Lastri selalu di injak harga dirinya oleh keluarga sang suami. Lastri yang hanya seorang wanita kampung selalu menurut apa kata suami dan para saudaranya serta ibu mertuanya.
Wanita yang selalu melayani keluarga itu sudah seperti pembantu bagi mereka, dan di cerai ketika sang suami menemukan penggantinya yang jauh berbeda dari Lastri.
Namun suatu hari Lastri merasa tidak tahan lagi dan akhir mulai berontak setelah ia bercerai dengan sang suami.
Bagaimana cara Lastri membalas mereka?
Yuk simak kisahnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaQuin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24. Tinggal Bersama
Bab 24. Tinggal Bersama
POV Lastri
Lama aku merenung setelah melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana kebohongan dan pengkhianatan yang di lakukan Mas Hendra padaku. Berdenyut nyeri rasa sakit di kepala ini bercampur antara masalahku dan juga jejak tangis ku siang tadi.
Tidak habis pikir dengan kelakuan Mas Hendra yang begitu kejam. Di saat kami berada di kampung, Mas Hendra ternyata sudah menikah lagi dengan teman sekantornya. Pantas saja dia memberi ijinnya padaku. Nyatanya sudah ada niat terselubung di sana.
Sakit hati dan kecewa itu pasti. Meski menjalani biduk rumah tangga tanpa ada terkait perasaan di dalamnya tetap saja membuatku terluka ketika di dua kan. Aku yang percaya dan berharap Mas Hendra suatu hari nanti memberikan cintanya padaku ternyata harus menelan pahit kekecewaan.
Tidak ada lagi yang ku harapkan dari pernikahan ini. Bahkan rasanya tangis ku pun tidak pantas aku berikan untuk Mas Hendra. Kalau memang seperti ini mau mu, baiklah Mas. Akan ku sudahi rasa hormat ku yang masih tersisa padamu dan keluarga mu. Tidak ada lagi Lastri yang penurut setelah ini.
Sudah aku pikirkan matang-matang. Aku akan kembali ke rumah itu tanpa Diah. Biarlah Diah tetap di kampung bersama orang tuaku sampai libur lebaran nanti. Toh anakku hanya masuk sekolah setelah libur ini cuma satu minggu. Setelahnya pasti libur lagi sampai selesai lebaran nanti.
"Kalian ingin bermain dengan ku, baiklah. Kita bermain bersama dan lihat siapa yang akan menjadi pemenangnya." Gumamku menatap langit-langit kamar.
Kalau dulu mungkin aku ragu meninggalkan Mas Hendra. Sekarang tidak ada lagi yang harus aku cemaskan, toh aku bisa menikmati hidup nyaman tanpa nafkah yang ia berikan.
Malam ini aku mencoba menelpon Ibu bermaksud untuk melakukan apa yang sudah aku rencanakan terhadap Mas Hendra. Awalnya Ibu cemas, namun setelah aku berusaha menjelaskan tanpa menyebutkan masalah yang sedang aku hadapi, akhirnya Ibu luluh juga.
"Iya Bu, Lastri masih ada urusan disini. Tolong jaga Diah sampai Lastri pulang ke kampung nanti."
"Tapi lebaran kamu pulang kan Las?"
"InsyaAllah pulang Bu. Lastri mau menyelesaikan urusan yang harusnya sejak dulu Lastri selesaikan."
Terdengar suara helaan napas di seberang sana. Sepertinya Ibu pasrah akan keputusan yang sudah aku buat.
"Baiklah Lastri. Ibu dan Bapak hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu. Tapi ingat pesan Ibu Nak, jangan sampai kamu terluka."
"Iya Bu, Lastri akan hati-hati."
"Ya sudah, Ibu tutup ya telponnya. Assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam..."
"Beneran kamu tidak jadi pulang Las?"
Mbak Ayu tiba-tiba bertanya padaku. Mungkin sejak tadi ia mendengar percakapan ku dengan Ibu karena aku duduk tidak jauh darinya.
"Iya Mbak aku masih ada urusan disini. Dan mungkin aku akan pulang ke rumah ku disini."
"Loh, tidak menginap saja disini? Bukannya suamimu juga sedang tugas ke luar kota? Mbak seneng loh ada kamu disini nemenin Mbak."
Aku tersenyum. Buat apa aku susah mikirin Mas Hendra yang tidak peduli padaku. Toh di sekitar ku masih ada orang-yang yang perhatian padaku.
"Nanti sesekali aku nginap di sini kok Mbak. Oh ya, nanti sampai kan pada Fahri kalau aku tidak jadi pulang ya Mbak."
"Ya sudah. Kapan pun kamu mau kesini, pintu rumah Mbak selalu terbuka untukmu. Datang saja ya?"
"Iya Mbak. Terima kasih sudah mau menerima aku."
***
Keesokan harinya. Aku pulang mengunakan ojek online menuju rumahku. Rumah yang aku tinggali selama 5 tahun bersama Mas Hendra. Rumah yang mengisi kenangan dengan beragam kesedihan yang dengan bodohnya aku tetap sabar menjalaninya.
Kini tidak lagi. Aku tidak akan bodoh seperti dulu lagi. Akan ku balas hinaan mereka selama ini dengan caraku.
Ku tatap spanduk yang menutupi pintu rumah ku. Dengan perasaan kesal dan berkecamuk aku pun menelpon Mas Hendra. Tidak peduli jika ia sedang sibuk berkerja, toh yang menikmati hasilnya bukan hanya aku saja.
"Mas, kenapa rumah kita disewakan? Kita mau tinggal dimana Mas?!"
"Loh, Lastri! Kamu sudah pulang kok tidak bilang-bilang?"
"Aku ingin pulang cepat apa aku salah?"
"Tidak Las, bukan begitu. Cuma Mas belum sempat kasih tahu rumah kita Mas sewakan."
"Kenapa Mas?".
"Mas kan sudah tinggal di mess karyawan, jadi hanya tinggal kamu dan Diah di rumah itu. Mas takut terjadi apa-apa sama kalian. Jadi sebaiknya, kamu tinggal saja sama Ibu dan rumah itu kita sewakan. Duitnya kan lumayan untuk nambah-nambah kebutuhan hidup."
Bohong! Tinggal di mess apanya?! Bukan aku tidak tahu kamu tinggal di rumah istri baru mu itu Mas! Dan uang sewa, sudah pasti akan di ambil oleh ibumu. Aku tidak akan percaya mulut manis mu lagi. Akan aku ikuti permainan mu Mas.
"Barang-barang ku gimana Mas?"
"Sudah Mas pindahkan ke rumah Ibu. Kamu tinggal datang saja kesana."
"Baik lah. Tapi jika aku tidak betah, aku tidak janji akan tinggal disana Mas."
"Loh, memang kamu mau tinggal dimana?"
"Aku susul Mas saja tinggal di mess. Bukannya jadi lebih hemat? Mas tidak perlu membiayai dua dapur."
"Ta.. Tapi, tidak bisa seperti itu Las. Aku tidak enak sama atasan ku. Lagian minggu depan akan ada karyawan lain yang akan tinggal bareng dengan ku."
"Laki-laki apa perempuan Mas?"
"Ya.. Laki-laki dong, masa perempuan."
Terus saja berbohong Mas!
"Kalau begitu tiga hari sekali aku akan kesana berkunjung. Jangan larang aku!"
Ku matikan telepon secara sepihak. Mas Hendra mencoba menghubungi ku lagi. Beberapa kali menelpon, panggilan itu aku abaikan. Biar saja dia tahu rasa atas kebohongannya sendiri. Aku mau lihat bagaimana dia akan menutupi kebohongan yang ini.
Ku langkah kan kaki menuju rumah Ibu mertua. Suara televisi terdengar jelas dari luar rumah. Sepertinya ibu mertua sedang menikmati waktu santainya.
"Assalamualaikum..."
Ku ucapkan salam sebelum memasuki rumah. Mau di jawab atau tidak, bukan urusan ku. Karena urusannya pada yang Maha Kuasa.
Ibu mertua yang tadinya duduk santai berubah tegang setelah kedatangan ku. Ada Mbak Tatik yang sama sekali tidak mau melihat wajahku. Dan Nilam aku tidak melihatnya di rumah ini.
"Kanapa sudah pulang?" Tanyanya spontan.
"Dimana kamar aku Bu?"
Ku abaikan pernyataannya. Ku lihat Tatik menegakkan tubuhnya melihat respon ku kepada Ibu mertua. Tapi aku tidak takut. Ini belum apa-apa.
"Kenapa kamu tidak jawab Lastri?"
"Aku lelah Bu, baru saja tiba. Jadi di mana kamar aku?"
Ibu mertua menatap ku sinis.
"Tuh kamar kamu dekat dapur di ujung!"
Ku langkahkan kaki menuju kamar yang di tunjukan ibu mertua. Begitu membuka pintu itu, aku mencelos. Kamar sempit dengan single bed tanpa alas dan seprai terbujur disana. Lemari usang dengan pakaian ku yang bertumpuk tanpa di rapikan. Benar-benar seperti kandang mereka menempatkan aku di rumah ini.
Baiklah, jika kalian memperlakukan aku seperti ini. Maka aku pun akan sama dengan terhadap kalian.
Bersambung...
Jangan lupa like dan komennya 🙏😊