Dalam hidup, cinta dan dendam sering kali berdampingan, membentuk benang merah yang rumit. Lagu Dendam dan Cinta adalah sebuah novel yang menggali kedalaman perasaan manusia melalui kisah Amara, seseorang yang menyamar menjadi pengasuh anak di sebuah keluarga yang telah membuatnya kehilangan ayahnya.
Sebagai misi balas dendamnya, ia pun berhasil menikah dengan pewaris keluarga Laurent. Namun ia sendiri terjebak dalam dilema antara cinta sejati dan dendam yang terpatri.
Melalui kisah ini, pembaca akan diajak merasakan bagaimana perjalanan emosional yang penuh liku dapat membentuk identitas seseorang, serta bagaimana cinta sejati dapat mengubah arah hidup meskipun di tengah kegelapan.
Novel ini mengajak pembaca untuk merenungkan arti sebenarnya dari cinta dan dampaknya terhadap kehidupan. Seiring dengan alunan suara biola Amara yang membuat pewaris keluarga Laurent jatuh hati, mari kita melangkah bersama ke dalam dunia yang pennuh dengan cinta, pengorbanan, dan kesempatan kedua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susri Yunita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9. Dante, Kau Bodoh!
Di suatu sore, Amara duduk bersama Alessia di ruang tamu yang tenang. Nico, yang telah tidur dengan nyenyak, memberikan kedamaian sesaat bagi Amara dan Alessia. Di sela-sela obrolan ringan mereka, tiba-tiba mata Alessia tampak berkaca-kaca ketika mengingat sesuatu. Seolah tenggelam dalam kenangan, ia mulai bercerita tentang masa lalu Dante yang tersembunyi.
"Dante dulu adalah anak yang penuh kehidupan," ujar Alessia, dengan suara pelan dan penuh perasaan. "Dia ceria, aktif, selalu penasaran akan segala hal. Tidak ada yang bisa menghentikannya untuk mencoba hal-hal baru. Tapi semua berubah ketika ibu kami pergi, saat Dante baru berusia sembilan tahun. Sejak saat itu, dia menjadi pendiam, tertutup, seakan ada beban yang tak terlihat di dalam dirinya."
Amara menatap Alessia dengan penuh perhatian, menyadari bahwa ini adalah cerita yang jarang didengar siapapun. Alessia melanjutkan dengan mata yang semakin redup, mengenang malam-malam penuh duka. "Setelah ibu meninggal, Dante seperti kehilangan separuh jiwanya. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa ibu telah tiada. Selama hampir setahun, setiap malam ia pergi ke makam ibu, ingin tidur di sana, tepat di samping pusaranya. Dia selalu berkata, 'Aku hanya ingin tidur di samping ibu.' Itu membuat hatiku hancur. Awalnya, aku kadang menemaninya. Aku tahu betapa sulitnya kehilangan sosok ibu, dan aku tidak bisa menahan keinginannya. Namun, setelah beberapa bulan, nenek melarangku, karena tubuhku lemah, dan ia takut aku jatuh sakit. Aku hanya bisa melihat dari jauh, tidak bisa menemani Dante di malam-malam penuh kesendiriannya."
Alessia berhenti sejenak, menyeka air mata yang mulai jatuh di pipinya. Amara yang mendengarkan cerita itu merasa hatinya mencelos. Membayangkan seorang bocah kecil tidur di makam ibunya setiap malam, hanya demi merasakan kehadiran sang ibu, membuat Amara merasakan perih yang mendalam.
"Ibu kami adalah sosok yang luar biasa," lanjut Alessia dengan nada haru. "Beliau tidak hanya menjalankan peran sebagai istri dari seorang pengusaha besar, tetapi juga sosok yang sangat peduli pada kemanusiaan. Meski pernikahannya diatur oleh nenek, demi kepentingan bisnis keluarga, ibu tetap berusaha menjalani kehidupan sebaik mungkin. Ayah kami...," Alessia ragu-ragu sejenak, "...ayah memilih jalan yang berbeda, jalan yang tidak bisa membuat ibu bahagia. Dia memiliki wanita lain, dan ibu harus menanggung kenyataan itu."
Amara mulai mengerti. Seluruh puzzle yang melingkupi Dante perlahan terungkap. Ternyata Dante tidak hanya kehilangan sosok ibu, tapi juga kehidupan yang penuh kasih sayang. Pernikahan orang tuanya yang tidak bahagia, perselingkuhan ayahnya, dan kehilangan mendalam saat ibu meninggal semuanya membentuk sosok Dante yang sekarang.
"Ibu sempat jatuh dalam depresi karena pernikahan yang tidak bahagia itu," kata Alessia dengan suara bergetar. "Tapi, ia menemukan pelarian dalam hal-hal yang ia sukai. Ia membuka bisnis parfum dan bunga potong. Dia juga memiliki sebuah panti asuhan yang ia kelola sendiri. Hingga akhirnya, dalam salah satu kunjungannya ke panti asuhan, beliau meninggal dunia."
Alessia terdiam sejenak, dan Amara merasakan ketulusan serta kesakitan dalam setiap kata-katanya. Kematian ibu mereka, serta pengalaman Dante yang penuh duka, meninggalkan bekas luka yang dalam. Alessia kembali melanjutkan, “Setelah kepergian ibu, Dante seperti melarikan diri ke dalam dunia kesepiannya sendiri. Dia menjadi sosok yang tegar dan kuat di luar, tapi aku tahu... ada sisi dirinya yang rapuh, yang masih terluka. Sejak itulah dia berubah—dia tidak pernah lagi menunjukkan kelembutan seperti dulu. Semua perasaannya ia sembunyikan, seolah-olah ia takut orang lain melihat kelemahannya.”
Amara kini semakin melihat Dante dengan cara yang berbeda. Di balik sikap tegar dan dinginnya, ia menyadari bahwa Dante menyimpan luka mendalam yang tak mudah disembuhkan. Mungkin inilah alasan mengapa ia sulit membuka diri atau membiarkan orang lain masuk dalam kehidupannya. Amara menyadari bahwa cinta dan kasih sayang yang ia berikan kepada Nico kini adalah sesuatu yang pernah Dante rasakan dulu dari sang ibu—sosok yang menyayangi dan memahaminya tanpa syarat.
Setelah menceritakan semuanya, Alessia menatap Amara dan tersenyum lemah. "Aku senang kamu ada di sini, Amara. Nico mencintaimu, dan aku yakin Dante juga merasakan hal yang sama, meski ia mungkin terlalu takut untuk mengakuinya. Kehadiranmu membawa cahaya baru di rumah ini, seperti kehangatan yang dulu kami rasakan dari ibu."
Amara mengangguk, hatinya terasa hangat namun juga berat. ia masih saja membayangkan Dante kecil yang meringkuk di tepi makam ibunya yang sepi, sungguh bagian itu paling menyakiti hati Amara. Membuatnya ingin segera menemuinya dan memeluk lelaki itu tanpa banyak bicara.
Namun di tengah percakapan yang cukup menguras emosi antara dirinya dan Alessia tersebut, tiba-tiba Dante meneleponnya. Ia segera menjawab panggilan tersebut, namun bukan sosok yang diharapkan itu yang berbicara.
Di seberang telepon, suara, Ben, aisten Dante terdengar cemas saat mengabarkan bahwa Dante jatuh pingsan di kantor. Nampaknya karena terlalu lelah bekerja. Dengan nada memohon, Ben meminta Amara segera datang.
Amaa terkejut bukan kepalang, dan tanpa berpikir ia berlari ke kamarnya dan mengambil tasnya, meninggalkan Alessia yang kebingungan karena ia sendiri tak menjawab sepatah katapun pertanyaan Alessia.
---
Di kantor Dante yang sunyi, Amara masuk dengan hati berdebar kencang, setengah berlari menuju ruangan pribadinya. Di sana, ia melihat Dante terbaring di sofa kulit besar, wajahnya pucat dan napasnya lemah dengan sedikit goresan di pipi kirinya, kemungkinan tergores pinggiran meja saat ia jatuh pingsan. Ben, asisten setianya, berdiri di dekatnya dengan wajah khawatir, tetapi segera meminta izin pergi karena harus menjemput ibunya. Setelah memastikan bahwa Dante sudah diperiksa dokter, Ben pamit meninggalkan Amara sendirian bersama suaminya setelah ia menceritakan bagaimana bosnya itu bekerja lebih keras dari biasanya. Ia kurang tidur dan tidak makan dengan benar. Sudah beberapa hari belakangan Dante mengeluhkan perutnya yang sakit, sebelum akhirnya jatuh pingsan hari itu.
Sejenak Amara hanya berdiri di sana, terpaku menatap tubuh Dante yang tampak begitu ringkih. Luka di hatinya seolah terbuka lagi, teringat cerita Alessia tentang masa kecil Dante yang penuh duka. Betapa banyak yang telah dilewati lelaki ini seorang diri. Dan kini, ia kembali jatuh sakit akibat beban yang mungkin ia tanggung tanpa pernah membaginya dengan siapapun. Tak bisa menahan kesedihan, Amara berjalan pelan mendekatinya, duduk di lantai dekat sofa, dan menatap wajahnya yang tertidur lemah.
“Kenapa kau bodoh sekali?” bisiknya lirih, suaranya hampir tak terdengar. Tangan Amara terangkat pelan, meraih kain kecil di sampingnya yang dibasahi untuk mengompres kening Dante. Dengan hati-hati, ia menempelkan kompres itu di dahinya, merasakan panas yang keluar dari tubuhnya. Setiap gerakan yang ia lakukan begitu pelan, seolah takut membangunkan lelaki yang ia tahu tengah berjuang bahkan di dalam tidurnya.
Dengan lembut, Amara membelai rambut Dante, jemarinya menyusuri helai-helai rambutnya yang mulai memanjang. Wajahnya begitu damai saat tidur, berbeda dengan sosok tegas yang selalu ia lihat saat Dante sadar. Dalam keheningan itu, Amara merasa dirinya semakin dekat dengannya, merasakan ketulusan di balik pengorbanan lelaki ini. Mungkin untuk pertama kalinya, ia mulai melihat Dante dengan cara yang berbeda. Kali ini sebagai seseorang yang terluka, namun tetap berusaha melindungi orang-orang di sekitarnya dengan caranya sendiri.
“Aku tahu kau bekerja keras … untuk semua,” gumam Amara pelan, suaranya bergetar. “Tapi apa kau pernah berpikir tentang dirimu sendiri? Bagaimana jika kau tak bisa lagi berdiri? Kau badan saja yang besar, tapi kau bodoh!” Tanpa sadar, Amara mengumpat dengan air mata yang mulai jatuh, mengalir perlahan di pipinya. Tangan Dante yang terkulai di sofa menarik perhatiannya, dan Amara menggenggam tangan itu, merasakan hangat tubuhnya yang masih berjuang.
Lama Amara duduk di sana, membiarkan jari-jarinya mengelus lembut tangan dan rambut Dante. Dalam kesunyian malam itu, ruangan terasa dipenuhi kehangatan, meskipun tak ada kata yang terucap.
Dante tergerak pelan, seolah merespon kehadirannya. Amara sedikit panik, tapi tak beranjak, hanya tetap berada di sisinya, menunggunya. Saat Dante membuka mata dengan pandangan yang kabur, ia melihat Amara di sampingnya, wajahnya begitu dekat. Ia tersenyum lemah, mencoba berbicara namun suaranya begitu lemah.
“Amara... kau... di sini?” suara Dante nyaris seperti bisikan, namun penuh kehangatan.
Amara tersenyum, mengusap perlahan rambutnya lagi. “Tentu saja. Di mana lagi aku harus berada, kalau bukan di sisimu?” jawabnya lembut. semua kata-kata itu mengalir begitu saja tanpa perhitungan.
Dante menatapnya lama, seakan tak percaya bahwa Amara benar-benar ada untuknya. Ia menggerakkan tangannya, mencoba menyentuh pipi Amara, dan gadis itu menangkap tangan itu di wajahnya. Keduanya saling menatap dalam keheningan, seakan tak perlu kata-kata untuk mengungkapkan perasaan masing-masing.
“Aku tahu kau tidak peduli padaku… dan mungkin aku hanyalah seseorang yang kau toleransi,” bisik Dante, suaranya bergetar. “Tapi kau… kau adalah kekuatanku. Dan aku akan berusaha terus, walau hanya untuk melihatmu tersenyum.”
Mendengar itu, Amara tak bisa lagi menahan air matanya. Bagaimana mungkin seorang lelaki yang selalu terlihat kuat bisa begitu rapuh? Bagaimana mungkin ia menyimpan perasaan mendalam ini tanpa pernah mengutarakannya? Dengan lembut, Amara menunduk, mencium dahi Dante, membiarkan dirinya tenggelam dalam momen tersebut tanpa ragu tanpa dendam.
“Dante, kau bodoh" Umpatnya sekali lagi dengan nada setengah berbisik.
Dante terlelap lagi, dalam hati ia berbisik, "Apakah besok akan masih seindah ini?" katanya. Ia tertidur dengan senyum kecil di wajahnya, seolah mengetahui bahwa ia tak sendiri lagi.
bersambung...