NovelToon NovelToon
GITA & MAR

GITA & MAR

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / CEO / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Fantasi Wanita / pengasuh
Popularitas:4.1M
Nilai: 5
Nama Author: juskelapa

Gita yang gagal menikah karena dikhianati sahabat dan kekasihnya, menganggap pemecahan masalahnya adalah bunuh diri dengan melompat ke sungai.

Bukannya langsung berpindah alam, jiwa Gita malah terjebak dalam tubuh seorang asisten rumah tangga bernama Mar. Yang mana bisa dibilang masalah Mar puluhan kali lipat beratnya dibanding masalah Gita.

Dalam kebingungannya menjalani kehidupan sebagai seorang Mar, Gita yang sedang berwujud tidak menarik membuat kekacauan dengan jatuh cinta pada majikan Mar bernama Harris Gunawan; duda ganteng yang memiliki seorang anak perempuan.

Perjalanan Gita mensyukuri hidup untuk kembali merebut raga sendiri dan menyadarkan Harris soal keberadaannya.


***

Cover by Canva Premium

Instagram : juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

023. Pencarian Harris

Harris hampir menganga melihat kelakuan Mar yang amat sangat di luar dugaan. Malam itu adalah level baru dari sejarah kehidupan sosialisasi para asisten rumah tangga di rumahnya.

“Bisa-bisanya … bisa-bisanya. Kenapa harus lari keluar rumah? Dia bisa ngomong baik-baik di dalam. Sekarang bisa aja tetangga ada yang liat.” Harris menoleh sekeliling. Gelap dan dingin. Suara mirip burung yang tiba-tiba terdengar membuatnya meraba kuduk. Harris tidak melanjutkan omelannya dan segera meninggalkan tepi jalan.

Tadinya ia langsung mau ke lantai dua menemui Chika. Bukannya di tepi jalan tadi sudah cukup. Ia tidak perlu lagi melihat kamar mana yang dipilih Mar untuk anaknya. Namun, suara Surti dan Mar yang kemudian terdengar dari dapur menarik perhatiannya. Ia memutar langkah untuk mengendap-endap ke belakang.

Pertama kali yang terdengar oleh Harris adalah suara Surti.

“Kenapa mesti pakai acara kabur, sih, Mar? Istimewa banget sampai Pak Harris yang harus ngebujuk kamu. Padahal orang sesibuk dan sepenting Pak Harris itu nggak perlu sampai mengejar asisten rumah tangga yang mudah didapat dari yayasan. Sebesar apa, sih, kesalahan Pak Harris? Yang di Atas aja Maha Pemaaf, masa kamu enggak.”

Perkataan Surti membuat Harris menegakkan tubuh, membetulkan kerah piyamanya dan berdeham kecil. Telinganya bersiap-siap mendengar jawaban Mar.

“Ya karena aku di bawah makanya aku sulit memaafkan.”

Jawaban Mar itu langsung membuat Harris mendengus. Ia meninggalkan dinding pemisah dapur dan ruang makan tanpa merasa perlu mendengarkan lanjutan percakapan di belakang.

Biasanya setelah makan malam ia menyisihkan waktu khusus untuk mengobrol bersama Chika. Saat melintasi ruang makan tadi ia melihat kursi tergeser dan alat makan gadis kecil itu sudah terpakai. Pertanda bahwa Chika sudah selesai makan malam dan naik ke kamarnya. Malam itu pasti Surti yang menemaninya makan malam sembari menunggu dia yang membujuk Mar di tepi jalan. Harris mempercepat langkahnya menuju kamar Chika.

“Sudah tidur?” Harris masuk tanpa mengetuk. Chika yang memegang buku bergambar langsung duduk meletakkan bukunya. Gadis kecil itu menggeleng.

“Aku nunggu Papi atau nunggu Mbak Mar. Mana Mbak Mar?” Chika memandang pintu berharap Mar muncul tiba-tiba.

“Nggak kangen Mami?” tanya Harris, mengambil foto almarhumah istrinya di nakas dan meletakkannya ke pelukan Chika.

Chika memandang foto itu sebentar. “Aku selalu kangen Mami tapi aku nggak tau mau rindu apanya. Aku nggak inget. Bukannya lebih baik aku kangen sama Papi aja? Karena kalau aku kangen Papi bisa langsung dateng.”

“Bener. Lebih baik kamu kangen Papi aja.” Harris merapikan bagian atas rambut Chika yang berantakan.

“Aku kepengin punya Mami kayak temen-temenku di sekolah. Dianter sampai depan pintu kelas. Rambutnya diiket macem-macem. Dikasih pita bagus. Dicium dan dipeluk. Aku mau kayak gitu. Kadang-kadang mereka dijemput papi-maminya berdua. Terus pulangnya langsung jalan-jalan. Nggak di rumah aja kayak aku. Papi kadang pulang kerja selalu lama." Chika mulai mengucek-ngucek matanya pertanda ia ingin menyembunyikan air mata. Tak mau dikata cengeng.

Harris yang tadi setengah berjongkok kini bangkit dan duduk di tepi ranjang putrinya. “Rambut kamu udah makin panjang. Dan … bukannya pita dan hiasan rambut yang bagus-bagus baru aja dibeli? Memangnya disimpan di mana?” Harris membuka laci nakas dan mengaduk isinya. Ia juga berdiri melongok laci-laci kecil yang ada di meja belajar. Sedang berusaha mengalihkan perhatian Chika dari hal yang membuat putrinya sedih.

“Udah, Pi. Nggak usah dicari. Mbak Mar nggak pernah bisa kalau diminta yang macem-macem. Taunya kuncir satu atau kuncir dua aja. Itu juga lama banget ngerjainnya. Mungkin karena Mbak Mar nggak punya anak perempuan cantik kayak aku.” Chika mengibas rambutnya. Dengan cepat kembali ceria karena tak mau melihat kebingungan di mata papinya.

Harris tertawa. “Kalau gitu besok udah bisa sekolah, kan? Nggak demam lagi?” Harris meletakkan punggung tangannya ke dahi Chika. “Udah oke. Besok sekolah diantar Mbak Mar seperti biasa. Dan juga … jangan kaget karena Mbak Mar bawa anaknya tinggal di kamar belakang sementara ini.”

Chika terlonjak lalu langsung menutup mulutnya. “Apa? Tumben mereka diajak nginep? Berapa lama? Aku boleh main sama Hasan?” Chika berdiri dan Harris langsung menangkapnya untuk kembali diminta duduk.

“Boleh main sama Hasan. Tapi ini sudah malam. Mbak Mar mungkin lagi beres-beres kamar buat anaknya. Kamu mau tidur sekarang? Sini masuk selimut lagi.” Harris merentangkan selimut agar Chika masuk dan kembali berbaring.

“Sebelum tidur aku mau tanya Papi.” Chika merendahkan suaranya.

Harris ikut-ikutan menoleh pintu karena Chika mengawasi pintu seakan takut ada orang mendengar ucapan mereka. “Tanya apa?” bisik Harris, menggeser duduknya lebih mendekat pada Chika.

“Aku rasa Mbak Mar bukan kayak Mbak Mar biasa. Mbak Mar sekarang banyak omong dan banyak taunya. Biasa tiap aku cerita Mbak Mar cuma bisa bengong. Kalau ditanya ngerti atau enggak biasa geleng-geleng. Sekarang beda banget, Pi. Iya, kan? Memang gitu, kan?” Chika sampai mengguncang lengan papinya.

Harris menggaruk dagu. “Gitu, ya?”

Ternyata ia tidak gila, pikir Harris. Sikap janggal seorang Mar bukan hanya dia yang merasakannya. Chika yang masih termasuk balita pun bisa tahu.

Pertanyaan di kepalanya semakin bertumpuk-tumpuk. Ia kembali menyelinap ke lantai satu demi melihat kemajuan Mar membangun kamarnya. Suasana memang tak seramai tadi tapi ia masih mendengar percakapan kecil. Ternyata Malam itu Mar sudah menempati kamar paling sudut di belakang dapur. Mengambil jarak dua kamar dari yang ditempati Surti.

“Udah, Sur. Thanks ya buat malam ini. Besok-besok kalau aku minta tolong ngawasin Hasan boleh ya …. Tapi kamu selesaikan dulu kerjaan kamu. Boleh ya … ya …. Nanti aku bagi uang jajan.”

Lagi-lagi Harris mendengus. Entah kenapa sebal sekali rasanya tiap dengar Mar yang begitu manipulatif dua hari belakangan ini. Surti yang biasa lebih bawel dari Mar juga sepertinya kalah omong.

Malam itu Harris berbaring gelisah. Sebentar mengetikkan sesuatu di ponselnya. Sebentar kemudian ia meletakkan ponsel dan memejamkan mata. Sebentar kemudian ia duduk menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Semenit kemudian ia kembali mengambil ponsel dan membuka mesin pencarian.

Harris mengetik, ‘Ciri-ciri kerasukan jin’, ‘Ciri-ciri kerasukan setan’, ‘Terlahir kembali dengan sosok lain’, ‘Kerasukan orang lain’, ‘Menjadi orang lain’.

Setiap hasil pencarian internet hanya membuat Harris menggeleng. Rasa keingintahuannya tidak terpenuhi. Yang ada malah bertambah frustasi. Ia tertidur dengan satu tekad yang sudah bulat. Ia akan mendatangi perusahaan retail kosmetik dan jamu tempat wanita bernama Gita itu bekerja.

*****

Seperti pagi lainnya Harris sudah rapi pukul enam pagi. Biasanya pukul segitu ia belum bertemu Chika karena bocah perempuan itu masih bergulung di bawah selimut atau bisa juga sedang dibujuk untuk segera mandi oleh Mar. Namun, pagi itu berbeda. Harris sampai melambatkan langkah saat melihat Chika sudah duduk manis di meja makan dengan model kuncir rambut yang rumit dan ikat berwarna-warni.

“Hai, Pi …. Sini ikut aku duduk.” Chika melambai pada Harris. Menunjuk kursi yang biasa ditempati Harris dengan sebuah isyarat bahwa ia akan mengatakan sesuatu pada papanya. Dengan mata melirik Mar yang sedang memasukkan bekal ke tas sekolahnya, Chika berbisik, “Liat rambutku. Aku suka Mbak yang ini. Meski aku kurang suka karena bangunin aku pagi banget, tapi aku suka model kuncirannya. Mbak Mar udah pinter.” Chika menggelengkan kepala memainkan kuncirnya.

Kepala Harris yang tadi condong karena mendengar bisikan Chika, cepat-cepat kembali tegak saat Mar mendekati meja makan.

“Selamat pagi, Pak.” Mar membungkuk hormat pada Harris.

Wajah Harris kembali meringis ngeri. Ia membayangkan macam-macam artikel yang dibacanya kemarin malam soal kerasukan. “Ehem. Pagi, Mar,” sahut Harris.

Susah payah Harris memusatkan perhatiannya pada piring sarapan. Mencoba mengabaikan penampilan Mar yang pagi itu sangat berbeda. Mar yang biasa mungkin tidak pernah peduli pada rambutnya yang pendek mengembang, pagi itu tersisir rapi dan mengilap. Wajahnya juga terlihat memakai bedak dan bibirnya dipoles lipstik dengan warna yang pas. Penampilan Mar jauh berbeda. Lebih rapi, bersih dan … entah kenapa Mar benar-benar terlihat seperti pelayan bangsawan. Sederhana tapi berkelas.

“Gimana? Chika udah selesai makannya? Kita berangkat sekarang?” Mar berdiri menenteng ransel Chika.

Chika menggeser kursi dan melompat turun. “Hari ini nganter aku sampai depan kelas, kan?” Tangannya terulur pada Mar. Asisten rumah tangga itu pun menggandeng Chika dan meninggalkan Harris setelah mengangguk kecil sebagai pamitnya pada pria itu.

“Nanti aku anter sampai kamu duduk di kelas dengan rapi. Gimana? Happy?” Mar menepuk-nepuk pelan kepala Chika.

Harris melihat itu semua saat meneguk teh. Mulutnya yang setengah menganga nyaris membuat air di mulutnya tumpah. Karena teringat mau mendatangi kantor Gita, ia meletakkan cangkirnya dan ikut pergi meninggalkan meja. Rasa laparnya berganti dengan rasa penasaran.

To be continued

1
Cancer
ini hrus nya deg degan atau ngakak sih😆😆
~Sheren💕HS
wkwkkwkkk...mamposss gw (kata Gita)😅😅😅😅
~Sheren💕HS
nahhhh lhoo Git 😀😀
~Sheren💕HS
dihh pemaksaan sekali...benar2 arogan
~Sheren💕HS
masih aja berburuk sangka
~Sheren💕HS
isyana meninggal dmnaa
vi
pls tengok chika...
Ukun Kurniawan
update.n yg paling ditunggu tunggu ini
уυℓ∂єƒKᵝ⃟ᴸ
siapa lagi yg memuji kalau bukan diri sendiri ya git paling penting menghargai diri sendiri kan.
уυℓ∂єƒKᵝ⃟ᴸ
Hidup dlm kesendirian itu ga enak git klo kek kamu sih pantas lah dapat pendamping hidup yg sesuai harapanmu.
RAYi ALiT
lebih baik menjauh dan menghilang tanpa jejak. toh status juga ngambang
RAYi ALiT
pas banget, sampai bingung yang betul sudah tua apa masih muda... padahal umur sama-sama 28, hanya beda status saja
Cancer
😂😂😂
Lucinta Gua
Siap2 stok kesabaran bu Helena ngadepin Gita 🤣🤣🤣

Helena Vs Gitaaa 🥳🥳🥳🥳🥳
Cancer
😂😂😂😂😂
Dyan
aku nyumbang pertalite 1 ltr git
Cancer
ya Allah aku smpe bengek baca ini novel😂😂😂
AyAyAyli
271 T git baru terima wkkwk
Dwi Puspa Rini
Bu polwan satu lagi ini ada orang korban judi 🤭
Wasista Mustika S.
😂😂😂
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!