Bukan ingin Elea terlahir dari rahim seorang istri siri yang dicap sebagai pelakor, sejak sang ibu meninggal, Eleanor tinggal bersama ayah kandung dan istri sah sang ayah.
Sejak kecil ia tak merasakan kasih sayang dari ayah kandungnya, tinggal di rumah mewah membuatnya merasa hampa dan kesepian. Bahkan dia dipekerjakan sebagai pelayan, semua orang memusuhinya, dan membencinya tanpa tahu fakta yang sebenarnya. Elea selalu diberikan pekerjaan yang berat, juga menggantikan pekerjaan pelayan lain.
"Ini takdirku, aku harus menerimanya, dan aku percaya bahwa suatu saat nanti Ayah bisa menyayangiku." Doa Elea penuh harap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nopani Dwi Ari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.24
Setelah makan siang, Elea memutuskan untuk pulang saja. Yang niat awalnya dia ingin melihat Tiana, tapi Bara yang mengajaknya bermain membuat tubuhnya lelah.
"Kamu gak nunggu, aku pulang sayang?" tanya Bara, dia masih menahan Elea agar tidak pulang.
"Engga, kalo aku disini kamu bukannya kerja malah bikin anak." Omel Elea, membuat Bara tertawa dan memeluk Elea yang merajuk.
"Tapi kamu suka, kan? Sampe teriak keras gitu," bisik Bara, Elea cemberut juga sangat malu. Pasalnya permainan Bara selalu membuatnya terlena.
"Apaan sih, sudah ahh aku mau pulang." Pamit Elea, dia mencium tangan Bara dan memeluk suaminya sekilas.
"Hati-hati sayang."
"Iya, semangat kerjanya."
Elea keluar dari ruangan Bara, menatap ruangan Bima yang tertutup rapat. Dia ragu untuk berpamitan pada sang ayah. Namun, pada akhirnya dia mengesampingkan egonya. Untuk tidak menemui Bima, Elea mengetuk pintu ruangan Bima. Dan setelah mendapat jawaban, Elea masuk kedalam.
"Elea." Bima tersenyum melihat anaknya yang datang.
"Ada apa, nak?"
"Aku mau pulang, Papa. Aku mau pamit," jawab Elea.
"Sudah mau pulang? Kok cepat, gak nunggu Bara selesai?" tanya Bima.
"Nggak, Pa. Aku gak mau ganggu Mas Bara," jawab Elea.
"Ya sudah hati-hati," kata Bima, menarik Elea kedalam pelukannya. Elea sendiri tak membalas pelukan singkat Bima.
***
Adrian sendiri dia malah melamun di ruang kerja miliknya, entah mengapa kata-kata itu keluar begitu saja.
Huh! Adrian membuang nafasnya dengan kasar. Dia memukul mulutnya yang lancang berkata seperti itu.
"Bodoh, bodoh. Kenapa gue bisa bicara gitu sih," kesal Adrian dalam hati, dia merutuki kebodohannya.
"Mana tadi sempat bertabrakan, sama Ibunya lagi. Semoga gak curiga," ujar Adrian.
Pintu terbuka membuat Adrian terkejut.
"Kak, bikin kaget saja sih." Protes Adrian, saat melihat Briana duduk di hadapannya.
"Hayo, pasti lagi melamun ya? Lagi mikirin siapa, sih?" goda Briana.
"Bukan siapa-siapa," jawab Adrian jutek.
"Astaga, adik kakak yang tampan. Jutek amat sih, pantas cewek gak mau dekat." Kekeh Briana, membuat Adrian memutar bola matanya dengan malas.
"Ada apa, sih Kak?" tanya Adrian.
"Ohh, itu kakak besok mau pergi. Kakak mau titip Syahila sama Malika, boleh?"
"Sejak kapan aku bisa menolak, tapi jangan lama-lama kakak tau aku. Aku gak ada partner buat urus anak," cetus Adrian.
"Makanya cepat nikah, cari pacar bukan pacaran terus sama laptop." Cibir Briana.
"Kakak kan tahu, perempuan yang aku suka sudah menikah. Masa aku harus jadi pebinor sih," celetuk Adrian dan langsung mendapatkan tatapan tajam Briana.
"Canda kak, canda." Ucap Adrian, sebelum kakaknya mengamuk.
"Awas ya kamu, kalau deketin istri orang." Ancam Briana, lalu pamit pergi dari ruangan Adrian setelah berpesan untuk datang kerumah.
Adrian sendiri menghembuskan nafasnya dengan pelan, sulit rasanya untuk bisa melupakan Elea. Perkenalan yang singkat tapi penuh dengan kenangan.
"Elea." Adrian memejamkan mata.
****
Dengan gelisah Elea menunggu kepulangan Bara, yang tak biasanya pulang telat. Bahkan cangkir Elea sudah bertambah menjadi dua.
"Kenapa belum pulang?" gumam Elea.
"Elea, kamu belum tidur. Nak?" tanya Rudi, tak sengaja melihat menantunya masih berdiri mondar mandir di ruang tamu.
"Ehh, Bapak. Belum Pak, aku nungguin Mas Bara." Sahut Elea, "sudah jam sepuluh, dia belum pulang juga?"
"Mungkin kerjaannya banyak, kamu tahu sendiri kan kemarin Bara cuti menikah." Ujar Rudi, mencoba menenangkan Elea yang sangat khawatir.
"Mungkin saja," jawab Elea pelan, Rudi pun berpamit menuju kamar.
Akhirnya Elea memutuskan untuk masuk ke kamar, karena memang dirinya sudah mengantuk.
"Percuma minum kopi, tetap aja ngantuk." Omel Elea, dia sudah menguap berkali-kali menunggu Bara. Dan tak bisanya Bara pulang telat, tanpa kabar.
Elea mengirim pesan pada Bara, setelah sampai di kamar dan merebahkan tubuhnya. Namun, tidak ada jawaban dari Bara.
"Astaga, kemana sih Mas Bara!" kesalnya.
"Apa jangan-jangan dia ..."
"Tidak, tidak mungkin. Aku harus percaya sama Bara, tidak mungkin dia menemui Tiana." Elea meyakinkan diri dalam hati, bahwa Bara tidak menemui Tiana. Karena Bara sendiri tidak tahu, keadaan Tiana yang sesungguhnya.
Bara masih mematung menatap gadis, yang pernah mengisi hari-harinya. Dia masih ingat saat Mala memohon dan bersujud di kakinya.
bersambung..
Maaf typo