NovelToon NovelToon
Cinta Suci Untuk Rheina

Cinta Suci Untuk Rheina

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Ibu Mertua Kejam / Slice of Life
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Nofi Hayati

Tidak ada pernikahan yang sulit selama suami berada di pihakmu. Namun, Rheina tidak merasakan kemudahan itu. Adnan yang diperjuangkannya mati-matian agar mendapat restu dari kedua orang tuanya justru menghancurkan semua. Setelah pernikahan sikap Adnan berubah total. Ia bahkan tidak mampu membela Rheina di depan mamanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nofi Hayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pertemuan Adnan dan Zahid

Pagi itu cerah, dan suasana di sekolah terasa hangat. Rheina baru saja mengantarkan Zahid ke kelas SD-nya. Seperti biasa, ia lalu menuju ruang guru sambil menyusun semua keperluan untuk pelajaran untuk anak-anak TK yang tangani.

Kesibukan seolah membuatnya lupa akan kedatangan Adnan tadi malam. Ia tidak lagi menjadikan beban kehadiran pria yang tidak bertanggung jawab itu.

Baru saja ia melangkah menuju lorong yang menghubungkan antara SD dan TK, tiba-tiba terdengar suara gadis kecil yang memanggilnya.

"Tante Rheina...!" Alya, putri Nando, berlari menghampirinya dengan senyum lebar di wajah. Tanpa ragu, gadis kecil itu memeluk Rheina erat.

Rheina mengelus lembut rambut Alya yang halus. "Wah, Alya semangat sekali hari ini! Mau apa nih?" tanya Rheina sambil tersenyum.

"Alya mau kasih coklat ini buat Abang Zahid, Tante." Mata Alya berbinar-binar, tampak senang karena punya sesuatu yang istimewa untuk diberikan.

Rheina tersenyum hangat, melihat Alya yang begitu manis. "Boleh, yuk, kita antarkan ke kelasnya Abang Zahid sekarang," kata Rheina sambil menggandeng tangan Alya.

Di ujung lorong, Nando melihat adegan itu sambil tersenyum. Ia tahu putri kecilnya itu perlahan-lahan mulai berubah. Dulu Alya begitu pemalu, sulit untuk berpisah darinya. Setelah kepergian ibunya, gadis kecil itu tumbuh menjadi anak yang tidak percaya diri. Namun, kini kehadiran Rheina yang lembut dan perhatian tampaknya membuat Alya lebih percaya diri.

"Terima kasih, ya, Rheina. Kamu sudah banyak membantu Alya," ucap Nando saat Rheina dan Alya mendekat.

Rheina tersenyum. "Nggak apa-apa, Nando. Senang kok bisa bantu Alya. Oh, ya, nanti biar aku yang antar Alya ke kelasnya, ya."

Nando mengangguk sambil tersenyum lega. Setelah bersalaman dengan Rheina dan memeluk putri kecilnya, ia beranjak menuju kantornya. Alya melambaikan tangan pada ayahnya dengan senyum lebar, tidak ada lagi tangis atau merengek seperti dulu. Kini, ia tampak lebih riang.

Rheina dan Alya pun berjalan beriringan menuju kelas Zahid. Sepanjang jalan, mereka bercanda dan tertawa. Rheina tak henti-hentinya tersenyum, melihat bagaimana Alya yang tadinya pemalu kini bisa merasa nyaman bersamanya.

Di kelas Zahid, Alya memberikan coklatnya dengan malu-malu. Zahid yang tak menyangka menerima kejutan kecil itu pun tersenyum lebar. "Makasih, ya, Alya!" katanya dengan riang.

Alya tersipu malu, tapi senyumnya tak bisa disembunyikan. Rheina melihat semua itu dengan perasaan hangat di hatinya. Dia merasa bersyukur bisa menjadi bagian dari kehidupan anak-anak ini, membawa sedikit kebahagiaan di setiap harinya.

Saat Rheina mengantar Alya ke kelas kelompok bermainnya, ia melihat betapa percaya diri gadis kecil itu melangkah masuk. Tidak ada lagi drama saat berpisah dengan ayahnya. Alya sudah tumbuh menjadi gadis kecil yang kuat, dengan sedikit bantuan dari Rheina, yang kini menjadi bagian penting dari keseharian mereka.

---

Rheina memarkir mobilnya dengan perlahan di halaman rumah. Hatinya terhenyak saat melihat sosok yang duduk di teras. Adnan terlihat menunggu dengan tatapan penuh harap. Pria yang pernah menjadi bagian besar hidupnya itu tersenyum, seolah tak sabar menyambut kedatangannya.

Zahid yang duduk di kursi belakang mobil, memiringkan kepalanya, lalu bertanya dengan polos, "Mama, itu papa, kan?"

Rheina menelan ludah. Pertanyaan Zahid membuat hatinya berdesir. Meski sudah tiga tahun berlalu sejak perceraian mereka, sosok Adnan masih menyisakan luka yang belum sepenuhnya sembuh. Dengan lembut, Rheina membalas, "Iya, Sayang. Zahid di dalam mobil dulu aja, ya. Biar Mama ngobrol sama Papa dulu."

Zahid mengangguk patuh, meskipun terlihat penasaran dengan situasi yang tak biasa ini. Rheina menarik napas dalam-dalam sebelum keluar dari mobil dan mendekati Adnan.

"Kamu ngapain di sini, Adnan?" tanya Rheina dengan nada yang lebih dingin dari yang ia maksudkan. Ada banyak pertanyaan berputar di benaknya, namun ia berusaha tetap tenang.

Adnan berdiri dari kursinya, menatap Rheina dengan pandangan yang sulit diartikan. "Aku... aku cuma ingin ngobrol, Rheina. Aku tahu aku salah selama ini. Tapi aku pengen minta kesempatan untuk jelasin semuanya."

Rheina menghela napas panjang. Tiga tahun tanpa kabar, tanpa nafkah untuk Zahid, dan tiba-tiba pria itu muncul seolah-olah semuanya bisa diperbaiki dengan percakapan singkat. "Apa yang mau kamu jelasin, Adnan? Tiga tahun, Adnan. Tiga tahun kamu nggak pernah muncul, nggak pernah peduli sama Zahid."

Adnan menunduk, menyesali kata-kata yang tak pernah diucapkannya selama ini. "Aku tahu, Rheina. Aku nggak punya alasan untuk itu. Tapi aku berubah, dan aku pengen coba jadi ayah yang lebih baik buat Zahid."

Rheina menggeleng. "Kamu pikir semuanya bisa selesai cuma dengan datang begini?"

Adnan menatapnya, berharap bisa menemukan celah pengertian di mata Rheina. "Aku tahu nggak gampang, tapi aku mau coba. Demi Zahid."

Rheina terdiam sejenak, matanya melirik ke arah mobil di mana Zahid duduk tenang, mungkin mengamati dari kejauhan. Bagaimana pun, Zahid punya hak untuk mengenal ayahnya, tapi Rheina juga tidak ingin anaknya kecewa lagi.

Rheina menatap Adnan dengan serius. Meskipun hatinya campur aduk, dia tetap berusaha bersikap tegas. "Kalau kamu serius ingin berubah, Adnan, kamu harus buktikan. Tapi jangan buru-buru. Zahid pasti akan kaget dengan kedatangan kamu yang tiba-tiba."

Adnan hanya bisa mengangguk. Sorot matanya menunjukkan rasa bersalah sekaligus harapan. "Aku ngerti, Rheina. Aku nggak mau bikin Zahid bingung atau kecewa lagi."

Rheina menarik napas dalam, menatap Adnan sekali lagi sebelum berbalik menuju mobil. Di dalam, Zahid duduk dengan tatapan penuh tanda tanya. Bocah itu pasti bingung melihat situasi yang tidak biasa. Dengan lembut, Rheina membuka pintu mobil dan berjongkok di depan Zahid, menyamakan tinggi mereka.

"Zahid, Sayang," suara Rheina lembut, penuh kasih sayang. "Mama tahu ini mungkin mengejutkan buat Zahid, tapi Papa datang karena dia kangen sama Zahid."

Zahid tampak terdiam sejenak, matanya berkedip pelan, mencoba mencerna kata-kata mamanya. "Papa kangen sama Zahid?" tanyanya pelan, nyaris tidak percaya. Rheina tersenyum lembut dan mengangguk.

"Iya, Sayang. Kamu mau ketemu Papa sebentar?" tanya Rheina dengan hati-hati, tak ingin memaksa Zahid jika dia belum siap.

Zahid terdiam beberapa saat, lalu mengangguk pelan. Rheina memegang tangan kecil Zahid dengan lembut, membantunya keluar dari mobil. Mereka berjalan pelan ke arah teras, di mana Adnan masih menunggu dengan gugup.

Adnan menegakkan tubuhnya ketika melihat Rheina dan Zahid mendekat. Ada keraguan di wajahnya, seolah-olah takut Zahid akan menolaknya. Saat Zahid berhenti beberapa langkah dari ayahnya, suasana hening sejenak. Adnan tersenyum canggung, mencoba menghilangkan kecanggungan itu.

"Zahid ..." Adnan memanggil putranya dengan suara lembut, nyaris berbisik. "Papa kangen sama kamu, Nak."

Zahid menatap Adnan dalam-dalam, seolah sedang mencari sesuatu di balik wajah ayahnya. Hatinya dipenuhi pertanyaan. Kemana ayahnya selama ini? Kenapa baru sekarang muncul?

Namun, meski dengan banyak pertanyaan di kepala, Zahid akhirnya melangkah maju, mendekati Adnan. Adnan menghela napas lega, seolah beban di dadanya sedikit terangkat. Dengan hati-hati, dia berjongkok, menyamakan tinggi dengan Zahid.

"Kamu apa kabar, Nak?" tanya Adnan, suaranya bergetar sedikit.

Zahid mengedikkan bahu, masih bingung harus berkata apa. "Baik, Papa," jawabnya singkat. Ia tidak tahu harus merespons bagaimana pertemuan ini.

Adnan tersenyum, meski matanya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. "Papa minta maaf, Nak. Maaf karena nggak ada buat Zahid selama ini."

Zahid hanya mengangguk, masih mencerna situasi. Rheina, yang berdiri tak jauh, mengawasi interaksi itu dengan hati-hati. Dia tahu bahwa proses ini tidak akan mudah, baik bagi Zahid maupun Adnan. Tapi setidaknya, ini adalah awal.

Adnan kemudian menepuk pundak Zahid dengan lembut. "Papa pengen mulai dari awal lagi. Pengen ada buat kamu, Sayang. Papa nggak akan pergi lagi."

Zahid terdiam sejenak, lalu perlahan mendekat ke arah Adnan, memeluknya erat. Adnan tampak terkejut, tapi segera membalas pelukan itu. Rheina menatap mereka dengan hati yang campur aduk—antara lega, waspada, dan harapan. Mungkin, hanya mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih baik.

Namun, di dalam pikirannya, Rheina tahu bahwa perubahan tidak datang begitu saja. Adnan masih punya banyak hal yang harus dibuktikan, dan semuanya akan bergantung pada tindakan, bukan kata-kata. Ia berharap kali ini Adnan benar-benar serius.

Saat mereka akhirnya masuk ke dalam rumah, Rheina terus memikirkan langkah apa yang akan diambil Adnan selanjutnya. Apakah pria itu akan benar-benar menepati janjinya? Atau, akankah Zahid kembali terluka jika Adnan pergi lagi?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!