Naya yakin, dunia tidak akan sekejam ini padanya. Satu malam yang buram, satu kesalahan yang tak seharusnya terjadi, kini mengubah hidupnya selamanya. Ia mengira anak dalam kandungannya adalah milik Zayan—lelaki yang selama ini ia cintai. Namun, Zayan menghilang, meninggalkannya tanpa jejak.
Demi menjaga nama baik keluarga, seseorang yang tak pernah ia duga justru muncul—Arsen Alastair. Paman dari lelaki yang ia cintai. Dingin, tak tersentuh, dan nyaris tak berperasaan.
"Paman tidak perlu merasa bertanggung jawab. Aku bisa membesarkan anak ini sendiri!"
Namun, jawaban Arsen menohok.
"Kamu pikir aku mau? Tidak, Naya. Aku terpaksa!"
Bersama seorang pria yang tak pernah ia cintai, Naya terjebak dalam ikatan tanpa rasa. Apakah Arsen hanya sekadar ayah pengganti bagi anaknya? Bagaimana jika keduanya menyadari bahwa anak ini adalah hasil dari kesalahan satu malam mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 DBAP
“Sangat jelek dan lihat bahannya juga dari kain zaman dulu…” lanjut Nisa sambil cemberut geli.
Naya langsung tertawa, suara tawanya lepas, renyah—bahkan membuat perawat yang sedang lewat di depan ruang rawat ikut menoleh sekilas. “Kamu kejam banget, Nis. Kasihan tuh sapu tangan, bisa-bisa nangis kalau dengar hinaan kamu.”
Nisa ikut tertawa. “Eh, serius Nay. Ini tuh kayak warisan nenek-nenek, tapi dipakai buat konten pangeran cari cinta. Bikin aku mikir, jangan-jangan si pangerannya juga hidup dari zaman kerajaan Majapahit.”
Naya tertawa makin keras, perutnya sampai sedikit nyeri dan membuatnya memegangi bagian bawah perutnya. “Aduh… aduh… jangan bikin aku ketawa terus… sakit, sumpah…”
Nisa reflek panik. “Eh, ya ampun, maaf! Maaf! Aku nggak sengaja… Aku lupa kamu lagi hamil dan bedrest!”
Naya masih tertawa kecil meski meringis. “Enggak, tenang… aku cuma kaget. Tapi sumpah, itu lucu banget. Pangeran pakai sapu tangan warisan buat cari cinta sejatinya. Klasik banget.”
Nisa mengangguk dengan ekspresi penuh drama. “Romantis versi low budget. Tapi ya, siapa tahu berhasil. Mungkin si cewek yang punya sapu tangan itu emang ditakdirkan buat dia.”
Naya mendadak diam. Matanya masih tertuju pada layar ponsel Nisa.
“Nis… boleh aku lihat gambarnya sekali lagi?”
Nisa mengangguk dan menyerahkan ponselnya.
Naya menatap sapu tangan itu dalam-dalam. Ada sulaman kecil di sudutnya. Sayangnya inisial itu di buramkan, tapi Naya cukup familiar dengan sapu tangan itu.
“NS…” gumamnya pelan.
“Eh, kamu kenapa?” tanya Nisa.
Naya memejamkan mata sejenak, lalu membuka matanya perlahan. Sorot matanya berubah—tidak lagi jenaka, tapi penuh tanya.
“Sapu tangan ini… aku pernah punya yang mirip banget. Bahkan sulamannya juga… kayak gini.”
“Serius? Jangan-jangan… sapu tangan itu punyamu?”
Naya terdiam. Hatinya terasa berat. “Aku... aku gak tahu pasti. Aku kehilangan sapu tangan itu entah sejak kapan, entah di mana. Aku baru sadar saat pindah ke rumah Paman Arsen... dan waktu itu, sudah nggak ada. Aku cari, tapi... hilang.” Suaranya menurun. “Itu satu-satunya barang yang ayah kasih langsung ke aku, Nis. Dan aku... aku gak bisa jagain itu.”
Nisa menggenggam tangan Naya, lembut namun mantap. “Naya... kamu udah jagain kenangannya di hati kamu, dan itu lebih penting. Mungkin sekarang... ini waktunya kamu mulai melepaskan. Bukan melupakan, tapi merelakan.”
Naya menunduk. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Kenangan terindah itu nggak pernah benar-benar hilang,” lanjut Nisa dengan suara pelan. “Selama kamu masih inget, selama nama Ayahmu masih hidup di hati kamu... barang itu cuma simbol, Nay. Bukan satu-satunya yang nyambungin kamu sama dia.”
Air mata Naya akhirnya jatuh, tapi bukan karena lemah—melainkan karena hatinya mulai menerima. Ia mengangguk pelan, mencengkeram jemari Nisa seolah tak ingin kehilangan pijakan.
“Aku rindu dia, Nis. Setiap hari.”
“Aku tahu,” bisik Nisa. “Dan dia pasti bangga, lihat kamu sejauh ini.”
Beberapa detik kemudian, pintu ruangan terbuka perlahan. Dito masuk lebih dulu, diikuti oleh Arsen yang tampak tenang, meskipun sorot matanya menyiratkan ada banyak hal yang ingin ia sampaikan. Mereka berdua sempat terdiam, mematung melihat Naya dan Nisa saling menggenggam tangan—mata Naya masih basah, namun lebih damai.
“Pa… Paman…” sapa Naya canggung, suaranya pelan.
Nisa, yang masih terbawa suasana sarkastik dari obrolan sebelumnya, mendesis tanpa menoleh, “Di sini nggak nerima pesanan kopi pahit dan orang-orang bodoh.”
“Nis…” Naya mencoba menenangkan, namun Nisa langsung menyambar.
“Nay, kalau dua orang ini bikin kamu nggak nyaman, bilang aja sama aku. Aku bisa bikin mereka keluar dari rumah sakit ini.”
Dito mendecak pelan, tak terima. “Cuma pelayan restoran mau ngusir kita? Kamu pikir kamu siapa? Pemilik rumah sakit?”
Nisa menyilangkan tangan di dada. “Kalau iya, kamu mau apa?”
Dito mengangkat alis, lalu berkata cepat, “Kalau bener kamu pemiliknya… aku rela kerja di sini seumur hidup tanpa digaji. Asal kamu jadi istriku.”
“Enak di kamu, nggak enak di aku!” sahut Nisa cepat.
Dito nyengir, tak mau kalah. “Kalau sama-sama suka, pasti enak-enak aja.”
Arsen yang sejak tadi hanya memandang Naya, masih sulit percaya bahwa wanita di hadapannya malam itu adalah orang yang sama—yang kini telah sah menjadi istrinya. Namun, ia ingin memastikan bahwa perasaannya tak salah. Sebelum itu, ia perlu menyingkirkan Dito dan Nisa dari ruangan ini.
Akhirnya, dengan nada dingin, ia berkata, “Kalian bisa lanjutkan di luar.”
“Tapi—” Nisa hendak membantah, namun Dito yang paham situasi langsung meraih tangan Nisa dan menariknya keluar.
“Tu… tunggu.” Nisa buru-buru mengambil masker dari tasnya dan memakainya sebelum akhirnya mengikuti Dito keluar ruangan.
Sementara itu, Arsen perlahan mendekati Naya dan duduk di kursi di samping ranjang. Naya menunduk, berpura-pura tidak menyadari kehadirannya. Ia memilih fokus mengelus perutnya—masih datar, meski ada sedikit tonjolan yang mulai terasa nyata.
“Nay, bisa kita bicara?” suara Arsen terdengar lembut, hampir ragu.
Naya menoleh perlahan, menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan.
“Apa semua ini… perbuatan Zayan?” tanya Arsen, mencoba membuka pembicaraan yang sulit.
“Paman percaya apa yang dikatakan Nisa?” Naya balik bertanya, suaranya nyaris tak terdengar.
“Zayan sudah mengaku. Dia yang memberikan minuman itu padamu,” jawab Arsen. Ia menatap wajah Naya, mencari tanda-tanda kejujuran, luka, atau kebingungan. “Nay, apa kamu ingat… siapa pria yang tidur denganmu malam itu?”
Alih-alih jawaban, yang Arsen dapatkan hanyalah air mata. Perlahan, tanpa suara, mengalir di pipi Naya.
“Nay…” Arsen menyesali pertanyaannya. “Kalau kamu nggak siap menjawab, nggak apa-apa. Maaf… aku nggak bermaksud menyakiti.”
Ia menggenggam jemarinya sendiri, bingung harus berkata apa. Satu kata salah bisa membuat luka Naya makin dalam.
Naya menarik napas panjang, mencoba mengatur emosinya. Ia menghapus air matanya dengan punggung tangan, lalu menatap Arsen dengan tatapan lelah.
“Tidak, Paman. Aku sudah janji… kalau Paman butuh aku bicara demi membersihkan nama Paman dan keluarga, aku akan lakukan.”
Arsen tetap diam, menunggu Naya melanjutkan.
“Aku tahu, Zayan salah karena sudah memberiku minuman itu. Tapi... aku lebih salah. Aku yang salah menilai. Aku pikir pria malam itu… adalah Zayan. Dari belakang, punggungnya mirip, dan aku terlalu yakin. Aku tidak pernah benar-benar mencari bukti. Aku hanya percaya pada apa yang ingin aku percayai, lalu terus meyakinkan diriku bahwa itu adalah dia.”
Napas Naya mulai bergetar, tapi ia tetap melanjutkan.
“Bahkan saat tahu aku hamil... aku sendiri nggak percaya. Aku calon dokter, Paman. Tapi aku... aku bisa-bisanya minum obat kadaluarsa, percaya pada orang yang bahkan aku nggak kenal betul... Aku pacaran dengannya, tapi ternyata aku nggak benar-benar tahu siapa dia.”
Arsen hanya bisa diam, mendengarkan. Wajahnya kaku, tapi matanya menyimpan kekacauan yang sulit dijelaskan.
“Malam itu... di apartemen X. Lantai paling atas, hanya ada dua pintu. Aku terlalu polos. Aku pikir... kalau dibawa ke sana, dia nggak akan berani macam-macam. Kami pernah janji untuk jaga prinsip…”
Deg.
Arsen menegang seketika. Tatapannya membeku saat mendengar nama apartemen itu. Tapi ia tetap diam, membiarkan Naya melanjutkan.
“Minuman itu... mengubah segalanya. Aku nggak ingat banyak. Yang kuingat, Zayan bilang dia akan keluar sebentar untuk ambil obat, karena aku merasa kesakitan. Tapi setelah itu... semuanya buram. Aku nggak bisa ingat apa-apa lagi.”
Naya menunduk, tubuhnya bergetar menahan emosi.
“Aku kotor, Paman…” bisiknya. “Apa yang dikatakan Zayan itu benar. Aku... menjijikkan.”
Arsen tak berkata apa-apa. Hanya tatapannya yang kini berubah… dan tangannya perlahan terangkat, menuju wajah Naya.
jangan jangan,jangan deh
double update dong,,, kurang nih