NovelToon NovelToon
Dosen Ngilang, Skripsi Terbengkalai

Dosen Ngilang, Skripsi Terbengkalai

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Persahabatan / Slice of Life
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Atikany

Realita skripsi ini adalah perjuangan melawan diri sendiri, rasa malas, dan ekspektasi yang semakin hari semakin meragukan. Teman seperjuangan pun tak jauh beda, sama-sama berusaha merangkai kata dengan mata panda karena begadang. Ada kalanya, kita saling curhat tentang dosen yang suka ngilang atau revisi yang rasanya nggak ada habisnya, seolah-olah skripsi ini proyek abadi.
Rasa mager pun semakin menggoda, ibarat bisikan setan yang bilang, "Cuma lima menit lagi rebahan, terus lanjut nulis," tapi nyatanya, lima menit itu berubah jadi lima jam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atikany, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 24

"Jangan temui saya kalau belum ada janji temu."

The words felt like a slap to my face. Kalimat itu terasa seperti tamparan di wajahku.

My heart sank, aku merasa hatiku semakin menekan, and the awkwardness took over me completely, dan rasa canggung semakin menguasai diriku.

Suara beliau, firm and uncompromising, yang tegas dan tanpa kompromi, membuatku merasa semakin tertekan.

I tried to stay calm, meskipun suaraku bergetar pelan saat aku menjelaskan,

"Maaf, Bu sebelumnya. Saya sudah menghubungi Ibu melalui WhatsApp, tetapi belum ada respon."

Aku berharap penjelasan ini bisa meredakan ketegangan dan situation a bit better, membuat situasi sedikit lebih baik.

However, respon beliau justru membuatku semakin merasa tidak nyaman.

Beliau hanya menjawab dengan singkat dan dingin, "Sengaja."

The words felt like a knife cutting through my heart.

Kalimat itu terasa seperti pisau yang mengiris hatiku.

I didn’t know what else to say, aku tidak tahu harus berkata apa lagi, dan aku hanya bisa duduk di sana dengan perasaan yang campur aduk—embarrassment, anxiety, and disappointment, rasa malu, cemas, dan kecewa.

***

Ketika beliau akhirnya membuka mulut untuk menjelaskan alasan mengapa pesanku diabaikan, my heart grew even heavier, jantungku terasa semakin berat.

"Saya sengaja tidak membalas pesan kamu, karena saya mau lihat bagaimana perjuanganmu," katanya dengan nada yang begitu tegas.

"Ini termasuk bagian dalam bimbingan. Kamu harusnya mencari tahu bagaimana pembimbing yang akan membimbingmu," lanjut beliau.

I stood there, aku hanya bisa diam di tempat, unable to respond, tak mampu membalas.

Kata-katanya terasa seperti hantaman bertubi-tubi.

“Kamu enggak punya teman ya?” tanyanya, kali ini dengan nada yang membuat dadaku semakin sesak.

Kata-kata itu menusuk ke dalam, making me feel as though I didn’t deserve to be there, membuatku merasa seolah-olah aku tidak layak berada di sini.

I struggled to hold back the tears that were on the verge of spilling over.

Aku berusaha keras untuk menahan air mata yang sudah hampir tumpah.

My eyes looked upward, mataku menatap ke atas, berusaha keras untuk tidak menangis di hadapannya.

I knew that if I started crying, I might not be able to stop.

Aku tahu, jika aku mulai menangis, aku mungkin tidak akan bisa berhenti.

"Kamu harusnya perbanyak relasi, tanya ke mereka bagaimana cara saya membimbing," lanjut beliau, as if adding more weight to the burden already on my shoulders, seakan-akan menambah beban di pundakku yang sudah terasa berat.

I felt increasingly cornered, aku merasa semakin terpojok, like all the doors were closing in on me with no way out, seolah semua pintu sudah tertutup dan tidak ada jalan keluar.

Beliau kemudian bertanya dengan tajam, "Sekarang saya mau tanya, kamu datang menemui saya untuk apa?"

Suaranya begitu tegas, membuat lidahku kelu. Aku berusaha mengumpulkan keberanian yang tersisa untuk menjawab, "Saya ingin memberikan SK pembimbing, Bu, dan konsultasi dengan Ibu."

My voice sounded weak, suaraku terdengar lemah, almost trembling, hampir bergetar, but I tried to remain calm, tapi aku mencoba tetap tenang.

However, respons beliau tidak seperti yang kuharapkan. Beliau bersandar di kursinya dan  looked at me dengan pandangan yang intens, as if scrutinizing every inch of me, seolah menilai setiap inci dari diriku.

My head started to feel heavy, kepalaku mulai terasa berat, like a weight was pressing down from all sides, seperti ada beban yang menekan dari semua sisi.

"Kalau hanya itu, kamu bisa letakkan di meja saya, meja yang ada di fakultas," katanya, dingin.

"I'm busy; if you're waiting around and looking for me just for this, you're wasting your time."

"Saya sibuk, kalau kamu nungguin dan cari saya hanya untuk ini, kamu buang-buang waktu."

I was left speechless again, aku hanya bisa diam lagi. Tak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulutku, only silence hanging in the air, hanya keheningan yang menggantung di udara.

Beliau kemudian bertanya, "Pembimbing keduamu siapa?"

Aku berusaha menjawab dengan tenang, “Alhamdulillah, Pak Ko. Prodi, Bu.”

Tetapi, reaksinya sama sekali tidak seperti yang kuharapkan. Beliau tersenyum, but to me, it seemed more like a smirk, tetapi senyumnya terasa sinis di mataku, seakan-akan ada sesuatu yang salah dengan jawabanku.

“Alhamdulillah?” tanyanya, seolah-olah mempertanyakan kebingunganku, dan itu semakin membuatku merasa tersesat dalam percakapan ini.

In that moment, aku benar-benar merasa terperangkap dalam situasi yang tak terelakkan. Segala sesuatu yang kulakukan sepertinya salah di mata beliau. Aku merasa seperti terombang-ambing dalam lautan ketidakpastian, not knowing where to go, tanpa tahu harus ke mana melangkah.

Pertemuan ini, yang seharusnya menjadi langkah awal untuk bimbingan, had instead turned into a nightmare that continued to haunt me, malah berubah menjadi mimpi buruk yang terus menghantuiku.

Saat beliau kembali berbicara, nadanya tegas namun tidak lagi setajam sebelumnya.

"Kamu sudah masuk grup bimbingan?" tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen-dokumen di mejanya.

"Belum, Bu," jawabku dengan suara yang masih terasa bergetar.

Aku berusaha terdengar tenang, even though I was still very nervous, meski kenyataannya aku masih merasa sangat gugup.

"Ini tugas pertama kamu," katanya dengan nada yang mengisyaratkan bahwa ini adalah hal yang penting. "Cari link grupnya dan cari informasi bagaimana sistematika saya membimbing."

I nodded immediately,  aku langsung mengangguk, meskipun beliau mungkin tidak melihatnya.

"Baik, Bu," jawabku, making an effort to mentally note everything she had said, sambil berusaha mencatat semua yang diucapkannya dalam pikiranku.

"Dan untuk SK pembimbing, kamu letakkan di meja saya," lanjutnya, kali ini suaranya terdengar lebih ringan, seolah-olah tugas itu hanyalah hal kecil yang harus segera diselesaikan.

"Baik, Bu," jawabku.

***

Ketika aku keluar dari ruangan itu, it felt like all the strength I had gathered suddenly crumbled, rasanya seluruh kekuatan yang aku kumpulkan tadi tiba-tiba runtuh.

Aku berjalan dengan langkah pelan, mencoba menahan air mata yang sudah mulai menggenang di sudut mataku.

I sought a quiet spot, aku mencari tempat yang agak sepi, berharap bisa menenangkan diri sejenak. Finally, aku menemukan kursi di luar ruangan and sat down, mencoba menenangkan diri dengan mengikat tali sepatuku yang tiba-tiba terasa begitu rumit.

Namun, saat jariku berusaha mengikat simpul, tears began to flow uncontrollably, tiba-tiba saja air mataku mengalir tanpa bisa aku hentikan.

They came all at once, tangis itu datang begitu saja, seolah-olah semua beban yang telah aku tahan selama ini tumpah ruah keluar.

Mungkin bagi orang lain, ini hal sepele—just a small moment that doesn’t mean much, sekadar momen kecil yang tidak berarti.

But for me, itu adalah puncak dari segala perasaan yang telah lama aku pendam.

Maybe others would think, “Why is she crying over something so small?”

Aku tahu, mungkin ada yang berpikir, “Kok cuma gitu doang nangis?”

But honestly, I’m someone who cries easily, aku memang orang yang gampang nangis, dan mentalku gampang sekali turun.

Everyone has their own limits, and I know mine very well.

Setiap orang punya batasannya sendiri, dan aku tahu betul batasanku.

1
anggita
like👍☝tonton iklan. moga lancar berkarya tulis.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!