Rani seorang guru TK karena sebuah kecelakaan terlempar masuk ke dalam tubuh istri seorang konglomerat, Adinda. Bukannya hidup bahagia, dia justru dihadapkan dengan sosok suaminya, Dimas yang sangat dingin Dan kehidupab pernikahan yang tidak bahagia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putu Diah Anggreni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Demam
Rani membuka pintu rumah dengan tangan gemetar. Udara dingin AC menyambutnya, kontras dengan panasnya siang Jakarta di luar. Rumah terasa sunyi dan gelap, hanya cahaya senja yang merembes masuk melalui celah tirai.
"Dimas? Bi Ijah? Kalian di mana?" panggil Rani pelan, suaranya bergema di ruangan yang kosong.
Tidak ada jawaban. Rani menyalakan lampu dan menemukan secarik kertas di meja ruang tamu. Tulisan tangan Dimas yang rapi tertera di atasnya:
"Ibumu sudah pulang. Bi Ijah pulang kampung. Aku pergi sebentar, ada urusan mendadak di kantor. Jangan tunggu aku untuk makan malam."
Rani menghela napas lega, meski ada sedikit rasa kecewa. Setidaknya ia punya waktu untuk menenangkan diri dan memikirkan apa yang harus ia katakan pada Dimas.
Malam itu, Dimas pulang larut. Suara pintu yang terbuka membangunkan Rani yang tertidur di sofa.
"Oh, kau sudah pulang," sapa Rani, suaranya serak karena mengantuk.
Dimas hanya mengangguk. "Selamat malam," ucapnya singkat sebelum langsung masuk ke kamar tidur.
Rani bisa merasakan dinginnya sikap Dimas, tapi ia tidak berani memulai pembicaraan. Malam itu, ia tidur dengan gelisah di kamar tamu.
Keesokan paginya, Rani terbangun dan mendapati rumah masih sunyi. Aneh, pikirnya, biasanya Dimas sudah berangkat kerja pada jam ini. Ia melangkah ke kamar utama dan menemukan Dimas masih terbaring di tempat tidur.
"Dimas? Kau baik-baik saja?" tanya Rani, mendekati suaminya.
Dimas membuka matanya perlahan, tatapannya sayu. "Aku tidak apa-apa," gumamnya lemah, tapi Rani bisa melihat wajahnya yang pucat dan berkeringat.
Rani menyentuh kening Dimas. "Ya Tuhan, kau demam tinggi! Aku akan menelepon kantormu dan bilang kau sakit hari ini."
Meski Dimas mencoba protes, akhirnya ia terlalu lemah untuk melawan. Rani segera menelepon kantor Dimas, lalu mulai sibuk merawat suaminya. Aroma bubur ayam memenuhi rumah saat Rani memasaknya di dapur.
Sepanjang hari, Dimas lebih banyak tertidur. Rani duduk di samping tempat tidur, mengawasi suaminya dengan cemas. Suara hujan yang mulai turun di luar menambah kesunyian di dalam rumah.
Menjelang malam, demam Dimas semakin tinggi. Ia mulai mengigau dalam tidurnya. Rani mengganti kompres di dahi Dimas ketika ia mendengar Dimas bergumam.
"Kayla... Kayla..."
Rani terdiam, tangannya berhenti di udara. Jantungnya berdegup kencang mendengar nama itu.
"Maafkan aku, Kayla... Aku tidak bermaksud..." Dimas terus mengigau.
Rani merasakan dadanya sesak. Kayla - adik Dimas yang meninggal dalam kecelakaan mobil lima tahun lalu. Kecelakaan yang sama di mana Rani mengambil identitas Adinda.
Tiba-tiba, Dimas membuka matanya. Tatapannya kosong, jelas masih dipengaruhi oleh demam tinggi. Ia menatap Rani, tapi seolah melihat orang lain.
"Kayla?" gumamnya.
Sebelum Rani bisa bereaksi, Dimas menariknya ke dalam pelukan erat. "Maafkan aku, Kayla. Aku mencintaimu. Jangan pergi..."
Rani membeku dalam pelukan Dimas. Ia bisa merasakan kehangatan tubuh suaminya, mendengar detak jantungnya yang cepat.
"Dimas," bisik Rani lembut, "ini aku, Adin... maksudku, ini aku. Bukan Kayla."
Tapi Dimas sudah kembali tertidur, pelukannya masih erat. Rani perlahan melepaskan diri, air mata mulai mengalir di pipinya.
"Oh, Dimas," gumamnya, "apa kau sangat merindukan Kayla?"
Rani duduk di tepi tempat tidur, pikirannya kacau. Ia tahu tentang Kayla dari diary Adinda, tapi ia tidak pernah menyangka Dimas masih terbebani oleh rasa cintanya.
Malam semakin larut, hujan di luar semakin deras. Rani tetap terjaga di samping Dimas, terus mengganti kompres dan memastikan Dimas cukup minum.
"Maafkan aku, Dimas," bisik Rani dalam kegelapan kamar. "Aku bukan hanya berbohong tentang diriku. Aku juga tidak bisa menggantikan Kayla di hatimu."
Menjelang pagi, demam Dimas akhirnya mulai turun. Rani, yang kelelahan setelah terjaga semalaman, tertidur di kursi di samping tempat tidur. Ia tidak menyadari ketika Dimas membuka matanya, menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan.