NovelToon NovelToon
Rawon Kesukaan Mas Kai

Rawon Kesukaan Mas Kai

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Beda Usia / Keluarga / Karir / Cinta Murni / Angst
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Bastiankers

Shana dan Kaivan, pasutri yang baru saja menikah lima bulan lalu. Sikap Kaivan yang terlalu perfeksionis kadang menyulitkan Shana yang serba nanti-nanti. Perbedaan sikap keduanya kadang menimbulkan konflik. Shana kadang berpikir untuk mengakhiri semuanya. Permasalahan di pekerjaan Kaivan, membuatnya selalu pulang di rumah dengan amarah, meluapkan segalanya pada Shana. Meski begitu, Kaivan sangat mencintai Shana, dia tidak akan membiarkan Shana pergi dari hidupnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bastiankers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 34

Setelah pertemuannya dengan Pak Arga, malamnya Kaivan pulang ke rumah. Dia benar-benar merindukan seseorang yang sudah dia jadikan sosok rumah untuk kembali. Setiap detik selalu mendebarkan.

Taksi yang dia naiki berhenti tepat di depan rumah. Setelah membayar taksi, Kaivan segera mendekat. Mengetuk pintu. Dia tahu bahwa kedatangannya tidak tepat waktu. Namun, apa yang mau dipikir, toh itu rumahnya juga. Meskipun waktu sudah menunjukkan tengah malam. Dia tidak peduli. Yang terpenting adalah menunggu seseorang yang tengah berjalan dan membuka pintu. 

Saat pintu terbuka, Kaivan membuka mulut hendak bersuara. Namun, sesuatu menahan nafasnya saat sosok yang dia rindukan bukanlah seseorang yang tengah berdiri di hadapannya. 

“Ngapain kamu ke sini?! Masih ingat rumah?! Masih ingat Shana?!”cecar Tante Mona setelah menutup pintu. Dia tidak mengizinkan Kaivan masuk, kali ini Tante Mona yang mendekati Kaivan. Mereka berbincang di teras. “Saya peringatkan kamu. Tinggalkan Shana.”

Tidak. Kaivan tidak mungkin meninggalkan Shana. Jadi, “Tidak, Tante. Saya tidak akan menceraikan dia.”

Tante Mona berdecih, sesaat memalingkan wajah. Memalingkan tatap muaknya pada lelaki yang berada di hadapnya. Tangannya menyilang di depan dada. “Punya hak apa kamu sama dia?! Hm?”

Oh. Tentu saja, “Saya suaminya. Saya berhak dan saya yang akan memutuskan apakah ingin menceraikannya atau tidak. Tapi, untuk saat ini dan saya harap sampai kapanpun, saya tidak akan menceraikan dia,”tegas Kaivan.

“Wah. Saya bangga dengan kepedean kamu. Tapi, maaf, Kaivan. Kamu baru saja mengakui bahwa kamu adalah suami Shana?” Ada jeda sejenak, “Tapi, apakah seorang suami harus meninggalkan istri yang tengah mengandung selama hampir satu bulan?” Mata Tante Mona menyiratkan kebencian yang begitu mendalam. Seakan-akan dia yang ditinggalkan.

Kaivan mematung. Mulutnya tidak bergerak sedikitpun. Dia belum menemukan kosa kata yang pas untuk membalas ucapan Tante Mona. Dan melihat reaksi Kaivan, membuat Tante Mona lanjut berbicara.

“Kenapa diam? Benar, kan?” Tante Mona melangkah mendekat sampai jarak mereka hanya tersisa beberapa Senti meter saja. Wajahnya meneleng. “Alasannya apa sampai kamu meninggalkan Shana? Apa kamu sudah menikahi perempuan itu?”

Perempuan? Perempuan siapa yang dimaksud Tante Mona? Kaivan bingung sendiri. Namun, dia tahu betul bahwa Tante Mona itu adalah jenis orang yang realistis. Pasti ada sesuatu yang Kaivan tidak tahu. Jadi, “Maaf, Tante. Perempuan siapa yang Tante maksud?”

Tante Mona berdecak. Dia menarik diri dari hadapan Kaivan. Menegapkan kembali postur tubuhnya. Sesaat memalingkan wajah sebelum menjawab, “Wah. Kamu benar-benar hebat. Perempuan mana lagi memangnya? Hm? Yang datang ke sini dan berteriak bahwa dia hamil anakmu.” Tante Mona kembali menatap, “ Sampai-sampai ibumu sakit dan pergi untuk selamanya.”

Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepala Kaivan. Meski sekarang Kaivan sudah meninggalkan rumahnya. Dia sudah berada di dalam taksi untuk menuju suatu tempat. Entah kemana. Dia pun bingung. Tidak mungkin untuk meminta taksi itu untuk mengantarnya ke Bandung. Karena ini sudah pukul setengah dua pagi.

Kaivan meremas rambutnya. Dia benar-benar frustasi. Ingin menelpon Gista atau siapapun yang bisa dia hubungi. Ingin menanyakan kebenarannya pada mereka. Namun, ponsel Kaivan tidak ada. Dan Shana, tentu saja Tante Mona bersikeras agar Kaivan tidak menemuinya. Karena yang Kaivan dengar, Shana sudah tidak menginginkannya lagi.

Tatapnya berpendar. Dia melihat gedung-gedung pencakar langit. Melihat beberapa lampu jalan yang menghiasi. Melihat bagaimana lalu lalang orang yang sudah pulang dari berjualan atau pun bekerja. Kaivan melihat dengan tatapan kosong.

Dia tidak pernah menyangka semua akan menjadi seperti ini. Mungkin besok dia bisa memutuskan untuk pulang ke Bandung. Namun, semuanya terlambat. Tidak ada lagi perempuan yang dia rindukan sampai harus beralasan pulang ke sana. Kaivan menghempaskan tubuhnya ke belakang. Dia menyender dengan perasaan tak karuan. Sosok itu seakan hadir dalam mata yang setengah tertutup. Mengusap sisi wajah Kaivan dengan lembut. “Indung …”

...***...

Pukul dua siang, Kaivan sampai di Bandung. Lebih tepatnya, di bagian ujung Bandung, desa terpencil yang bernama Telaga Sari. Tentunya setelah mengurus semua keperluannya untuk keluar dari perusahaannya. Untung saja Pak Arga yang membantunya. Mencarikan alasan agar bisa memecat Kaivan tanpa sepengetahuan Raisa. 

Semua itu harus dibayar oleh kesuksesan, begitu tutur Pak Arga sebelum Kaivan menaiki taksi bertolak ke Bandung. Proses yang tidak singkat itu juga mengundang beberapa pertanyaan rekan-rekan yang sempat bertemu dengan Kaivan di lobi. Bukan Kaivan namanya jika tidak bisa menjawab, meski ia tidak jujur. Toh, walaupun Raisa sangat jahat dan menghancurkan segala kehidupannya. Namun, ayahnya sangat baik. Jadi, Kaivan tidak mempunyai alasan untuk menghancurkan reputasi perusahaan yang sudah lama menjadi targetnya itu.

Rumah tampak sepi. Tampak tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Berkali-kali Kaivan mengetuk dan berteriak memanggil-manggil nama adiknya. Namun, sama sekali tidak ada jawaban. 

Itu pula yang membawa kaki Kaivan bertolak ke ladang. Di jam seperti ini biasanya Om nya berada di sana. Dan, ya. Benar. Tubuh ringkih yang sedang bekerja di bawah teriknya matahari itu masih di sana. Tidak menyadari keberadaan Kaivan.

Kaivan memilih duduk di gubuk kecil, naungan keduanya jika mereka sedang bekerja. Hati Kaivan bergetar hebat. Seakan-akan bumi akan menghimpitnya sampai tersungkur ke tanah. Kedua tangannya dia letakkan di sisi-sisi mulutnya, “OM TRI!!!”

Seseorang yang dipanggil Kaivan itu berakhir di sisi Kaivan. Duduk. Matanya masih menatap lurus. Belum membahas apapun meski sudut matanya sudah basah. “Gista, Puput, dan Laras. Dibawa oleh Bude Dewi. Bude Dewi bilang dia yang akan merawat mereka. Jadi, Om tidak bisa melarang.” Om Tri menoleh singkat pada Kaivan, “Jangan salahkan Om. Om juga sebenarnya tidak ingin mereka dijaga oleh orang lain. Tapi, menunggu kamu yang tiba-tiba tidak ada kabar. Susah dihubungi. Membuat Om berpikir tidak apa-apa mereka bersama Bude Dewi.”

Kaivan mengangguk pelan. Dia kenal betul dengan Bude Dewi, seorang tetangga yang telah lama pindah ke kampung halaman di Surabaya. Seorang janda tanpa anak yang sangat dekat dengan indung. 

Tangan ringkih nan keriput itu bergerak mengelus punggung Kaivan. Wajahnya menatap Kaivan dengan sendu. “Om ingat betul, sewaktu ibumu pulang dari Jakarta. Dia sakit. Demam yang tidak sembuh-sembuh. Tidak minum obat. Dia bilang ‘Kaivan. Kaivan’ begitu.” Setetes embun baru saja meluncur, Kaivan tidak bisa berkata-kata. “Dia teruuus panggil namamu. Kita semua bingung. Hubungi nomormu nggak aktif. Nanyain ke istrimu, istrimu juga bilang dia nggak tahu kamu di mana. Semuanya benar-benar kehilangan kamu saat itu.”

Jeda yang panjang saat kedua lelaki itu mengusap air mata mereka bersama. Menahan sesak yang membuat tubuh keduanya gemetar hebat. 

Om Tri lanjut berbicara meski bibirnya tampak bergetar, “Kalau kamu lihat bagaimana ibumu meninggal. Kamu pasti akan menyesal. Dia tidak mengucapkan apapun lagi selain dua kalimat syahadat.” Om Tri melepaskan nafas berat. “Tapi, dari sorot matanya yang dalam. Dia mencari-cari. Bola matanya bergerak. Mungkin dia menginginkan kamu tiba-tiba datang. Tapi, sayangnya kamu nggak datang sampai dia menutup mata.”

Kaki Kaivan berjalan menapaki setapak panjang nan rusak. Dia lewati itu sendiri dengan pandangan yang kosong. Setelah sampai di penghujung setapak, Kaivan mendorong gerbang yang menjadi jalan pembuka untuk memasuki area pemakaman.

Bahu Kaivan merosot tatkala melihat dari kejauhan sebuah pusara yang masih basah. Ada kain putih di sisi makam itu. Kakinya terus berjalan meski rasanya berat. Sesaknya begitu hebat ketika dia sampai di sebuah pusara yang bertuliskan nama indung. 

“INDUNG!!!!!!” Kaivan menangis histeris memeluk batu nisannya. Dia menangis meraung-raung memanggil seseorang yang bahkan sudah tidak bisa menyentuh wajahnya lagi. Sudah tidak bisa mengusap rambutnya lagi. “Indung! Ini Kai! Kai pulang!!! Indung!!!!”

Kaivan tidak mempedulikan kemeja putihnya yang kotor. Tidak peduli lagi bagaimana air hujan turun membasahinya. Dia masih di sana. Memeluk nisan ibunya. Sendirian. Dia ditemani rasa kalut. Ditemani rasa penyesalan yang amat dalam. 

1
kanaikocho
Alur yang brilian
Bastiankers
terima kasih sudah berkunjung
Kiran Kiran
Wow, aku gak bisa berhenti baca sampai akhir !
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!