akan melakukan segala cara untuk menjatuhkan lawannya. Apalagi kakek. Dia sudah seperti itu sejak mereka masih muda." tutur Haris.
"Oh iya?!" sahut Liana.
"Iya. Mama bilang, hubungan mereka memburuk karena seorang perempuan."
"Ya ampun..., ternyata perempuan itu berbahaya ya, mas. Bisa menciptakan dendam sampai tua..." celetuk Liana.
"Kamu bukan perempuan...?!" sahut Haris.
Liana pun terkekeh geli karena baru menyadari pernyataan yang tadi dia ucapkan.
"Tapi, mas. Apa nggak masalah, mas ninggalin acara itu?" tanya Liana.
"Tidak. Acara pentingnya masih besok siang." jawab Haris.
"Oh, begitu. Apa aku harus ikut juga?" tanya Liana lagi.
"Tidak. Kamu bisa beristirahat atau jalan-jalan sesukamu." ujar Haris.
"Siap, bos...!!" Liana memberi hormat pada Haris layaknya saat upacara.
"Aku akan memberi kabar Vanya dulu." Haris pun keluar dari kamarnya.
"Dia sangat berani dan blak-blakan. Tidak seperti Vanya yang mudah sekali panik saat menghadapi orang asing. Apalagi tipikal seperti tuan Adiguna."
Tanpa sadar, Haris mulai sering membanding-bandingkan kedua istrinya.
Liana menatap pintu kamar yang sudah kembali ditutup oleh Haris. Dia kemudian beranjak dari kursi, dan menuju kamar mandi. Dia ingin berendam lebih lama dengan air hangat.
"Ternyata marah-marah itu capek, ya...! Berhenti emosi sama ibu tiri, eh sekarang ketemu si kakek lambe turah. Nasibmu apes banget Liana...!!" gerutunya sambil menikmati hangatnya air dalam bathtub.
___
Haris yang sedang berada di luar, bertemu dengan dua orang yang menghadiri pertemuan itu juga. Haris segera mengakhiri obrolannya dengan Vanya. Agar tidak membuat suasana makin runyam.
"Haris..., sendirian saja?" sapa Juna.
"Hai, Jun." balas Haris. "Raka..." Haris juga menyapa orang di samping Juna.
"Mau ngopi bareng?" tanya Raka.
"Boleh. Aku hubungi istriku dulu."
Setelah menelepon Liana, Haris bergabung dengan dua rekannya.
"Gila, man. Istrimu itu berani sekali. Pak Adiguna, lho, dia ceramahi habis-habisan...!" kata Juna.
"Ya, dia memang selalu blak-blakan." balas Haris seakan sudah hafal karakter Liana. Padahal dia tadi juga sempat kaget.
"Di pesta kemarin dia terlihat lembut, tahunya ganas juga. Mulutnya pedeeess, cuy...!!" timpal Raka.
"Tapi istri yang seperti itu justru menarik. Iya kan, Ris...?" sahut Juna.
"Betul." Raka menunjuk Juna sebagai tanda kalau dia sependapat dengan Juna. "Jangan sampai diambil orang. Rugi, man...!!"
"Kalian ini bisa tidak berhenti ngomongin istri orang." sahut Haris.
"Ciieeeh..., yang nggak terima istrinya diomongin...!!" kata Raka.
Raka dan Juna pun melepas tawa mereka.
"Eh, tunggu! Kapan hari aku ketemu sama sepupumu yang di pesta itu, Ris." ujar Raka.
Haris sepertinya mengetahui siapa yang dimaksud sama Raka.
"Yang mana?" tanya Haris berpura-pura.
"Yang tinggi, cantik, dan seksiii..." Raka memainkan alisnya. "Si Vanya..."
Haris merasa kesal saat mendengar ucapan Raka. Apalagi gelagatnya saat mendeskripsikan si Vanya, membuat Haris sangat sakit hati. Suami mana yang rela jika istrinya dibicarakan seperti itu.
"Ketemu dimana?" tanya Haris dengan nada datar.
"Di kota Xx, dia tinggal di sana?" jawab Raka dan kembali bertanya.
"Apa yang dia lakukan di sana?" tanya Haris pada dirinya sendiri.
"Mungkin sedang mengunjungi temannya." ujar Haris sekenanya. "Kapan kamu bertemu dengannya?" tanya Haris lagi.
"Beberapa hari yang lalu. Lupa sih tepatnya hari apa. Aku samperin dan mau kasih tumpangan, tapi dia menolak dan langsung naik taksi online." katanya lagi.
"Modusnya..., pasti mau PDKT..." sahut Juna yang sedari tadi diam.
"Namanya juga usaha. Iya kan, Ris...?" Raka menoleh pada Haris.
"Sorry..., sorry..., aku harus kembali ke kamar." ujarnya sambil berdiri.
"Ada apa, Ris?" tanya Juna.
"Mungkin Liana butuh sesuatu. Sampai ketemu besok." Haris pun berpamitan pada mereka.
"Vanya..., kapan dia ke sana? Dan apa yang dia lakukan di sana?"
Haris semakin frustasi. Sudah syok karena keributan di pertemuan, sekarang dibonusi kabar soal Vanya dari Raka. Kepala Haris rasanya nyut-nyutan memikirkan semuanya. Belum lagi pertemuan penting esok hari yang akan menguras tenaga dan pikirannya.
......................