NovelToon NovelToon
Istri Yang Tak Di Anggap

Istri Yang Tak Di Anggap

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:7.1k
Nilai: 5
Nama Author: laras noviyanti

Candra seorang istri yang penurunan tapi selama menjalani pernikahannya dengan Arman.

Tak sekali pun Arman menganggap nya ada, Bahkan Candra mengetahui jika Arman tak pernah mencintainya.

Lalu untuk apa Arman menikahinya ..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon laras noviyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 24

Candra menarik napas, mengangkat ponselnya ke telinga. Jantungnya berdebar saat menunggu sambungan terhubung.

"Rizal...," suara lembut menyentuh telinganya, memberi semangat yang dibutuhkan.

“Candra! Senang mendengar suaramu.” Rizal terdengar ceria, seolah menunggu panggilan tersebut selama jni

"Aku ingin bertanya soal rencana akhir pekan,” Candra menjawab, mengeluarkan napas lega. Suara Rizal selalu memberi rasa segar setelah hari yang melelahkan.

“Aku akan memberitahumu saat dalam perjalanan” Rizal mengungkapkan, nada suaranya ceria dan penuh antusiasme.

 “Ke mana kita akan pergi?” Candra bertanya, rasa penasaran membara dalam dirinya.

Rizal tertawa kecil, "Aku sudah merencanakan beberapa tempat. Tapi yang pasti kita akan menghabiskan waktu di tempat yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk," Rizal menjelaskan, suaranya terdengar penuh semangat.

"Apa ada sesuatu yang harus aku siapkan?" Candra “Bawa dirimu yang paling ceria. Itu sudah cukup,” Rizal menjawab, nada suara menggoda, membuat Candra tersenyum.

“Aku akan berusaha menemukannya dan membawanya bersamaku,” Candra menjawab, suaranya ringan.

“Tunggu sampai kamu merasakan betapa menyenangkannya hari itu,” Rizal menambahkan, penuh semangat

"Baiklah kalau begitu aku tutup selamat bekerja Rizal,” Candra menjawab, mengabaikan rasa letih seharian bekerja.

 Saat Candra menutup sambungan, rasa hangat menyelimuti hatinya. Dia tersenyum sendiri, menatap ponselnya seolah itu adalah jendela ke dalam masa depan.

Dira melihat ekspresi Candra dan mendekat, jari-jarinya bergerak cepat saat menuangkan sisa kopi ke dalam cangkir.

“Aku dengar suaramu lembut penuh cahaya,” Dira berkata, tersenyum lebar. “Kau tampak sangat bersemangat setelah menelepon Rizal.”

Candra mengangguk, wajah Candra mengangguk, wajahnya merona. “Rasanya seperti ada harapan baru yang tiba,” ujarnya sambil menggelengkan kepala, berusaha menahan kegembiraan.

Dira menatap Candra dengan penuh minat, "Jadi, kamu benar-benar menyukainya?"

"Entahlah," Candra menghembuskan napas, masih merasakan detak jantung yang lebih cepat. "Tapi ada sesuatu yang membuatku merasa nyaman saat bersamanya."

Dira melipat tangannya, matanya meneliti. "Kamu tahu, itu adalah pertimbangan yang baik. Banyak orang tidak menyadari pentingnya kenyamanan dalam hubungan."

Candra mengangguk, melihat ke arah luar jendela. Pemandangan kota yang ramai menjadi latar belakang emosinya. "Setelah pernikahan yang menyakitkan, rasanya seperti menemukan cahaya di tengah gelap. Rizal memang berbeda."

Dira menjeda, menatap Candra dengan serius. "Kau tahu, merasakan kenyamanan berarti kamu sudah siap untuk membuka hati lagi. Ini langkah yang penting."

Candra mengangguk, merasa setiap kata Dira menembus hatinya.

"Tapi, haruskah aku melanjutkan? Setelah semua yang terjadi sebelumnya?" Suara Candra bergetar, mencerminkan ketidakpastian yang menyelimutinya.

Dira meluruskan tubuh, menatap Candra dengan tatapan penuh keyakinan.

“Candra, tidak ada salahnya untuk mencoba lagi. Ini hidupmu, dan kamu punya hak untuk bahagia. Jika Rizal membuatmu merasa nyaman katakan semua tentang masa lalu mu dengan detail padanya"

Candra terdiam sejenak, memperhatikan kata-kata Dira, seolah menggali pemahaman. "Tapi bagaimana jika setelah dia mengetahui semuanya dengan detail dia menjauhiku."

“Jika dia benar-benar peduli, dia tidak akan menjauh,” Dira menjawab tegas, menekankan setiap kata. “Cobalah untuk berpikir positif. "

Candra mengusap wajahnya, berusaha menyerap pikiran Dira. “Kau benar, Dira. Aku perlu berpikir lebih terbuka, aku tak ingin memulai sebuah hubungan dengan kebohongan” ujarnya, suaranya mulai terangkat, kepastian berani meresap ke dalam kata-katanya.

Dira tersenyum, mengangguk paham. “Dan ingat, Candra. Jika kamu perlu waktu untuk menceritakan masa lalu, beri dirimu waktu. Yang terpenting adalah kejujuran,” Dira menjawab, matanya bersinar penuh harapan.

Candra mengangguk merenungkan kata-kata Dira, mengangguk pelan. “Aku harus bisa membuka hati tanpa membiarkan masa lalu menghantuiku,” ujarnya, merasakan semangat.

Waktu Rizal menutup telepon, senyumnya tak bisa pudar. Ia melangkah ke meja, menyusun alat tulisnya. Candra memang selalu tahu cara membuatnya merasa dihargai.

"Aku harus membuat Candra benar benar terkesan dengan perjalanan akhir pekan ini" gumam Rizal.

Dia merapikan jas putihnya, merasakan semangat mengalir di sekujur tubuhnya. Telepon itu hanya membangkitkan semangatnya lebih dari sebelumnya.

“Jadi kita benar-benar akan bertualang akhir pekan ini,” Rizal berkata pada diri nya sendiri.

Langkahnya cepat saat dia berjalan menuju ruang perawatan, pikirannya melayang pada saat-saat manis bersama Candra.

"Dokter Rizal!" suara Rania menggema di koridor. Rizal menoleh, mengalihkan fokus dari pikiran tentang Candra. Rania, perawat muda itu, tersenyum lebar, matanya berkilau penuh semangat.

"Bagaimana kabar pasien di ruang tengah?" Rizal bertanya, berusaha menjaga perhatian tetap pada dampak pekerjaannya.

"Stabil, tapi saya rasa dia perlu lebih banyak perhatian." Rania mengatur clipboard di tangannya, mengalihkan perhatian Rizal dari lamunannya.

“Baik. Mari kita cek bersama,” Rizal melangkah, berusaha kembali fokus. Keduanya bergerak cepat menuju ruang tengah, melewati lorong yang dipenuhi suara detak jam dan aroma antiseptik.

“Rania, kamu sudah berapa lama di sini?”Rania menggeser pandangannya ke Rizal, wajahnya bersemangat. “Sudah hampir lima bulan. Sudah banyak yang saya pelajari. Terutama dari dokter yang berpengalaman seperti Anda.” Ia tersenyum.

Rizal mengangguk, merasakan hangatnya pujian itu.

"Semangatmu luar biasa. Ini akan sangat membantu pasien-pasien kita."

Mereka sampai di depan ruang perawatan. Rizal meraih gagang pintu, namun melirik sekilas ke arah Rania.

"Siap untuk mulai?" tanya Rizal dengan nada menantang. Rania mengangguk, bibirnya melengkung dalam senyuman penuh tekad.

“Selalu siap!”

Rizal membuka pintu, dan suasana di dalam ruang perawatan itu terasa tenang. Pasien terbaring di ranjang, napasnya teratur, jantungnya berdetak dengan stabil. Visi Rizal langsung fokus pada monitor, lalu dia melirik Rania yang sudah bersiap dengan alat-alat medis.

“Dengarkan detak jantungnya,” Rizal mengisyaratkan, “Pastikan semua parameter normal.”

Rania mendekati pasien, menempelkan stetoskop. Ia menarik napas pelan, tampak serius.

“Detaknya stabil, Dok. Saya rasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” katanya, mengangguk mantap.

Rizal mendekat, merasakan kepuasan mengalir. “Bagus, Rania. Sekarang, mari kita cek obat yang harus kita berikan. Pastikan semua dosis sudah sesuai.”

Rania meraih catatan medis dan menelusuri lembar demi lembar. “Dokter, ini saya rasa dosis sudah sesuai dengan instruksi dokter sebelumnya. Semua catatan ada di sini.”

Rizal mengangguk, matanya meneliti lembaran-lembaran yang Rania tunjukkan “Semua terlihat baik. Mari kita berikan obat ini sekarang.” Rizal menyatakan dengan tegas, memperhatikan Rania yang cepat menyiapkan suntikan.

Dengan cekatan, Rania menarik obat ke dalam alat suntik, tangannya tidak terlihat ragu. Rizal memperhatikan setiap gerakan Rania, merasakan kebanggaan menghampiri.

“Bagus, aku lihat kamu sudah menguasainya,” Rizal memuji, sambil mengamati pengaturannya. Rania tersenyum, raut wajahnya menyiratkan kebanggaan akan pencapaian nya."Terima kasih, Dok!" Rania berbicara sambil berkonsentrasi, terfokus pada pasien. “Saya ingin jadi sekelas dokter, seperti Anda.”

Rizal tertawa tipis, merasakan semangat Rania yang menular.

"Satu-satunya cara untuk menjadi dokter hebat adalah dengan terus belajar. Jangan ragu untuk bertanya jika ada yang membingungkan."

Rania menggigit bibir , berusaha menahan rasa semangatnya. “Tentu, Dok. Saya akan terus berlatih sampai bisa melakukan semuanya sendiri.”

Suntikan sudah siap, Rania maju dan memberikan obat kepada pasien dengan hati-hati.

"Bagus, Rania. Pastikan Anda mengamati reaksi pasien setelah injeksi," Rizal menambahkan sambil berdiri di samping Rania, memperhatikan setiap gerakannya.

"Siap, Dok," jawabnya, suara mantap. Ia mengalihkan perhatian pada monitor, mengawasi detak jantung pasien dengan cermat. Detak jantung itu stabil, dan Rania menghela napas lega.

“Semua tampak baik. Apakah kita perlu memantaunya lebih lanjut?” Rania bertanya pada Rizal.

Rizal menjawab, mengamati setiap detail hingga ia merasa yakin.“Sepertinya tidak. Tapi saya rasa kita bisa menyisihkan waktu untuk kembali memeriksanya dalam satu jam ke depan,” Rizal menambahkan, sambil mencatat di clipboard yang dipegangnya.

“Baik dok.” Rania menjawab ucapan itu dengan antusias, wajahnya bersinar.

“Sekarang, kita ambil waktu istirahat" Rizal mengangguk, merasakan bahwa mereka telah melakukan pekerjaan baik.

"Kau bisa memeriksa pasien tadi sendiri atau pergi denganku" Rania terdiam sejenak, memikirkan tawaran Rizal. Antara tanggung jawab dan kesempatan berharga.

“Kalau begitu, saya rasa saya akan memeriksa pasien itu bersama Anda,” jawab Rania dengan keyakinan.

“Jika begitu temui saya di ruangan satu jam lahi” Rizal setuju, Mereka berdua melangkah keluar dari ruang perawatan, menutup pintu dengan lembut.

“Bolehkah saya bertanya, Dok? Bagaimana Anda bisa tetap fokus meski di tengah kesibukan ini?” Rizal menghentikan langkahnya, memikirkan pertanyaan Rania. Ia menatapnya, mata Rania berharap penuh.

"Kadang, fokus itu bukan sekadar tentang apa yang kita lakukan. Ini tentang siapa kita ingin menjadi," jawab Rizal, merasakan tanda tanya di wajah Rania. "Ketika saya di ruang ini, saya merasa bertanggung jawab. Dan itu memberi saya motivasi untuk memberikan yang terbaik. Saya ingin setiap pasien merasa diperhatikan."

Rania mengangguk, wajahnya dipenuhi rasa kagum. "Saya bisa melihat betapa Anda peduli pada setiap pasien. Itu menginspirasi saya untuk melakukan hal yang sama."

“Begitulah seharusnya,” Rizal menjawab, merasakan kebanggaan yang tumbuh.

"Setiap kehidupan yang kita sentuh adalah bekas yang tak ternilai," Rizal melanjutkan, dengan nada penuh keyakinan yang mengalir dari dalam dirinya.

Rania terdiam , terpesona oleh kata-kata Rizal.

“Dok, Anda benar. Saya ingin setiap orang yang saya temui merasakan dampak positif. Karena saya tahu, kita berada di sini untuk alasan yang lebih besar dari sekadar pekerjaan.”

Rizal merasakan kedalaman setiap kata Rania, keinginan sungguh-sungguh dalam jiwanya. “Baiklah kalau begitu saya akan kembali ke ruangan saya sampai jumpa Rania" Rania mengangguk, penuh semangat, sebelum berbalik untuk menuju ruang perawatan lain. Rizal berjalan kembali ke ruangannya, tetapi pikirannya berputar pada rencana akhir pekan.

Rizal menyusuri lorong dengan langkah cepat, logo rumah sakit menghiasi dinding. Bayangan senyum Candra tak lepas dari pikirannya, membawa kehangatan di tengah kes ibukan rutinitas harian.

"Tak sabar untuk menjelajah tempat itu bersama dengannya" Rizal membayangkan wajah bahagia Candra saat mereka menjelajahi hutan rindang dan danau yang sangat indah.

...----------------...

1
murni l.toruan
Rumah tangga itu saling komunikasi dua arah, agar tidak ada kesalah pahaman. Kalau hanya nyaman berdiam diri, itu mah patung bergerak alias robot
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!