Harap bijak memilih bacaan.
riview bintang ⭐ - ⭐⭐⭐ = langsung BLOK.!
Barra D. Bagaskara, laki-laki berusia 31 tahun itu terpaksa menikah lagi untuk kedua kalinya.
Karena ingin mempertahankan istri pertamanya yang tidak bisa memliki seorang anak, Barra membuat kontrak pernikahan dengan Yuna.
Barra menjadikan Yuna sebagai istri kedua untuk mengandung darah dagingnya.
Akibat kecerobohan Yuna yang tidak membaca keseluruhan poin perjanjian itu, Yuna tidak tau bahwa tujuan Barra menikahinya hanya untuk mendapatkan anak, setelah itu akan menceraikannya dan membawa pergi anak mereka.
Namun karena hadirnya baby twins di dalam rahim Yuna, Barra terjebak dengan permainannya sendiri. Dia mengurungkan niatnya untuk menceraikan Yuna. Tapi disisi lain Yuna yang telah mengetahui niat jahat Barra, bersikeras untuk bercerai setelah melahirkan dan masing-masing akan membawa 1 anak untuk dirawat.
Mampukah Barra menyakinkan Yuna untuk tetap berada di sampingnya.?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24
"Tunda besok. Saya tidak bisa ke kantor hari ini."
Barra sedang berbicara dengan sekretarisnya melalui sambungan telfon. Dia lupa kalau pagi ini ada rapat penting, tapi sudah terlanjur janji degan Yuna akan mengajaknya periksa ke dokter.
"Kalau begitu tunda setelah makan siang." Ujarnya lagi.
Yuna yang sedang membawakan teh hangat jadi diam di tempat dan me dengarkan pembicaraan Barra. Dari pembicaraan yang Yuna dengar, Barra seharusnya berangkat ke kantor. Tapi tadi memilih untuk tidak berangkat karna ingin membawanya ke dokter.
"Maaf, Mas." Yuna menyela pembicaraan Barra. Laki-laki itu berbalik badan, menggerakkan dagu ke atas sebagai isyarat bertanya.
"Kalau emang nggak bisa ke dokter hari ini, nggak usah di paksain."
"Lagipula belum pasti juga aku hamil. Lebih baik aku tes dulu saja di rumah."
Yuna memberikan usul yang beberapa menit lalu muncul di benaknya. Dia harus memastikan lebih dulu dengan menggunakan alat tes kehamilan sebelum pergi ke dokter agar kedatangannya ke sana tidak sia-sia.
Barra tampak berfikir sejak, setelah itu bicara pada sekretarisnya kalau dia akan pergi ke kantor 1 jam lagi. Mematikan sambungan telfon dan menyimpannya di atas nakas, Barra berjalan menghampiri Yuna.
"Ya sudah kalau itu mau kamu. Tapi begitu hasilnya keluar, kamu harus menelfon ku." Pinta Barra. Dia ingin tau secepatnya tentang kondisi Yuna yang entah sedang hamil atau hanya telat haid biasa.
"Iya, Mas Barra nggak usah khawatir. Aku akan langsung menelfon nanti." Yuna mengulas senyum tipis. Sikap tenang yang dia tunjukkan saat ini, berbanding terbalik dengan kegelisahan hatinya yang takut jika ternyata dirinya hamil.
Kalau saja tidak ada surat perjanjian itu, mungkin Yuna malah berharap ingin segera hamil.
Menikah dan memiliki anak dari seorang Barra, bukankah itu sebuah anugerah indah yang luar biasa.?
Dimana lagi Yuna bisa menemukan laki-laki sebaik dan selembut dia. Barra adalah definisi laki-laki sempurna dimata Yuna.
Selesai sarapan, Barra mengantar Yuna membeli alat tes kehamilan. Sepasang suami-istri yang terikat kontrak itu memiliki perasaan yang berbeda saat akan membeli alat tes kehamilan itu.
Sejak awal Yuna selalu mencemaskan hal ini, sedangkan Barra sangat mengharapkannya karna memang membuat Yuna hamil adalah tujuan utamanya.
Barra sudah menyiapkan semuanya jika nantinya Yuna dinyatakan hamil. Barra akan meminta Cindy untuk pura-pura hamil di depan keluarganya, hingga seolah-olah anak yang akan terlahir dari rahim Yuna adalah anak Barra dan Cindy.
Rencana ini memang tidak di ketahui oleh Cindy, karna jika Cindy tau, Cindy tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Hatinya terlalu lembut, dia tidak akan mungkin egois dan tega mengambil anak dari madunya.
Selesai membeli alat tes kehamilan, Barra langsung mengantar Yuna pulang ke rumah. Karna 15 menit lagi dia harus berangkat ke kantor.
"Mas,," Panggil Yuna lirih. Mata beningnya sedikit berkaca-kaca, ada kegelisahan dari sorot matanya.
"Kenapa.?" Barra menoleh sekilas.
"Bagaimana kalau aku hamil.?" Pertanyaan itu sudah berulang kali keluar dari mulut Yuna. Dia ingin sebuah kejelasan karna Barra selalu bilang dia akan bertanggungjawab penuh jika hamil. Tapi entah tanggungjawab seperti apa yang akan di lakukan oleh Barra sedangkan ada kontrak perjanjian di antara mereka.
"Bukankah aku sudah sering menjawabnya?" Barra balik bertanya. Jawaban yang pada akhirnya selalu sama, yaitu bertanggungjawab penuh.
"Ya, Mas Barra selalu bilang akan bertanggungjawab." Sahut Yuna datar.
"Tapi bukan jawaban seperti itu yang ingin aku dengar." Ada nada ketidak puasan didalamnya. Yuna ingin jawaban yang lebih rinci mengenai pernikahan mereka jika nantinya dia hamil.
"Lalu.?" Barra menoleh, wajahnya terlihat serius. Dia mulai sadar bahwa ada jawaban lain yang ingin di dengar oleh Yuna dari mulutnya.
"Tanggungjawab seperti apa yang Mas Barra maksud.?"
"Apa dengan mempertahankan pernikahan ini.?" Tanya Yuna dengan tatapan penuh harap. Entah keberanian darimana dia bisa mengatakan hal itu pada Barra. Sedangkan selama ini sama sekali tidak ada kemajuan dari Barra, dalam arti, Barra terlihat tidak memiliki perasaan apapun padanya selain baik dan tanggungjawab pada kehidupannya.
Barra hanya menoleh sekilas. Hingga rumah mereka sudah terlihat, Barra sama sekali tidak ada niatan untuk menjawabnya.
"Ayo turun, aku ingin melihat hasilnya." Ucap Barra begitu memarkirkan mobil di garasi.
"Aku harus berangkat 5 menit lagi." Dia menatap arloji di pergelangan tangannya.
Yuna menatap kecewa dengan sikap Barra yang terkesan menghindari pembicaraan penting itu. Atau mungkin hal itu memang tidak penting untuk Barra.
"Kamu belum jawab pertanyaan ku, Mas,," Ucap Yuna lirih. Barra sudah membuka pintu mobil, tapi Yuna enggan keluar sebelum Barra memberikan jawaban pasti.
"Jawabanku tetap sama Yuna, aku akan bertanggungjawab penuh pada kalian." Barra sedikit menaikan nada bicaranya.
Dia tidak mungkin mengiyakan pertanyaan Yuna karna sampai kapanpun hanya Cindy yang akan menjadi istrinya, tidak akan ada istri kedua ataupun ketiga setelah menceraikan Yuna.
"Apa pernikahan ini akan tetap berakhir meskipun aku hamil.?" Tanya Yuna memperjelas.
Dia menatap mata Barra dengan intens, mencoba untuk mencari jawabannya tanpa harus mendengar jawaban dari mulut Barra.
Barra hanya diam, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Diamnya Barra membuat Yuna tersenyum dingin.
"Aku anggap itu sebagai jawaban." Ucap Yuna datar.
"Mas Barra berangkat saja, aku nggak akan tes sekarang. Nanti saja pas jam istirahat jadi nggak mengganggu kerja Mas Barra." Yuna mengulas senyum tipis.
"Makasih sudah mengantar."
Yuna membuka pintu mobil dan bergegas keluar. Dia berjalan cepat masuk kedalam rumah, setelah itu menutup pintu.
Barra yang akan menyusul Yuna kedalam, memilih mengurungkan niatnya. Dia kembali ke mobil dan melanjukan mobilnya menuju kantor.
Rasanya percuma saja untuk dibicarakan lebih lanjut karna Jawabannya akan tetap sama. Barra hanya ingin menunggu waktu yang tepat untuk mengatakan kebenarannya pada Yuna tentang 2 poin yang tidak di baca oleh Yuna.
Membuka tirai jendela, Yuna mengintip kepergian Barra dengan perasaan yang tidak menentu.
"Kalau memang aku hamil, aku nggak akan membiarkan pernikahan kita berakhir." Gumam Yuna dengan tekat yang kuat. Dia akan mempertahankan Barra di sisinya entah bagaimana caranya.
"Bagaimana mungkin aku akan membiarkan seorang anak terpisah dari orang tuanya, aku tau betul seperti apa rasanya."
Yuna tidak mau hal serupa terjadi pada anaknya kelak. Dia ingin keluarga yang utuh, membesarkannya bersama hingga tua nanti.
"Ada apa Yun,,?" Mama Rena menepuk pelan pundak putrinya yang sejak tadi diam sambil mengintip keluar rumah.
"Ma,,mah,," Yuna seketika gugup. Takut ucapannya di dengar oleh Mama Mama Rena.
"Barra sudah berangkat,,?" Tanyanya. Mama Rena ikut melihat dari jendela.
"Sudah baru saja." Yuna mencoba bersikap tenang.
"Yuna ke kamar dulu mah."
"Kalau Nitha datang, tolong suruh dia langsung ke ruang kerja ya Mah." Yuna mengusap pelan punggung sang Mama. Dia mengulas senyum lebar.
"Kamu kenapa.?" Mama Rena menatap intens wajah putrinya. Meski Yuna tersenyum, tapi kesedihan dari sorot matanya tidak bisa ditutupi.
Yuna menggeleng cepat. Menipis kecurigaan dari tatapan mata Mama Rena.
"Nggak kenapa-kenapa Mah. Sedih aja nggak pernah jalan, Mas Barranya sibuk terus." Yuna terkekeh kecil, lalu bergegas pergi ke kamar.
Setidaknya pengakuan sedihnya tidak akan membuat Mama Rena berfikir macam-macam.